Lima : RENCANA ARUMA



Aruma menyeruak masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ke bilik Lansa, dimana dia mendengar ada keributan. Sebenarnya bukan sedikit keributan, karena Lansa harus beberapa kali tersungkur akibat pukulan keras yang dilakukan Lewanu terhadap dirinya.

"Hentikan, Lewanu! Kamu bisa membunuh Lansa!" Aruma mencoba memegang lengan-lengan Lewanu agar menghentikan pukulannya.

Sementara Lansa yang mencoba untuk bangun dalam keadaan setengah naked membuat Aruma tak kalah terkejut dengan apa yang dilihatnya, sama dengan rasa terkejut yang dialami Lewanu. Pikiran buruk segera menyerbu otak kedua orang itu.

"Apa yang telah kamu lakukan, Lansa?" Aruma bertanya dengan nada marah karena dia juga melihat sekilas, bahwa Yiska yang sedang menggigil di bawah selimut itu pun dalam keadaan nyaris telanjang.

"Benar-benar memalukan! Kelakuanmu akan mengotori martabat kita dan Cherokee akan menjadi suku kotor yang mendatangkan kutukan Tuhan!" Lewanu kembali angkat bicara, mencoba memuntahkan apa yang ada di kepalanya.

Lansa bangkit sambil mengusap mulutnya yang memar dan sedikit berdarah.

"Kalian pikir apa yang aku lakukan? Aku hanya mencoba meredam panasnya, karena obat yang diberikan bibi Aruma tak membuat demamnya menurun!" Lansa menjelaskan dengan nada menahan amarah.

Lewanu dan Aruma saling berpandangan, menatap tak percaya dengan alasan yang diungkapkan Lansa.

"Apakah kalian tak melihat? Aku tidak bugil! Dan gadis ini juga masih dengan pakaiannya. Aku hanya melepas pakaian luarnya saja!"

"Lalu mengapa kau membawa gadis ini ke rumah kita? Bukankah seharusnya dia ada di bilik tahanan?" Lewanu mencoba mengalihkan pembicaraan untuk menghindari rasa malunya karena apa yang dia pikirkan ternyata salah.

Aruma segera mendekati Yiska dan menyelimutinya kembali, karena gadis itu terus saja demam hingga menggigil.

"Aku minta maaf karena membawanya kesini tanpa ijin ayah terlebih dahulu." Lansa merendahkan nada bicaranya.

Lewanu menghela napas.

"Kita bicarakan ini di ruang tengah!" Lewanu memerintah kemudian berjalan keluar dari bilik Lansa.

Lansa menatap sejenak ke atah bibi Aruma. "Beri Yiska pertolongan, Bibi. Sepertinya demamnya semakin parah," ucap Lansa yang dijawab anggukan oleh Bibi Aruma. Lansa lantas mengikuti Lewanu keluar dari biliknya sambil mengusap ujung bibirnya yang pecah berdarah.

Di ruang tengah, keduanya duduk menghadap sebuah meja kayu besar yang terlihat sangat kuno. Lewanu menatap Lansa yang sedang meringis merasakan lebam di wajahnya.

"Jadi bisa kau jelaskan, bagaimana gadis kota yang seharusnya menjadi tawanan itu bisa sampai ke bilikmu?" Lewanu bertanya dengan nada penuh wibawa, seperti hendak mengadili Lansa.

Lansa menatap Lewanu sekilas lalu berdiri dan beranjak ke dekat jendela, menatap pemandangan luar. Mata Lewanu mengikuti kemana arah Lansa berjalan.

"Yoki hampir memperkosa gadis itu," jawab Lansa datar.

Lewanu tertawa. "Sepertinya tidak hanya hari ini Yoki melakukannya, Lansa. Dan biasanya kamu tidak ambil pusing dengan apa yang Yoki perbuat."

"Tapi kita belum bisa memastikan apakah gadis ini benar ataukah bersalah."

Dahi Lewanu mengerut.

"Tapi tindakanmu yang menelanjangi gadis itu bahkan hendak berbuat sesuatu yang tidak senonoh juga tak lebih baik dari yang Yoki lakukan, Lansa."

Lansa terkejut dengan pernyataan Lewanu.

"Aku sudah mengatakan bahwa aku tidak memiliki niat jahat sedikitpun terhadapnya, Yah!" Lansa meradang dengan tuduhan ayahnya. Laki-laki itu menatap tajam ke arah Lewanu dengan berani.

Lewanu tersenyum mengejek.

"Dan kalau kau berpikir ayah akan percaya dengan apa yang kamu katakan, kamu salah, Lansa. Karena ayah juga pernah muda. Tapi ayah tak pernah berbuat serendah itu, dengan meniduri perempuan yang sedang sekarat," Lewanu menjawab dengan tandas dan sedikit kasar.

"Aku tidak menidurinya, Ayah. Dan aku bersumpah tak akan menidurinya sebelum aku menikahinya!" Lansa berkata spontan, membuat Lewanu terkejut. Bahkan Lansa sendiri juga terkejut dengan apa yang baru saja terucap olehnya.

"Apa yang kau katakan, Lansa?! Kau tak akan menidurinya sebelum kamu menikahinya?" Lewanu menahan geramnya karena ungkapan Lansa. "Apakah itu artinya ...?" Lewanu tidak meneruskan pertanyaannya dan bahkan menatap Lansa dengan pandangan tajam penuh selidik.

Lansa gelagapan.

"Mengapa kau tak menjawab, Lansa! Katakan pada ayah bahwa kamu benar-benar tak berniat menikahi gadis tak jelas asal usulnya itu!" Lewanu mulai murka.

"Sepertinya tak ada yang salah jika memang aku akan menikahi gadis itu, Yah. Aku belum memiliki istri, dan kurasa gadis itu juga masih sendirian."

Lansa akhirnya menemukan jawaban yang hanya menyulut kemarahan ayahnya. Entahlah, tiba-tiba Lansa menemukan jalan untuk menghindari pernikahannya dengan Mona. Dan sepertinya Yiska akan menjadi alasan yang tepat untuk hal ini.

"Jaga ucapanmu, Lansa! Ayah tak akan membiarkan kamu melakukan hal konyol yang akan memperburuk keadaan Cherokee!"

"Apa maksud ayah?"

"Kamu tahu kalimatmu itu akan mengakibatkan ekspansi suku Zuni ke Cherokee, Lansa."

Lagi-lagi Lansa geram dengan kalimat Lewanu.

"Jadi Ayah memutuskan untuk menggadaikan aku pada suku Zuni? Untuk menghambat ekspansi mereka ke Cherokee? Kita masih punya banyak warga yang akan kita ajak menolak menentang mereka. Bagaimanapun Cherokee adalah milik kita, bukan milik mereka!"

"Itu katamu, Lansa. Nyatanya kita selalu berada di bawah Zuni dalam segala hal! Dan kamu tahu, kesuburan lembah Cherokee sudah lama menjadi incaran Zuni. Bukan hanya kesuburannya, melainkan kandungan emas yang ada di lembah kita ini yang menjadi tujuan mereka, Lansa. Bahkan semenjak nenek moyang kita!"

"Dan selama itu pula kita selalu bisa bertahan, Yah. Nenek moyang kita sudah berhasil mempertahankan diri dari kejamnya arus revolusi, tapi mengapa sekarang ayah justru melemahkan diri dengan menjalin hubungan yang akan memenjarakan kebebasanku?"

Lewanu menatap Lansa dengan pandangan tajam menghardik. "Ini bukan hanya masalah kebebasanmu, Lansa! Tapi ini adalah tentang masa depan Cherokee."

"Dan akan berujung pada kekuasaan yang ayah pegang sekarang ini? Begitu kan maksud ayah?"

"Jaga bicaramu, Lansa!"

"Dan aku tidak salah dengan kata-kataku kan, Yah?"

"Aku tak peduli dengan apapun omong kosong yang kau katakan, Lansa. Karena yang pasti, Hulubalang Meka akan segera datang untuk membicarakan pernikahan kamu dengan Mona."

"Kalau ayah masih saja berpegang pada pendirian ayah akan perjanjian perjodohanku dengan Mona, maka aku pastikan bahwa ayah akan kecewa. Karena aku akan tetap menikahi perempuan itu dan menolak menikah dengan Mona!" Lansa berkata dengan sangat lantang dan tajam. Matanya menantang tajam pada Lewanu. Napas Lansa memburu, seperti menyembunyikan kemarahan yang nyaris tak terbendung.

"Lakukan apa yang kau anggap benar, Lansa. Dan kita akan lihat, siapa yang benar-benar memiliki kuasa atas semua yang ada di Cherokee ini. Ayah yang telah sepakat dengan Hulubalang Meka, atau kamu yang mengambil keputusan mendadak dengan menikahi gadis tahanan yang tak jelas asal usulnya itu!"

Usai berkata seperti itu, Lewanu berderap kasar meninggalkan Lansa yang terpaku dengan geram dan penuh amarah di atas kursi kayu yang didudukinya. Lalu dengan bergegas Lansa meninggalkan ruang tengah untuk kembali ke biliknya.

"Bibi harus mengusahakan agar Yiska sembuh. Kalau dia sembuh, aku akan menikahinya," kata Lansa membuat Aruma terperanjat.

Perempuan setengah baya itu mendongak dan menggeleng tak mengerti. "Bibi sudah memberimu peringatan, Lansa. Jadi jangan menambah panjang rentetan ketidakcocokan antara dirimu dengan ayahmu. Tapi kalau kamu memang masih bertekad menentang ayahmu, bibi tak bisa bilang apapun, Lansa."

"Bibi tak perlu khawatir. Aku sudah dewasa, jadi aku berhak menentukan jalan hidupku." Lansa menjawab dengan tegar dan mantap.

"Tapi apa yang kau putuskan tidak benar, Lansa."

"Benar menurut siapa, Bibi? Benar menurut ayah? Menurut bibi? Atau menurut hulubalang Meka?"

Aruma menggeleng. "Kalau kamu dengan gegabah ingin menikahi gadis itu hanya karena wajahnya yang mirip dengan Hima, bibi mengerti, Lansa. Tapi jika kamu menikahi gadis itu hanya untuk menjadikannya alat melawan ayahmu, sebaiknya kamu pikirkan kembali. Jangan melibatkan orang lain ke dalam masalah Cherokee, Lansa."

"Gadis itu bukan orang lain, Bibi. Dia calon istriku!" Lansa kembali bergumam lirih namun tandas dan terdengar sangat jelas.

"Pikiranmu sudah tidak waras, Lansa!" Aruma menjawab dengan mata menatap Lansa dengan tajam, membuat laki-laki muda berwajah tampan dan gagah itu tertawa.

"Semenjak Hima bukan lagi takdirku, aku tak peduli seberapa waras diriku, Bibi."

"Kalau kamu tak peduli dengan dirimu sendiri, tak peduli dengan ayahmu atau hulubalang Meka, setidaknya kamu peduli dengan penduduk di lembah Cherokee ini. Masa depan mereka ada di tangan kamu, Lansa." Aruma tetap saja membujuk Lansa agar tidak menikahi Yiska jika hanya untuk melawan Lewanu.

Mata Lansa menatap Aruma dengan pandangan menyalak. "Mengapa semua orang mengkhawatirkan Cherokee? Tidakkah kalian sadar, kita ini suku yang kuat, suku yang tangguh meski jumlah penduduk kita tak sebanyak suku Ramda ataupun suku Zuni. Jadi bibi harus ingat, bahwa Dewa selalu memberi kita kekuatan selama kita tidak berbuat sesuatu yang menentang kehidupan."

"Tapi keputusanmu yang ingin menikahi gadis kota, yang tak ada sangkut pautnya dengan suku kita ini, menentang adat dan kehidupan, Lansa."

Lansa tertawa, merasa geli dengan ungkapan Aruma tentang adat yang harus mereka junjung tinggi-tinggi.

"Tak ada yang kutentang, Bibi. Aku laki-laki, dan gadis itu perempuan. Yang menentang adalah ketika aku memutuskan untuk menikahi laki-laki untuk kujadikan istri."

Aruma kehabisan kata-kata. Perempuan setengah baya itu hanya geleng kepala penuh rasa khawatir akan apa yang telah diputuskan oleh Lansa. Karena dia tahu betapa keras kepalanya laki-laki itu.

"Bibi tak perlu khawatir, yang perlu bibi lakukan adalah membuat gadis itu sembuh. Lakukan yang terbaik untuknya, Bibi. Setidaknya bibi melakukannya untukku. Aku akan memanggil Leti untuk membantu bibi."

Aruma terlihat putus asa dengan apa yang dikatakan oleh Lansa. Karena melihat bagaimana teguhnya laki-laki itu, jelas memaksa Aruma untuk melihat bahwa antara Lansa dan Lewanu adalah sebuah cermin. Yang satu menggambarkan yang lain.

"Leti!!!" terdengar suara Lansa menggema memanggil Leti. "Leti!!!" Lansa mengulangi panggilannya.

Sepi, tak ada sahutan sama sekali.

Aruma kemudian meraba dahi Yiska yang masih terpejam dengan punggung tangannya. Panasnya masih terasa sekali. Lalu Aruma berdiri dan berjalan ke dapur untuk mengambil mangkuk tembikar yang sedikit besar dan mengisinya dengan air. Sebuah kain yang tidak begitu lebar kemudian diambilnya, lalu bergegas kembali ke bilik Lansa.

Aruma terlihat didi di sisi dipan dan memeras potongan kain yang terendam di tembikar itu, lalu menempelkannya di dahi Yiska. Sembari terus mengganti kain yang mulai mengering itu, Aruma menatap lekat-lekat wajah Yiska. Dalam hati dia mengakui, bahwa antara Yiska dan Hima memang memiliki banyak kemiripan.

Pipinya yang chubby, rambut mereka sama-sama hitam legam dan bergelombang, mata yang bulat dan hijau terang, membuat keduanya nyaris seperti kembar. Hanya saja, kulit Hima mungkin sedikit gelap seperti layaknya sebagian besar wanita indian. Sementara Yiska memiliki teksture kulit yang sangat lembut dan putih, sebagaimana layaknya orang kota.

Aruma terus berpikir. Bagaimana jika Lansa nekat menjadikan Yiska sebagai istri. Lalu bagaimana jika nanti hulubalang Meka datang dan menagih janji lama mereka. Bagaimana jika Hulubalang Meka tak bisa menerima keputusan yang diambil Lansa sehubungan dengan perjodohan Lansa dan Mona yang harus gagal? Bagaimana jika hal ini menyulut kemarahan hulubalang Meka dan mereka melakukan ekspansi terhadap Cherokee? Bagaimana nasib penduduk Cherokee jika ekspansi suku Zuni benar-benar melanda Cherokee?

Bermacam pikiran berkecamuk di kepala Aruma.

"Aku harus menjauhkan gadis ini dari Lansa. Ya, ini akan jadi jalan paling baik untuk Lansa, Mona, dan Cherokee." Aruma bergumam lirih. "Maafkan aku, Yiska."

Aruma berpikir sambil menatap Yiska yang pucat pasi. Aruma bertekad bahwa dia harus menemui Lewanu dan membicarakan apa yang ada dalam pikirannya. Ya, ini harus segera di bahas, Aruma berpikir cepat. Meski sisi hatinya yang lain mengisyaratkan rasa kasihan pada Yiska, namun Aruma mencoba menepisnya. Dia sungguh tak ingin melihat gadis ini dijadikan alat oleh Lansa untuk menentang ayahnya. Aruma juga tak ingin, gara-gara menikahi gadis ini, posisi Cherokee akan terancam oleh ekspansi suku Zuni. Karena bagaimanapun, Cherokee yang kini mereka tinggali adalah sekelompok kecil yang merupakan sisa-sisa dari kebesaran Cherokee yang tercerai berai akibat Revolusi Amerika.

* * * * *

"Hei, Dalton! Apakah kau tahu dimana Leti?" Lansa mendatangi Dalton yang sedang berada di kandang kuda mereka.

Ede8"nSeharian ini aku tak melihatnya. Tapi jika Leti tak ada di bilik dapur, biasanya dia bermain di bangsal Yoki." Dalton menjawab dengan tetap mengurus kudanya.

"Bangsal Yoki?" Lansa menggumam lirih penuh tanya.

Tanpa berpikir lagi, Lansa bergerak ke kebun belakang hendak menemui Leti, agar gadis itu membantu bibi Aruma merawat Yiska.

Tapi baru sampai di kebun sayur yang tumbuh subur itu, Lansa mendapati Leti yang berjalan ke arahnya. Lansa mengerutkan keningnya ketika melihat Leti begitu lesu dan kelelahan.

"Dari mana saja kau, Leti?"

Gadis itu terkejut dengan sapaan Lansa yang tak diduganya sama sekali. "Saya... saya dari kebun belakang." Gadis itu menjawab gugup.

Lansa menatapnya dengan berbagai macam spekulasi akan apa yang diungkapkan oleh Leti. Tapi lansa memilih diam.

"Bibi Aruma sedang mengurus Yiska. Aku harap kau selalu ada untuk membantu." Lansa berkata tegas.

"Baik. Saya akan ke sana."

Leti mengangguk santun lalu berjalan menuju ke dalam rumah, langsung ke bilik Lansa dimana Aruma sedang mengompress Yiska.

"Dari mana saja kau, Leti?"

"Saya dari kebun belakang, Nyonya."

"Gantikan aku mengompres gadis ini. Aku akan merebus kembali ramuan untuknya."

Yiska mengangguk kemudian menggantikan pekerjaan Aruma mengompres Yiska. Sementara Aruma berjalan keluar dari bilik Lansa, Leti menatap gadis yang sedang terbaring dengan tubuh demamnya itu. Dalam hati Leti mengakui bagaimana mempesonanya Yiska. Bahkan dalam keadaan tak sadarkan diripun, Yiska masih saja terlihat sangat cantik, membuat Leti tiba-tiba merasa iri.

Wajahnya yang halus dan bersih, terbingkai rambut hitamnya yang bergelombang membuat Leti memandang kulit tubuhnya sendiri, sekedar membandingkan bahwa dirinya dan Yiska nyaris seperti langit dan bumi yang memang sangat jauh berbeda. Apalagi, Yiska terlihat sangat modern dan berpendidikan. Tidak seperti dirinya yang dari kecil hingga dewasa hanya berada di lembah Cherokee

Meski sejujurnya Leti mensyukuri karena dia masih bisa tinggal dengan aman dan selamat di Cherokee ini, setelah masa kecil yang sangat mengenaskan. Dimana Leti kecil harus dibuang oleh kakeknya karena dianggap aib. Ya, Leti sejatinya adalah gadis suku Zuni yang terbuang karena kehadirannya adalah karena sebuah kesalahan. Kesalahan karena ibunya yang seorang suku Zuni, kala itu jatuh cinta pada seorang laki-laki Eropa yang berkulit putih. Kemahiran laki-laki Eropa itu berhasil membuai Ibu Leti, hingga tumbuh janin di perut ibu Leti, tepat pada saat masa kerja laki-laki Eropa itu, yang bekerja pada sebuah proyek penggalian situs, berakhir.

Lahir tak diinginkan membuat masa kecil Leti demikian tersia-sia. Apalagi saat ibu Leti akhirnya mengalami gangguan jiwa, maka nasib Leti semakin tak tertolong. Untungnya Aruma menemukan gadis itu, yang menangis di sebuah perayaan adat di Zuni. Leti menangis namun tak seorangpun menolong, membuat hati Aruma menjadi iba. Dengan sikap keibuannya karena terbiasa mengasuh Lansa, Aruma mengajak Leti kecil pulang ke lembah perkampungan Cherokee.

Semula Lewanu menentang habis-habisan apa yang diputuskan oleh Aruma. Tapi melihat keteguhan Aruma untuk mengasuh Leti, akhirnya Lewanu menyerah. Sejak saat itu, Aruma mengasuh dan mengajari Leti berbagai macam pekerjaan rumah. Mulai dari memasak, menanam sayuran di kebun belakang, hingga membuat kain tenun. Semua bisa Leti lakukan. Leti nyaris menjadi anak perempuan Aruma. Namun Aruma tak tahu, bahwa gadis kecilnya telah berskandal.

"Mom...Dad..." gumaman yang keluar dari mulut Yiska yang masih terpejam kembali terdengar, menyeret lamunan Leti dari rentetan masa lalunya menuju realita yang kini ada di depannya.

Leti buru-buru mengganti kain basah yang sedari tadi dia letakkan di dahi Yiska. Beberapa saat kemudian gumaman Yiska tak lagi terdengar. Leti meraba dahi Yiska dengan punggung tangannya. Leti sedikit lega ketika mendapati suhu panas di dahi Yiska sedikit berkurang, karena itu artinya tugasnya akan lebih ringan.

"Bagaimana, Leti? Apa masih panas?" suara Lansa yang begitu tiba-tiba sangat mengejutkan Leti.

Gadis itu kemudian menoleh cepat memandang Lansa, lalu menggeleng.

"Suhunya sudah mulai dingin."

Lansa mendesah lega mendengar jawaban Leti. Laki-laki itu kemudian mendekat ke dipan yang ditiduri Yiska.

"Istirahatlah. Kelihatannya kamu letih, biar aku yang menggantikanmu menjaga gadis ini," Lansa memerintah Leti dengan nada suara datar.

Leti buru-buru mengangguk dan bangkit meninggalkan bilik dengan Lansa dan Yiska ada di dalamnya. Setelah Leti pergi, Lansa meraba kembali dahi Yiska. Leti benar, Yiska jauh lebih baik sepertinya. Tidurnya juga sangat pulas kelihatannya.

Lansa menatap dalam pada seraut wajah samai Yiska. Dan kembali, lembaran-lembaran yang pernah dijalaninya bersama Hima menyeruak, menghantam ingatan Lansa dan memaksanya menembus batas antara nyata dan angannya.

"Apakah aku boleh menemuimu, kalau kamu pulang dari college?" Hima yang manis dan lembut bertanya waktu itu.

Lansa tentu saja tersenyum dengan kepolosan dan kelembutan yang ditampilkan Hima. Hari itu mereka sedang duduk di tanah lapang dekat sungai yang mengalir gemericik dan sejuk.

"Kita bisa bertemu di sini kalau kamu mau. Aku pulang setiap dua minggu sekali."

Hima tersenyum dengan pipi bersemu merah menahan malu. Lansa jadi gemas karenanya. Tapi sungguh, Lansa tak berniat untuk menyentuhkan tangannya pada wajah Hima yang manis, meski godaan untuk itu terasa demikian menyiksa.

"Pulanglah. Sebentar lagi senja," Lansa berkata lembut pada Hima. Gadis itu menganguk kemudian berdiri. Menatap Lansa sejenak, kemudian berlalu meninggalkan Lansa yang sedang tersenyum bahagia.

"Mom....aku takut, jemput aku, Ma..." terdengar lagi rintihan Yiska yang masih terpejam. Sepertinya gadis itu sedang mimpi.

"Sssshhh....tidurlah, Yiska."

Lansa kemudian naik ke atas dipan tidurnya, menyusul Yiska yang masih terseret mimpinya. Lansa memiringkan tubuhnya, memeluk tubuh Yiska yang masih setengah naked dengan erat.

Entahlah. Setiap bertemu dengan perempuan yang telah menyentuh hatinya, kegarangan Lansa lenyap seketika. Laki-laki itu kemudian memeluk Yiska dengan erat, mencoba memberikan kenyamanan dari rasa takut yang mungkin dirasakan Yiska di dalam mimpinya.

Yang anehnya, malah membuat Yiska tanpa sadar merangsek ke tubuh Lansa, mencoba mencari kehangatan untuk tubuhnya yang menggigil demam. Dan sikap Yiska ini jelas mampu menerbitkan senyum di bibir Lansa. Kedamaian yang tak pernah melintasi hidupnya itu, kini dia rasakan. Demikian hangat dan mendamaikan hati.

Hingga Lansa membuat janji dalam hatinya. Bahwa apapun yang akan terjadi, dia tak ingin melepaskan kedamaian yang kini dirasakannya. Lansa semakin mempererat pelukannya, tak peduli dengan reaksi Lewanu esok pagi jika melihatnya tidur bersama perempuan asing.

Malam merangkak menuju senyap ketika Aruma menemui Lewanu di biliknya. Dia merasa harus segera membahas apa yang ada di pikirannya bersama Lewanu.

Setibanya di bilik Lewanu yang luas, Aruma sedikit tertegun mendapati adik laki-lakinya itu termenung, berdiri di depan sebuah foto yang lumayan besar. Aruma tahu itu foto Lansa ketika laki-laki itu lulus dari college.

"Ehemm!" Aruma berdehem agar tidak mengejutkan Lewanu yang sepertinya sangat hanyut pada pemandangan yang dilihatnya.

Lewanu sontak menoleh. "Ada apa, Aruma?"

"Maaf mengganggumu, Lewanu. Tapi kita memang harus membicarakan hal ini segera."

"Jangan berbelit-belit, Aruma." Lewanu kemudian duduk di sebuah kursi yang terdapat di dekat jendela bilik tidurnya. Aruma menyusul duduk di kursi yang satunya.

"Ini mengenai Lansa, Lewanu. "

"Ulah apalagi yang dibuat anak itu setelah hari ini hampir mematahkan tulang-tulang Yoki?"

"Dengar, Lewanu. Aku tak menyalahkannya jika dia begitu keras kepala dengan keputusannya untuk menikahi gadis kota itu. Karena dia adalah cermin dirimu yang dulu nekad menikahi Chilam."

Lewanu menghela napas, seolah setuju dengan ungkapan Aruma. "Aku tak bermaksud memenjarakan kebebasan Lansa dalam memilih pasangan hidupnya, Aruma. Tapi kamu tahu, masa depan Cherokee ini ada di tangan Lansa. Kalau sampai pernikahan Lansa dengan Mona digagalkan, ekpansi Zuni jelas akan terjadi, Aruma. Dan itu berarti... kesuburan lembah ini bukan lagi milik kita. Logam emas yang ada dalam setiap genggaman pasir juga akan menjadi lahan tambang baru yang akan memperkaya Zuni. Kita akan terinjak, Aruma. Penduduk kita akan menjadi pekerja, dan Zuni akan menjadi raja di atas kesengsaraan penduduk kita, Aruma."

"Aku mengerti, Lewanu. Untuk itulah aku menemuimu saat ini."

Lewanu menatap Aruma dengan pandangan penuh tanya, seolah menembus apa yang dipikirkan oleh Aruma.

"Apakah kamu tahu, apa yang harus aku lakukan?" Lewanu bertanya dengan menatap Aruma putus asa.

Aruma menatap Lewanu, ragu, bagaimana kalau Lewanu menolak usulannya.

"Agar pernikahan Lansa dan Mona tetap berlangsung, satu-satunya jalan adalah...kita harus menyingkirkan gadis itu dari kehidupan Lansa."

* * * * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top