Satu : Pagi di Lembah Cherokee
Kabut pagi dan udara yang basah terasa menyelimuti rumah-rumah adat beberapa penduduk di lembah itu. Angin basah sisa hujan semalam membuat suasana semakin menusuk. Tak terlihat aktifitas yang menunjukkan bahwa mereka akan bekerja hari ini. Karena hanya terlihat beberapa perempuan mengasuh anak mereka, beberapa anak kecil yang duduk di teras sambil bermain dengan tertawa. Dinginnya suasana tak membuat anak-anak itu meringkuk di bilik tidur mereka.
Sementara asap terlihat mengepul hampir di setiap dapur rumah-rumah adat itu. Menandakan bahwa mereka sedang berusaha menghangatkan diri dengan perapian. Langit masih saja mendung dan sepertinya matahari tak hendak muncul hari ini.
Di sebuah rumah adat yang paling besar, terdengar percakapan yang melibatkan suara laki-laki. Sementara di bilik belakang, terdengar kesibukan karena Aruma, perempuan setengah baya dengan wajah anggun dan tegas, sedang mengawasi Leti memasak. Bau daging bakar terasa menyengat penciuman para lelaki yang sedang melakukan pembicaraan serius itu.
"Beberapa hari lalu, hulubalang Meka datang kembali." Lewanu, laki-laki setengah baya yang terlihat gagah dan berwibawa itu menatap laki-laki muda yang sedang duduk di depannya sambil mengasah ujung tombak yang akan dipakainya untuk berburu.
Lansa, si lelaki muda itu, terdiam tak menjawab. Dia malah terlihat serius dengan kegiatannya. Ujung tombak yang sudah terlihat demikian runcing dan tajam itu masih saja diasahnya.
"Kau tak mendengar ucapanku, Lansa?" Lewanu kembali bersuara dengan suara sedikit ditegaskan, membuat Lansa mendongak. Dia menghentikan kegiatannya dan menatap sekilas kearah Lewanu.
"Aku mendengarnya." Lansa kemudian kembali menunduk, meneruskan kegiatannya lagi.
"Perjodohan kalian sudah terjadi semenjak kalian masih sama-sama kecil dan bermain bersama." Lewanu kembali mengisahkan hal serupa yang sering didengarnya dari sang ayah itu.
Lansa tak menyahut. Sebenarnya dia bosan dengan bahan obrolan yang itu-itu saja. Perjodohannya dengan Mona, putri hulubalang Meka yang terkenal cantik dan hebat menggunakan pedang itu, sudah menjadi berita yang nyaris basi di telinga Lansa. Karena sejujurnya, dia tak suka dengan perjodohan itu.
"Hulubalang Meka mengajak kita berembug untuk segera melaksanakan upacara pernikahan kalian. Secepat yang bisa kita lakukan," Lewanu meneruskan pembicaraannya sambil sesekali menghisap tembakau yang terbakar pada canting pipa yang terbuat dari gading gajah itu.
"Aku masih ingin berpetualang, Yah. Aku belum cukup tua untuk tetap melajang."
Lewanu menatap Lansa tajam.
"Ini sudah yang kesekian kalinya kamu menolak pernikahan itu dengan bermacam alasan, Lansa. Ayah akan kehilangan muka jika nantinya harus ditunda lagi."
"Kalau Ayah tak mau kehilangan muka, Ayah bisa menjodohkan Mona dengan Dalton."
Lewanu semakin terkejut dengan ucapan yang dilontarkan Lansa. Bagaimana mungkin Lewanu harus mengalihkan perjodohan anaknya dengan Dalton?
"Lansa! Kamu ingin mencoreng nama baik Ayahmu? Apa kata Hulubalang Meka jika mengetahui idemu yang konyol itu?" Lewanu menghardik dengan suara keras dan tegas.
"Mengapa Ayah selalu memikirkan kata Hulubalang Meka, sementara Ayah tak mempertimbangkan perasaanku? Anak Ayah itu aku, bukan Hulubalang Meka atau Mona."
"Lansa! Jaga bicaramu! Jangan sampai apa yang kamu ucapkan itu sampai ke telinga Hulubalang Meka. Ayah tak mau memicu permusuhan dengan Hulubalang. Kamu tahu? Mereka memiliki kerabat yang jumlahnya tidak sedikit di Cherokee ini. Jika sampai kita memiliki alur yang bertentangan dengan mereka, Ayah tak tahu apa yang akan terjadi."
Lansa menatap Ayahnya dengan pandangan tak mengerti. Dia menghentikan kegiatannya mengasah ujung tombak berburunya.
"Jadi Ayah khawatir akan kehilangan jabatan Ayah sebagai kepala suku? Dengan mempertaruhkan aku untuk menjadi menantu Hulubalang Meka?" Lansa meradang dengan apa yang diungkapkan ayahnya.
"Lansa!!"
"Kalau tujuan Ayah menikahkan aku dan Mona hanya karena jabatan Ayah, maaf, Ayah. Aku menolaknya!"
"Ayah tak mungkin membatalkan apa yang sudah menjadi kesepakatan sekian tahun, Lansa!" muka Lewanu terlihat merah menahan amarah. Tangannya mencengkeram pipa tembakaunya dengan geram.
Lansa bahkan mulai berani menatap ayahnya tajam.
"Kalau Ayah tak punya keberanian untuk mengatakan hal ini kepada Hulubalang Meka, aku yang akan mengatakannya sendiri."
"Lansa! Jangan bertindak bodoh dan kurang ajar seolah-olah kamu tak diajarkan etika!"
Tiba-tiba dari bilik belakang muncul Aruma yang datang dengan tergopoh-gopoh karena mendengar suara yang denikian keras.
"Ada apa ini, Lewanu? Kalian berdebat seperti orang-orang yang tak memiliki adat. Hari masih terlalu pagi untuk mengadu kekuatan kalian berdebat!" Aruma menghardik, tak peduli bahwa Lewanu adalah kepala suku. Karena setinggi apapun jabatan Lewanu, dia tetaplah adiknya.
Lewanu mendengus kesal dan masih menatap Lansa dengan pandangan tajam penub amarah.
"Kamu bisa menanyakannya langsung pada anakmu itu, Aruma! Apa yang telah kulakukan sehingga memiliki anak yang suka membangkang seperti dirinya!"
Lansa menatap kembali ke arah ayahnya dengan tajam.
"Aku tidak membangkang, Ayah. Aku hanya tak mau jika perjodohan antara aku dan Mona itu memiliki tujuan untuk memperkokoh kedudukan Ayah sebagai kepala suku!" Lansa mengeraskan suaranya dengan nada tegas.
Tiba-tiba Lewanu tertawa keras seolah mengejek ketegasan Lansa. "Kita akan melihatnya nanti, Anak Muda. Ayah atau kamu yang akan kalah berpendirian."
"Sudah! Kalian ini sebenarnya memiliki sifat yang sama. Sama-sama keras kepala! Sayangnya kalian tak ada yang mau mengalah. Dan itu juga kesamaan sifat kalian! Lansa, sebaiknya kamu segera makan. Leti sudah selesai dengan masakannya!"
Lansa tak menjawab tawa dan ancaman ayahnya, dan bahkan malah mengikuti Aruma untuk berjalan ke bilik belakang. Perdebatannya dengan ayahnya mampu menenggelemkan laparnya yang tadi sudah terdengar memberontak.
Sepeninggal Lansa, Lewanu merenungi betapa kerasnya pendirian Lansa. Lewanu seperti dihadapkan pada cermin besar yang menggambarkan bagaimana dirinya di masa lalu. Lansa memiliki sifat yang nyaris sama persis dengan dirinya ketika dulu memperjuangkan rasa cintanya pada Chilam, perempuan ayu yang digilainya.
Saat itu Lewanu muda juga keras dengan pendiriannya. Dan ayahnya memang akhirnya menyetujui pilihannya. Tapi hanya beberapa tahun saja kebahagiaan Lewanu berlangsung. Karena setelah Lansa lahir dan berumur satu tahun, perempuan itu ditemukan tewas dengan mulut penuh busa akibat keracunan.
Lewanu terpukul dan merasa bersalah Chilam tewas karena menjadi sasaran dendam yang sebenarnya ditujukan pada dirinya. Sejak saat itu, Lewanu membekukan hatinya. Tak akan mendekati perempuan manapun jika harus berakhir dengan menjadikan perempuan itu berada dalam bahaya bakibat dendam padanya.
Dan Lansa kecil akhirnya harus tumbuh dan berkembang tanpa kasih sayang seorang ibu. Aruma, kakak kandung Lewanu, yang akhirnya merelakan dirinya untuk mengasuh Lansa, dan melupakan dirinya yang harus menjadi perawan tua. Tanpa menikah hanya untuk mengasuh Lansa.
Bisa dibayangkan bagaimana kuatnya ikatan bathin antara Lansa dan Aruma. Karena yang Lansa tahu, Ibunya hanya Aruma. Dan Lansa memang lebih patuh pada Aruma dari pada dengan Lewanu. Jikapun Lansa sekarang menjadi pemuda yang tegap, gagah dan tangguh, itu memang karena tempahan fisik yang diberikan Lewanu setiap hari. Karena sebagai anak kepala suku, Lansa memiliki kesempatan yang lebih besar untuk menggantikan posisi Lewanu sebagai kepala suku. Dan itu membutuhkan ketangguhan fisik dan juga hati.
Lewanu kembali menghisap tembakaunya yang nyaris mati tergerus lamunannya, kemudian menghempaskannya pelan. Bayangan Joti yang tadi sempat melintas di kepalanya, perlahan menghilang bersama memudarnya asap tembakau.
Kabut gunung setia memeluk lembah Cherokee ketika di luar terdengar keributan suara beberapa laki-laki.
"Kepala Suku! Kepala suku!" terdengar panggilan yang susul menyusul dari beberapa suara laki-laki.
Lewanu bergegas keluar dan membuka pintu. Di halaman rumahnya yang luas, terdapat beberapa penduduk suku Cherokee laki-laki yang sepertinya mengusung sesuatu.
"Ada apa ini?" Lewanu bertanya tegas.
Dari dalam bilik belakang kemudian menyusul Lansa, Aruma dan juga Leti. Perempuan muda yang biasa membantu di rumah Lewanu.
"Kami menemukan gadis ini mengendap-endap di pinggiran area kita, Kepala Suku." Seorang warga berbicara.
"Ya, Kami menemukannya di sana!" sahut yang lain.
Lewanu menatap seseorang yang mereka bawa. Begitupun dengan Aruma, Leti dan Lansa. Semua mata menatap ke arah gadis yang dibawa penduduk ke hadapan Lewanu.
Dalam pandangannya, Lewanu melihat seorang perempuan dengan rambut panjangnya yang berantakan, memakai celana panjang yang sudah kotor karena terkena lumpur tanah basah, memakai baju dingin dan menyandang tas punggung yang juga sudah kotor.
'Sepertinya dia bukan gadis suku Cherokee ataupun juga suku lainnya' Lewanu menbathin.
Sementara Lansa mencermati penampilan gadis itu. Entahlah, tiba-tiba dada Lansa berdesir ketika matanya bertemu pandang dengan mata gadis itu. Untuk beberapa saat tatapan mereka terpaku, dan waktu memdadak seperti membeku. Wajah cantik gadis itu tak bisa tertutupi meskipun penampilannya berantakan.
"Siapa gadis ini? Dilihat dari penampilannya, dia bukan perempuan dari bangsa kita." Lewanu bertanya sambil mengira-ngira.
"Sepertinya perempuan kota, Kepala Suku!" seorang warga menyerukan jawabannya.
Lewanu manggut-manggut.
"Kita pantas mencurigainya, Kepala Suku. Siapa tahu dia mata-mata yang dikirim oleh suku Ramda untuk mengetahui kelemahan kita!" seorang yang lain kembali bersuara yang disahuti oleh gerutuan warga yang lain.
"Tenang! Kuharap kalian bisa sedikit tenang. Kita akan mengetahuinya setelah kita menanyakannya. Sebaiknya kita bawa perempuan ini ke balai suku!" Lewanu menengahi.
"Ya, Kepala Suku!"
"Ayo!"
"Ayo!"
Beberapa penduduk yang menemukan perempuan itu kini bergerak menuju ke Balai Suku dengan mengarak gadis itu. Lewanu kemudian menoleh ke arah Lansa.
"Lansa! Kita harus ke Balai Suku! Ada yang harus kita selesaikan dengan perempuan tadi."
Lansa mengangguk, melupakan perdebatan yang baru saja berlangsung antara dirinya dan ayahnya. Dengan langkah bergegas dia mengikuti langkah Lewanu menuju Balai Suku yang bangunannya terletak di tengah perkampungan.
Beberapa penduduk yang melihat peristiwa itu terlihat saling berbincang, membicarakan apa yang telah terjadi. Beberapa diantaranya bahkan ada yang ikut ke balai suku untuk tahu kejelasan masalah pagi ini.
Bangunan balai suku terletak di tengah pemukiman. Di bangun dengan kayu-kayu oak yang kokoh dan telah berusia ratusan tahun. Atapnya yang terbuat dari ijuk menandakan bahwa balai suku sudah berdiri sejak puluhan tahun yang lalu. Beberapa pilarnya terlihat demikian tua dan angker.
Gadis yang menyandang ransel yang di giring warga itu kini di dudukkan di tengah balai suku. Beberapa warga terlihat berkerumun untuk mengikuti sidang mendadak yang semakin padat karena warga yang lain mulai menyusul untuk melihat apa yang terjadi.
Lewanu datang diikuti Lansa. Mereka berdua kemudian duduk di kursi kayu yang besar, yang berada di dalam balai. Kursi itu menghadap pada warga dan gadis berransel itu. Gadis itu terduduk menunduk.
Entah mengapa, ketika Lansa menatap kembali pada gasis itu, dia ingin menolongnya dari bermacam tuduhan yang hiruk pikuk dituduhkan warga padanya.
"Diamlah sejenak! Kita akan mulai meminta keterangan pada perempuan ini."
Suara warga yang hiruk pikuk mulai reda, meski satu dua masih ada yang bergunjing.
"Siapa namamu?" Lewanu memulai pertanyaannya yang disimak dengan seksama oleh warga suku Cherokee yang hadir di balai suku.
Gadis itu mendongak menatap Lewanu, mengabaikan keberadaan Lansa yang menatapnya dengan pandangan tajam menelaah.
"Nama saya Yiska." Gadis itu menjawab lirih.
Beberapa warga kembali bergemuruh mendengar nama Yiska disebutkan.
"Baiklah, Yiska. Bisa kau katakan dari mana asalmu dan apa tujuanmu berada di area perkebunan kami?"
Yiska mendongak menatap ke arah Lewanu dengan berani, tanpa ada rasa terkejut sama sekali. Meski Yiska menyadari bahwa penampilannya memang sangat jauh berbeda dengan sebagian besar warga di sekelilingnya.
"Saya tersesat, Kepala Suku."
Warga kembali bergemuruh menyangkal sehingga suaranya demikian hiruk pikuk, membuat seorang laki-laki yang menjabat sebagai pamong suku mengetuk meja dengan keras, berharap warga menjadi sedikit diam untuk menyimak selanjutnya.
Yiska kembali menunduk.
"Tersesat? Bagaimana bisa?" Lewanu kembali mencecar Yiska dengan pertanyaan.
"Saya satu dari rombongan kemah, Kepala Suku. Ketika jelajah alam, saya terpisah dari rombongan karena mengikuti seekor kelinci hutan yang meloncat dengan cantiknya."
Lewanu masih menyimak.
"Saya mengikutinya tanpa menyadari bahwa saya sudah jauh dari rombongan saya. Ketika saya hendak kembali kepada rombongan saya, saya kehilangan arah."
"Kamu bukan utusan suku Ramda?"
Yiska terlihat bingung.
"Suku Ramda? Maaf, Kepala Suku. Saya tah tahu menahu dengan suku Ramda."
Lewanu manggut-manggut, seolah sedang menelaah apakah keterangan yang diberikan Yiska benar atau itubhanya sebuah kamuflase seorang mata-mata.
"Jangan langsung percaya, Kepala Suku. Kita sudah sering berhadapan dengan orang-orang suku Ramda. Mereka sangat lihai dan licik dalam siasatnya. Siapa tahu ini utusan yang sama." Elmon, salah seorang warga yang berani mengungkapkan isi hatinya terdengar bersuara dengan keras.
Beberapa warga yang lain bergemuruh setuju dengan apa yang dikatakan oleh Elmon.
"Baiklah. Kita tidak bisa langsung menjatuhkan keputusan tanpa mempertimbangkan keterangan Yiska. Sambil menunggu keterangan selanjutnya, kita akan membawa Yiska ke penjara suku."
Yiska terkejut dengan apa yang diucapkan Lewanu yang disetujui oleh warganya,
"Kepala Suku! Saya bukan penyusup, saya bukan mata-mata. Saya hanya tersesat." Yiska berbicara dengan lantang namun sedikit gentar.
"Kita akan membuktikannya nanti, Yiska. Dan tentu saja kamu tahu, hukuman apa yang akan kamu terima jika kamu memang seorang penyusup yang dikirim oleh suku Ramda untuk menemukan rahasia-rahasia kami."
Yiska menggeleng.
"Saya hanya tersesat, Kepala Suku!" Yiska kembali berteriak lantang.
"Putong! Elmon! Bawa perempuan ini ke panjara suku." Lewanu menitahkan keputusannya.
"Baik, Kepala Suku."
Lalu kedua orang yang diperintahkan untuk membawa Yiska itu kemudian bergerak maju untuk mencekal Yiska dan membawanya ke penjara suku yang terletak di belakang rumah besar Lewanu.
Yiska meneriakkan penolakannya. Air mata sepertinya sudah mulai merebak hendak menangis. Tapi Putong dan Elmon tak menggubris teriakan Yiska. Kedua laki-laki itu mengcengkeram kedua lengan Yiska dan memaksanya bangkit untuk digiring ke penjara suku.
Yiska meronta tak mau dimasukkan ke dalam penjara. Tapi bagaimanapun kerasnya dia berontak, keputusan Lewanu sudah ditetapkan. Dan Putong tetap menggiringnya menuju ke penjara suku yang berada di belakang rumah besar Lewanu.
Sejenak mata cantik Yiska menatap Lansa meminta pertolongan, tetapi tentu saja keputusan tak bisa diganggu gugat sehingga laki-laki itu hanya memalingkan muka, tak mau menatap Yiska meski hatinya iba mendengar tangisan Yiska.
Dan tentu saja kilat kebencian langsung terpancar di mata Yiska untuk Lansa. Dia membenci laki-laki itu yang malah memalingkan muka padahal dia meminta pertolongan. Yiska tak meminta dibebaskan, dia hanya minta diberi kiesempatan untuk mengatakan siapa dirinya juga bukti-bukti yang menguatkan bahwa dia bukan penyusup yang dikirimkan oleh suku Ramda.
Warga suku Cherokee yang tadinya berkerumun melihat peradilan di balai suku, kini bubar. Sebagian ada yang mengikuti Putong dan Elmon menggiring Yiska, sebagian kembali ke rumah masing-masing. Bahkan sebagian penduduk yang tak ikut menyaksikan peradilan itu sudah pergi ke area reservasi mereka untuk bercocok tanam.
Selama dalam perjalanan, Yiska terus berontak. Tapi sepertinya dia melakukan hal yang sia-sia, karena kini dia sudah berada di depan sebuah rumah yang besar dan tinggi. Beberapa penjaga terlihat memegang tombak pada pintu masuknya.
Putong dan Elmon membawa Yiska kesana. Gadis itu masih berusaha menolak, karena melihat bangunan yang sangat tidak memadai itu saja sudah membuatnya mual tidak karuan. Apalagi ketika sampai di dalam dan dia melihat bahwa bangunan besar itu terdiri dari ruangan-ruangan yang sekatnya demikian kokoh.
"Tolong lepaskan saya. Saya bukan penyusup, saya hanya tersesat!" Yiska masih saja berusaha berontak. Tapi lagi-lagi semuanya sia-sia.
"Sebaiknya kamu menyimpan tenagamu. Nanti akan ada peradilan ulang setelah bukti yang akan menyertai peradilanmu ditemukan."
"Tapi saya bukan penyusup! Saya hanya tersesat dan terpisah dari rombongan."
Putong dan Elmon tak menjawab lagi dan kemudian mendorong Yiska untuk memasuki salah satu bilik penjara yang ada di bangunan besar itu, kemudian mengunci pintunya.
Sementara Yiska yang tersungkur karena di dorong terlalu keras, kini bangkit dengan paksa ketika melihat pintu ditutup. Dengan sekuat tenaga Yiska membukanya. Tapi tentu saja tidak berhasil karena pintu sudah terkunci dari luar.
"Buka! Buka pintunya! Saya tak bersalah! Saya bukan penyusup! Bukaa!!!" Yiska berteriak sambil menggedor pintu dengan tangannya.
Sia-sia.
Bahkan seseorang dari bilik di sebelah biliknya berteriak dengan mengancam. "Diam! Suaramu yang berisik itu mengganggu tidurku!" ucap suara perempuan yang terdengar serak dan sangar, membuat nyali Yiska menciut.
Yiska terduduk lemah dan menelungkupkan wajahnya pada kedua lututnya yang tertekuk. Dia menangis, menyesali kebodohannya yang gampang terpesona oleh segerombolan kelinci hutan yang manis kala itu.
"Yiska, segera ikuti kami. Agar tak tersesat." Suara Martin yang ketua regu jelajah alamnya, seperti menggema kembali ke telinga Yiska. Membuat tangisnya semakin keras terdengar.
Brak..brak..brak..!!
"Tak perlu menangis! Simpan saja air matamu untuk hari dimana kamu akan dihukum gantung seperti penyusup Ramda yang lain," suara perempuan garang di sebelahnya kembali terdengar.
Hukum gantung? Tangis Yiska semakin kencang sehingga perempuan di bilik sebelah semakin meradang.
"Kelinci sialaaannn!!!" Yiska berteriak membenci segerombolan kelinci yang telah membuatnya terdampar pada sekawanan penduduk suku entah berantah, yang salah satu penduduk laki-lakinya sangat dia benci.
Yiska tak tahu siapa nama laki-laki itu, tapi yang jelas dia berjanji akan membenci laki-laki itu.
Sementara di rumah besar Lewanu, terlihat Lansa sedang berdiri didekat jendela yang menghadap ke pekarangan belakang, dimana bangunan penjara suku berada. Dan teriakan Yiska lamat-lamat terdengar sampai ke telinganya.
Diam-diam, sisi hati Lansa ada yang tersayat. Meski sebagai seorang laki-laki anak kepala suku Cherokee yang di siapkan untuk tangguh dan mengesampingkan perasaan, tapi nyatanya Lansa tak bisa mengelak. Perempuan ayu berwajah gembil dengan lesung pipi itu membuat sisi hatinya terjamah.
Tapi Lansa tak akan menunjukkannya dihadapan gadis yang telah menatapnya dengan penuh kebencian itu. Karena dia harus mempersiapkan diri jika Hulubalang Meka nanti datang untuk berembug tentang rencana pernikahannya dengan Mona.
* * * * *
iu1
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top