#3


Seminggu kemudian..

Aku ceritakan semuanya pada Putri,  ia kaget setengah tak percaya,  aku hanya memejamkan mataku. Putri masih sibuk menyuapi anak keduanya yang masih balita,  aku selonjorkan kakiku di sofa, di rumah Putri,  aku memang tidak langsung pulang tapi sengaja mampir ke rumah Putri,  menumpahkan segala rasaku padanya.

"Istirahatlah Ina, tidur di kamar tamu gih,  ntar jam 21.00 aku bangunin,  kan lumayan tidur lama," ujar Putri menarik tanganku ke kamar tamu.

"Kamu kira aku kebo apa,  tidur segitu lamanya, ini masih sore loh,"ujarku malas-malasan berjalan ke kamar tamu. Putri tertawa geli.

"Lah wajahmu kusut gitu, mending bawa tidur,  siapa tahu seger ger setelah bangun," ujarnya lagi.

***

Tak terasa aku tidur terlalu lama, kubuka mataku dan kukerjabkan perlahan. Aku menuju kamar mandi dan kubasuh wajahku. Ku buka perlahan pintu kamar tamu dan kudengar ada tamu terbahak-bahak tertawa di ruang tamu. Kulangkahkan kakiku perlahan. Tiba-tiba Ferdi suami Putri memanggilku.

"Ina sini gabung bentar," teriaknya memanggilku.

Aku kaget melihat "hantu" itu lagi. Tak salah kan aku memanggilnya hantu karena tiap melihatnya seolah Kevin bangun dari kematian.

Putri juga terlihat tegang dan ia mengedipkan matanya ke arahku,  dan sepertinya ia mengerti,  orang itu yang aku maksud "hantu" Kevin. Aku melangkah mendekati ruang tamu untuk menghargai panggilan Ferdi.

"Ina, kenalkan ini sahabatku waktu kami sama-sama kuliah di Aussie,"ujar Ferdi mengenalkan kami, dan kami bersalaman.

"Kami sudah kenal, Fer," sahutku pelan. Delano pun menganggukkan kepalanya, dan Ferdi melihat kami sambil mengangguk-angguk. Aku pamit pulang karena hari sudah mulai gelap. Aku berjalan ke luar diantar oleh Putri.

"Ya Tuhan Inaaa, bener-bener hantu Kevin,  kok aku ya baru itu sahabat suamiku," Ina geleng-geleng kepala. Aku memandangnya dengan lemah dan melambai menuju mobilku.

"Inaaaaa," tiba-tiba Putri berlari ke arahku dengan tatapan mata tak jelas antara tersenyum dan takut-takut.

"Apa lagi," sahutku malas. Putri mendekat dan...

"Eh In, kalau Delano suka sama kamu kan gampang penyesuaiannya,  mengingat wajahnya kayak Kevin,"ujar Putri terlihat agak takut. Aku menghela napas panjang.

"Put, kamu tuh temenku sejak smp,  tahu gimana ceritaku, sejak awal aku memutuskan untuk tidak jatuh cinta saat melihat bagaimana sakitnya mama saat tahu papa memiliki wanita lain, aku memutuskan untuk menjauhi semua laki-laki,  sampai akhirnya diusiaku yang tidak muda, 33 tahun, aku jatuh cinta pada pria berhati lembut, yang ternyata hanya bertahan dua tahu,  dia meninggalkanku dalam arti tersirat dan tersurat, dan sekarang,  saat usiaku 40 tahun,  lalu aku harus jatuh cinta lagi? Tidak Puuut tidaaaak, biarlah karirku saja yang sukses, aku sudah tidak memikirkan cinta," aku menyudahi percakapanku dan membuka pintu mobil lalu melajukan mobilku menuju rumah.

****

Aku kembali menghela napas, kata-kata Putri kembali terngiang di telingaku. Aku tersenyum miring, dia kira aku mudah jatuh cinta, tidak, bagiku cukup jatuh cinta hanya sekali, tak akan aku kembali merasakan sakit, cukup hanya sekali hatiku tertoreh.

****

Sampai di rumah ibu mengikuti aku ke kamar, tumben.

"Ada apa Ibu?" tanyaku.

"Ina tadi ada Zigma ke sini, diaaa eemmm diaa...," ibunda Ina, Bu Sita,  tak mampu melanjutkan saat Ina menggeleng.

"Dia teman kecilku ibu, aku tak mempunyai perasaan apapun padanya, lagi pula kami sempat bertemu lagi dan berbicara, dia masih sangat mencintai almarhum istrinya, aku tak mau bersaing dengan orang yang sudah meninggal," sahut Ina.

"Tapi dia pernah sangat mencintaimu, hanya kau selalu menjaga jarak," ujar Bu Sita.

"Karena sejak awal aku memang tak ingin jatuh cinta ibu, hanya perasaanku jadi lain saat bertemu Kevin, sayang ia meninggalkanku dalam kesendirian, mungkin selamanya aku akan begini ibu, maafkan Ina,"

Ina merasakan pelukan ibunya, mengusap punggungnya, dan terisak perlahan.

"Kau jangan begini Ina, kau sudah membahagiakan kami, saatnya kau juga bahagia,"

"Ibuuu, Ina bahagia, ada ibu, adik-adik dan keponakan, itu sudah membuat Ina bahagia," sahut Ina.

****

Keesokan harinya Ina dikagetkan oleh kedatangan Zigma di rungannya.

"Tak biasanya Zig, tumben?" tanya Ina.

"Ah aku hanya mampir, kebetulan saja, nanti malam kita makan yuk In, bisa?" tanya Zigma dan aku masih menatap pekerjaanku di layar komputer.

Tiba-tiba Asri mengetuk pintu dan memberitahu jika Delano datang lagi.

Dengan langkah tegap, ia masuk dan Zigma menoleh, menatapnya dan mereka terlihat saling menatap dengan tatapan yang tak aku mengerti.

"Baiklah, aku pergi dulu Ina, nanti aku hubungi lagi," ujar Zigma dan berlalu dari hadapan kami.

"Silakan duduk Pak Delano, ada yang bisa saya bantu?" tanyaku dan Delano duduk di hadapanku, menyerahkan sebuah amplop coklat besar.

"Dari papa untuk anda," ujarnya dan duduk di hadapanku.

Aku membuka amplop coklat itu dan membacanya, aku hanya mengernyit dan menutupnya lagi.

"Anda mengenal Zigma?" tanya Delano tiba-tiba.

Aku mendongak dan mengangguk.

"Dia teman saya sejak kecil, dan tetap berteman dengan saya sampai sekarang, sedang anda dari mana anda mengenal dia?" aku balik bertanya.

"Kami berkuliah di tempat yang sama di Aussie, saya punya sedikit masalah, dia salah paham, ah masa lalu, tapi dia terlihat masih membenci saya, saya tak mengusik gadisnya saat itu, gadisnya yang mengejar saya dan dia jadi sakit hati karena gadisnya akhirnya benar-benar meninggalkannya," ujar Delano.

Aku hanya diam saja, tak menanggapi karena itu bukan masalahku.

"Maaf, nanti malam anda ada acara, boleh saya mengajak anda makan?"

Ah kepalaku pusing, mengapa dua makhluk membingungkan, dua laki-laki aneh itu mengajakku makan malam di saat yang sama?

****

Revisi 28 Oktober '19 (03.31)

Check typo please 😴

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top