#6
"Ya selamat pagi, Bapak Wira, oh iyaa? Kapan waktunya Pak? Iya iya akan saya usahakan, terima kasih Pak," aku menutup telepon dari Bapak Wirahadi Kusuma yang mengundangku besok malam, ulang tahun beliau. Tumben diadakan di rumah beliau, biasanya di hotel berbintang.
***
Aku melangkahkan kakiku memasuki rumah Bapak Wira, ada rasa ragu sebenarnya dalam hati, tapi aku melangkah dengan percaya diri saja.
Aku diterima oleh Delano dan mengajakku ke sebuah ruangan yang ditempati pesta ulang tahun pak Wira, cukup jauh ternyata.
"Sendiri?" tanya Delano membuka percakapan.
"Seperti yang kau lihat," ujarku pelan. "Kau selalu memukau," ujarnya sambil sekilas menatapku.
"Terima kasih," jawabku pelan. Tiba-tiba...
"Paa paaaa...ppaaa..paaa," suara panggilan anak laki-laki putih tampan namun terlihat dari cara jalannya, jika ia berkebutuhan khusus. Terlihat Delano memeluk anak laki-laki itu dan tidak malu menggandeng, membawa ke hadapanku.
"Kenalkan anakku, Maximilian, anak yang tampan bukan?" ujar Delano sambil tersenyum. Aku merasakan dadaku sesak melihat anak yang dipeluk Delano. Aku segera tersenyum lebar, menyambut tangan Maxi dan memeluknya. Aku menatap dengan lembut wajah Maxi.
"Tante Ina, can you speak Indonesian Maxi?" tanyaku. Dan Maxi mengangguk dengan kaku.
"Yesss iii ccan mmam," kata Maxi terbata.
"Hei panggil tante sayang, jangan panggil mama," ujarku sambil mengelus rambut Maxi dengan lembut. Aku merasakan genggaman tangan Maxi yang erat menggenggam tanganku. Delano yang melihat itu segera menggandeng Maxi dan membawa masuk ke ruangan lain, sembari menyilakanku melanjutkan masuk ke ruangan di ujung lorong itu.
Aku segera melangkahkan kaki, dan Pak Wira segera menyambutku menyalami dengan hangat, terlihat istri Pak Wira yang berdiri dekat dengan Pak Wira juga memberiku salam, saat mencium pipiku ia berbisik.
"Anda, ibu Ina kan direktur PT. Indah Agro Persada?" tanyanya.
"Iya ibu, benar, saya Ina,"jawabku dengan sopan.
"Ah senang bisa berkenalan langsung dengan anda, silakan ibu silakan," ujarnya menyilakanku untuk bergabung dengan tamu lain.
Aku melangkahkan kaki ke arah tamu-tamu penting. Aku melihat lambaian tangan Putri dan Ferdi. Ah ternyata mereka juga diundang. Aku mendekat dan secara bersamaan Delano juga muncul dari arah lain.
Ternyata acaranya dibuat santai saja, hanya makan malam, tidak ada acara-acara resmi, ada iringan lagu juga agar suasana menjadi tidak monoton. Saat Putri dan suaminya mengambil makanan, Delano pindah tempat duduk mendekatiku. Aku hanya menoleh sekilas.
"Tidak mengambil makanan?" tanya Delano. Aku menggeleng, hanya memperlihatkan gelas minum pada Delano.
"Ini sudah cukup, usiaku sudah 40, aku harus menjaga pola makanku," sahutku serius.
"Apakah hanya pada anak-anak seperti Maxi kamu bisa tersenyum lembut, menatap hangat dan berbicara dengan nada manis?" tanya Delano. Aku menoleh tak mengerti.
"Apa aku terlihat acuh, ketus dan tak bersahabat?" tanyaku pada Delano.
"Apa kamu tidak merasa seperti itu?" Delano balik bertanya. Aku menghela napas.
"Semua perempuan pasti akan tersenyum lembut pada anak-anak, Delano, itu hal spontan," ujarku memberikan alasan.
"Tidak semua, kau tidak akan mengerti Ina, tidak semua," ujar Delano lirih sambil memandangi gelas minumku.
"Perempuan aneh namanya, jika pada anak-anak, bayi, pokoknya segala sesuatu yang berbau anak-anak tidak tersentuh dan tersenyum lembut," ujarku memandangnya dari samping.
Dan ia balas memandangku, secepatnya aku menoleh ke sisi yang lain, secara bersamaan aku melihat Pak Wira dan Istrinya yang tersenyum kepadaku dan melihat pada Delano yang duduk di sampingku, aku membalas senyuman mereka.
Jam menunjukkan angka 22.00 saat aku pamit pada Pak Wira dan istrinya, Delano mengejarku.
"Ina kau pulang dengan siapa?" tanya Delano.
"Putri dan Ferdi, tadi berjanji mengajakku bersamanya, tadi aku ke sini diantar sopir kantor, aku kurang enak badan hari ini," kataku menjelaskan.
"Akan aku antar, tunggu sebentar ya Putri tadi pulang duluan, anaknya panas katanya," secepat kilat Delano menghilang, dan aku tidak peduli, aku langkahkan kakiku ke luar rumah megah ini. Sesampainya di depan ternyata Delano sudah menungguku.
"Aku antar, tadi aku berjanji pada Putri untuk mengantarmu, masuklah," kata Delano membuka pintu mobil, aku tidak bisa menolak.
Aku melihat Delano menghidupkan cd player di mobilnya dan mendendangkan lagu lama, milik Steve Wonder "Lately".
"Kamu sangat menghayati menyanyikan lagu itu, apa kamu pernah disakiti?" tanyaku membuka percakapan.
"Mungkin lebih tepatnya karma, dulu aku badboy, siapa sih yang tidak akan jatuh cinta pada pria tampan seperti aku, petualangan cinta tiada henti, sampai akhirnya aku jatuh cinta pada wanita yang ternyata tidak sepenuhnya mencintaiku, saat kami menikahpum selang satu hari ia sudah dengan laki-laki lain, puncaknya, saat melahirkan Maxi, ia seperti malu mengakui Maxi sebagai anaknya, ngotot bercerai dan meninggalkan Maxi saat masih kecil, aku betul-betul seperti orang gila, entah mengapa aku mencintainya dengan membabi buta, sampai akhirnya mama menyadarkanku, bahwa ia bukan mama yang baik bagi Maxi," Delano menjelaskan dengan suara berat dan berkali-kali menghembuskan napas berat.
"Perjalanan manusia memang tidak pernah pasti Delano, kita sakit dengan cara kita masing-masing, tapi aku menikmati rasa sakitku, karena Kevin memberi kenangan manis padaku, ia betul-betul laki-laki yang manis," aku memejamkan mataku saat aku membayangkan Kevin. Tiba-tiba mobil berhenti. Aku membuka mataku dan tercekat saat wajah Delano sangat dekat dengan wajahku.
"Apakah hanya Kevin yang bisa membuatmua jatuh cinta?" tanyanya.
Aku memundurkan wajahku dan mengangguk perlahan. Terdengar Delano menghembuskan napas berat dan melajukan mobilnya kembali sampai akhirnya berhenti di depan rumahku. Aku heran juga dari mana dia tahu. Aku menoleh melihatnya sekilas. Tanganku bagai tersengat listrik saat Delano memegang jemari kananku.
"Terima kasih sudah memenuhi undangan kami, sudah tersenyum pada Maxi dan memeluknya dengan lembut, makanya dia langsung memanggilmu mama, aku ingin menangis rasanya tadi, makanya cepat-cepat aku ajak masuk dia,"ujar Delano pelan.
Aku menarik tanganku perlahan, mengangguk dan membuka pintu mobil.
"Terima kasih," ucapku lirih dan Delano cepat turun dari mobil, mengantarku sampai aku masuk rumah, aku lihat dari balik jendela ia mengusap wajahnya, mengusap rambutnya dan berjalan ke arah kemudi dan melajukan mobilnya.
Aku balikkan badan saat tiga keponakanku melihatku dengan tatapan aneh.
"Hayoooo mama Ina diantar siappaaah, tumben deh pake acara ngintip-ngintip, cie cie deh," ujar mereka bersahut-sahutan.
Kepelototkan wajahku dan berlalu dari hadapan mereka. Ah rasanya tidak lucu aku yang sudah tua jadi bahan ledekan mereka.
***
Aku rebahkan badanku setelah membersihkan wajah dan berganti dengan baju tidur. Tiba-tiba ponselku berbunyi ada pesan masuk. Eh dari siapa?
Selamat tidur (delano)
Ya
Ia tak lagi mengirim pesan. Ah dari dia. Aku berusaha memejamkan mataku, menaikkan selimut sampai leher dan bergelung dengan guling besarku. Kebiasaan jelek sejak kecil, aku tidak bisa tidur tanpa guling.
Tiba-tiba ponselku berbunyi lagi, pasti dari Delano, lalu berturut-turut notifikasi pesan masuk, aku raih ponsel dengan mata yang telah berat untuk aku buka.
Aku lihat ternyata Zigma...
Aku melihatmu diantar dia tadi, aku hanya tidak ingin kamu disakiti Ina, kamu belum sembuh dari luka kehilangan Kevin, aku tak ingin kau terpuruk karenanya, dia perayu ulung terlalu banyak wanita di masa lalunya, sekali ini percayalah padaku Ina...
Ina menghela napas, mengingat wajah Delano dan semua cerita Delano tentang masa lalunya.
Ina memgetik pesan balasan untuk Zigma...
Sebenarnya aku mengantuk tapi pesanmu sangat menggangguku, berhentilah menjadi mamaku yang selalu memata-mataiku, aku bisa menjaga diri, tak usah kau cemaskan aku, kita hanya teman Zig, dan dia datang juga menawarkan pertemanan, lalu apa masalahnya...
Ina meletakkan ponselnya dan tidur bergelung dalam selimut lagi.
****
Revisi 30 Oktober '19 (18.18)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top