#2
Lima tahun kemudian...
Kenangan tentangnya tidak mudah aku hapus. Karena semua hal, aku lakukan pertama kali dengannya. Kevinlah cinta pertamaku, mengenalkan apa yang namanya cinta, kelembutan dan ketulusan.
Ia juga yang pertama menggenggam tanganku, memberiku kekuatan saat aku ragu dalam memutuskan sesuatu dan ia juga orang pertama yang mencium lembut bibirku. Orang pertama yang membuat aku berdebar hebat karena ciumannya yang memabukkan.
Tidak akan mudah meninggalkan semua kenangan tentang Kevin. Sehingga kembali aku tenggelamkan diriku pada pekerjaan. Sampai aku mencapai posisi mapan di perusahaan ini. Tidak ada waktu bagiku untuk mengenal cinta lagi. Selesai sudah.
Sedang Putri, sahabat yang selalu menemaniku dalam suka dan duka, tak pernah lelah menjodohkanku pada laki-laki yang ia anggap cocok, namun selalu kutolak dengan halus.
Aku hanya kasihan pada mama, ia selalu menatap sedih tiap kali aku dilangkahi oleh adik-adikku, dan dengan suka cita aku membiayai pernikahan mereka, aku memang menjadi tulang punggung keluarga setelah papa meninggal karena penyakit jantung koroner.
Dan aku tidak menyesali pilihan hidup yang aku jalani. Aku tidak pernah merasakan kesepian seperti pikiran oleh orang-orang.
Keponakanku sudah seperti anak bagiku. Di rumah besarku, selain aku, ibu dan lima pembantu, masih ada tiga keponakan yang ikut denganku karena berkuliah di kota ini. Tidak ada kata sepi dalam hidupku.
Kini usiaku sudah 40 tahun. Bulan lalu karyawanku merayakannya secara sederhana namun hikmad, aku terharu mereka menyiapkan tumpeng besar di kantor pada saat jam makan siang dan juga kado spesial beberapa novel terbaru. Ah mereka tahu jika aku suka membaca.
Sampai suatu saat ketenangan hidupku terganggu, ketika perusahaanku kedatangan tamu dari perusahaan yang terbiasa bekerja sama dengan perusahaanku, kebetulan Pak Wirahadi Kusuma tidak datang jadi dia mengutus wakil direkturnya yang baru.
Saat pintu terbuka, tubuhku menegang. Aku hanya berharap ini mimpi, tidak mungkin orang yang sudah mati lima tahun lalu hidup kembali. Aku baru sadar saat ia memajukan tangannya di depan wajahku yang masih duduk dan memandangnya dengan tatapan aneh.
"Delano Wiraatmaja Kusuma, wakil dari bapak Wirahadi Kusuma, beliau berhalangan hadir," ujarnya dengan suara berat.
"Iii..iyaaa iyaa mari silakan duduk Pak, sebentar saya telepon sekretaris saya untuk menyiapkan berkas perjanjian kita," aku menutupi kegugupanku dengan segera menelpon Asri sekretarisku. Aku melihat ia mengeluarkan berkas-berkas juga dari tasnya.
Tak lama Asri datang memberikan berkas, lalu menyiapkan minuman dan kudapan di meja untuk tamu. Kami saling bertukar berkas dan saling menandatangani.
"Mari Pak, silakan dinikmati dulu, bapak bisa memilih ini ada teh dan kopi," ujarku mencoba menenangkan diri, ingin rasanya Putri ada di dekatku, karena aku merasa tidak mampu melangkah.
Kami melangkah ke sofa untuk tamu, kami duduk berhadapan, ia memilih kopi dan menuangkan sendiri, memberi gula serta creamer.
Dengan senyum aneh ia mulai meminum kopinya. Aku lebih banyak menunduk dan memilih menatap cangkir tehku.
Tidak biasanya aku begini, aku wanita tegas yang selalu menatap lawan bicara tapi ini..wajahnya, wajah di depanku ini mengingatkanku pada Kevin.
"Mohon maaf jika saya membuat anda kaget, anda atau ibu ya enaknya?" tanyanya ramah.
"Terserah," aku menjawab pelan dan berusaha tersenyum.
"Mengapa anda meminta maaf?" tanyaku pada orang aneh ini.
"Anda pasti kaget tadi, saya saudara kembar Kevin, kami terpisah sejak bayi, karena saya ikut dengan orang tua angkat saya di Australia, orang tua angkat saya bukan orang lain, melainkan bibi dan paman saya sendiri, kami kembar identik, wajah kami sama, hanya saya lebih hmmm lebih besar dan lebih tampan daripada Kevin hehheh maaf hanya bergurau," ujarnya sambil tertawa, hal yang tidak pernah dilakukan Kevin, ia pria yang manis, santun, tidak banyak bicara.
"Saya tahu banyak tentang anda karena kami sangat dekat, Kevin beberapa kali mengirim foto kalian berdua, bahkan saat, saat ia memutuskan menjauh dari anda, saya juga tahu, maafkan saudara saya ia hanya tidak ingin anda terluka," ucapnya sambil menghela napas berat.
Aku hanya mengangguk pelan. Dan mataku mulai panas, ia tanggap dan memberiku tisu.
"Sudah dua tahun saya di Indonesia, terpaksa pulang karena harus mengurus beberapa aset milik Kevin, juga ada dua adik perempuan Kevin eh adik saya juga sih yang baruuu saja selesai berkuliah dan harus saya pikirkan juga lalu menjadi wakil direktur di perusahaan papa saya, yah Pak Wirahadi Kusuma itu papa angkat saya, tiga tahun lalu papa kembali ke Indonesia mengurus perusahaan lagi, sedang yang di Australia mama yang pegang ah saya terlalu banyak bicara, tapi setidaknya anda tidak merasa asing dengan saya, karena kami, saya dan papa sudah tahu siapa anda," ujar Delano dengan senyum aneh lagi.
"Eh iya maaf ke asyikan cerita, bagaimana kabar anda, anak, suami anda?" tanya Delano lagi, ah ia sangat cerewet.
"Saya belum menikah," ucapku dengan nada datar, kulihat ia terbelalak.
"Maaf," terdengar ucapnya lirih.
"Tidak apa-apa," ujarku berusaha tersenyum.
Aku benci, tiap kali melihat wajah kaget orang yang tahu jika aku belum juga menikah, apakah seburuk itu pandangan orang pada perawan tua?
Dan aku tak ambil pusing, biarlah mereka berjalan dengan pikiran aneh itu.
"Maaf, saya pamit, sekali lagi saya minta maaf telah membuat anda kaget, saya yakin anda mengira Kevin bangkit lagi heheh maaf hanya bergurau, baiklah, sampai bertemu lagi, saya yakin ini bukan pertemuan terakhir kita, saya yakin juga, kita akan menjadi teman baik, sangat baik, permisi," ia mengulurkan tangannya, menggenggam tanganku dengan erat dan melangkah menuju pintu.
Aku melangkah kembali menuju tempat dudukku, kursi kebesaranku dan menghempaskan diri di sana, memejamkan mata dan terbayang wajah Kevin.
Mengapa kau datang lagi, apa memang aku ditakdirkan untuk mengharap bayangmu saja...pergilah atau tetap di sisiku jika memang kita hanya ditakdirkan saling mencumbu bayang...
"Ibu, ada telpon dari Bapak Wirahadi Kusuma di saluran satu," suara Asri mengagetkanku hingga aku hampir terlonjak.
"Iyaaa terima kasih," ujarku meraih telpon.
****
Keesokan harinya laki-laki itu muncul lagi, ia membawa berkas yang terlupakan meski sebenarnya ia bisa saja mengirimnya via email pada Asri.
Aku menatap punggungnya yang ke luar dari ruanganku, dia jauh berbeda dengan Kevin semuanya tak ada yang bisa membuatku nyaman selain Kevin.
****
Revisi 27 Oktober '19 (06.08)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top