7. Intervensi

Mina terbangun pagi ini karena gedoran kencang di depan pintunya. Kamarnya kosong dan sampah makanan kemarin sudah dibereskan ke dalam tong sampah di bawah meja. Mungkin semalam Mbak Elena masuk kamarnya dan membersihkan semua ini saat Aru sudah kembali ke kamarnya dan dia sudah tertidur.

Mina duduk tegak, mengucek mata dengan punggung tangan. Mbak Elena telah banyak sekali berjasa dalam karirnya. Beliau tidak hanya teman berdiskusi yang menyenangkan saat membahas tentang kontrak kerja dan saat evaluasi pekerjaan Mina, tetapi juga Mbak Elena telah menyelamatkannya dari berbagai hal yang mungkin akan menghancurkan karier Mina dalam sekejap. Sudah tidak terhitung berapa artikel tabloid gosip murahan yang dihalau oleh Mbak Elena sebelum sempat menyentuh percetakan, atau berapa banyak foto dan kabar burung yang tersebar secara daring yang diturunkan sebelum sempat menjadi viral. Tidak semua bisa mereka lawan memang, tetapi beberapa diantaranya sudah mereka kirimi somasi sebelum akhirnya diturunkan.

Tanpa Mas Bobby dan Mbak Elena, Mina mungkin masih jadi anak perempuan yang tidak peduli dengan dunia di sekitarnya dan jadi bahan perundungan tanpa henti. Mina mungkin tidak akan belajar cara melawan mereka dengan efektif tanpa kekerasan. Mina mungkin masih tidak tahu mau bekerja jadi apa dan mau dibawa kemana hidupnya.

Dia mungkin akan sama hilang dan tersesatnya seperti Aru. Dan Mina mungkin tidak akan bisa jadi kakak perempuan yang kuat dan tegas tanpa bimbingan Mbak Elena dan Mas Bobby.

Jauh di lubuk hatinya, Mina tidak ingin berpisah dengan dunia yang telah membesarkan namanya, dari perlindungan Mbak Elena dan sederet tim pengacara di balik punggung Mas Bobby. Dengan Romang yang lolongannya terdengar seram, tetapi sangat lembut dan manja padanya. Juga pada kalung berlian yang tersimpan rapi di brankas Mas Bobby, gaun malam rumah mode Cannel yang menunggunya ketika ia kembali ke Jepara, sepatu Jemmy Choi yang cantik, parfum Joe Millane kesukaannya.

Saat merenungkan semua sikap impulsif yang diambilnya ketika bersama dengan Aru, Mina mulai menyesali penerimaannya sebagai putri sulung, putri mahkota yang sebenarnya dari Karesidenan Jepara, dan sedang berpikir untuk menolak permintaan Aru.

Pegangan pintu kamar Mina diputar dan dibaliknya muncul wanita paruh baya yang masih tetap terlihat cantik di usia empat puluhan. Mamanya menerobos masuk—mungkin menggunakan kunci cadangan kamar Mina yang dibawa Mbak Elena—dengan wajah berlinangan air mata. Beliau membanting tas tangannya di ranjang Mina dengan penuh emosi, Mina berjengit saat menyadari tas Fosile yang baru saja ia hadiahkan untuk ulang tahun beliau diperlakukan dengan kasar seperti itu. Bahkan Mina saja tidak pernah membanting barang-barang miliknya, terlepas dari barang sponsor atau beli dengan uangnya sendiri.

"Apa-apaan kamu, Mina? Kamu mau jadi Putri Jepara tampa seizin mama?" Mama Mina meraih kedua bahunya dan mengguncangkan tubuh Mina seolah hal tersebut bisa mengembalikan kesadaran Mina. "Jangan macam-macam kamu! Jangan buat usaha Mama untuk menjauhkan kamu dari orang-orang seperti mereka menjadi sia-sia."

"Mama sudah dengar?" Mina tatap lurus mamanya. Mbak Elena terlihat berdiri di ambang pintu, menatap mereka berdua dari jarak aman. "Mama tahu siapa bapak kandung Mina dan selama ini Mama selalu bilang beliau entah pindah ke luar negeri atau tinggal di kota lain, sementara beliau hanya berjarak beberapa kilometer dari tempat kerja Mina?"

Tubuh Mina berguncang hebat saat mengatakannya. Mina pikir selama ini ia baik-baik saja tanpa mengetahui kebenaran tentang bapak kandungnya. Tetapi saat melihat kemarahan mamanya dan ekspresi ketidaksukaan beliau saat Mina mengetahui kenyataan tersebut membuat Mina gusar. Papa Yusuf hadir saat Mina berusia tiga tahun. Beliau adalah figur pria penyabar yang sayang keluarga. Mina bersyukur mamanya memilih laki-laki yang tepat. Mina sangat berterimakasih karena Papa Yusuf memperlakukannya seperti anak sendiri, seperti beliau menyayangi Mika dan Mira. Tetapi mama tidak harus berbohong tentang keberadaan bapak Mina yang sebenarnya. Ia hanya perlu mengetahui kebenarannya ini dari mulut mama sendiri, tidak lebih. Mendengarnya dari Aru tentu tidak akan sama seperti versi mama sebagai tangan pertama pemegang rahasia ini.

Mama Mina terduduk di ranjang, mungkin ini pertama kalinya beliau mendengar Mina balas berteriak, seperti halnya Mina yang baru mengetahui kemarahan mamanya yang sebesar itu. Papa Yusuf dan nenek Mina—ibu mama—menyusul masuk ke kamar hotel ini. Mbak Elena menunjukkan tanda-tanda bahwa ia akan membiarkan Mina menyelesaikan masalah keluarga ini sendiri, tetapi Mina memanggil namanya dengan segala sisa tenaga yang dimilikinya pagi ini.

"Mbak Elena, tolong temani saya."
Dalam hitungan detik, Mbak Elena berada di sisi Mina dan meremas bahunya seolah memberikan suntikan kekuatan. Mama Mina masih tidak bergeming di tempatnya. Nenek Mina menghampiri Mina sambil mengusap wajahnya.

"Ibumu memang perempuan keras kepala," ucap beliau. "Mina harus jadi anak yang pemaaf."

Mina mendengkur mendengarnya. Ia muak sekali jika harus diminta mengalah terhadap para orang tua. Usia bukan jaminan seseorang terbebas dari kesalahan. Mina tidak salah dan ia tidak mau meminta maaf atas kemarahan yang dilimpahkan pada mama.

"Enak banget jadi orang tua," sindir Mina. "Aku nggak sabar nunggu cepat tua biar aku bisa memanfaatkan relasi kuasa untuk menjatuhkan orang lain yang tidak bersalah hanya karena aku lebih tua, ya kan, Ma?"

Mina turun dari ranjangnya, menegakkan tubuh dengan jemawa. Untungnya ia selalu memakai pakaian tidur yang tertutup baik di mana saja ia menginap, jadi pakaiannya selalu layak meski dalam keadaan menghadapi tamu yang tidak diundang.

"Aku nggak menyangka mama akan semarah ini sama aku. Pertama, aku sudah dewasa. Apapun keputusanku, aku tidak butuh izin mama. Seperti keputusanku untuk menerima tawaran peragaan busana ke Amerika beberapa bulan lalu, sekarang pun aku tidak perlu izin dari Mama. Aku bukan lagi anak lima belas–enam belas tahun yang butuh tanda tangan mama untuk surat kontrak kerjaku dengan BG Entertainment." Mina berjalan mengitari kamarnya untuk membersihkan wajah di depan cermin.

"Kedua, mama sudah berbohong tentang keberadaan bapak kandungku. Enggak, aku nggak akan bertindak bodoh dengan tiba-tiba menerobos masuk keraton untuk bertemu Kanjeng Prabu kalau aku tahu dari awal. Aku nggak segila itu. Tapi setidaknya aku nggak akan terlihat bodoh waktu adik seayahku datang minta bantuan. Aku juga nggak peduli bagaimana hubungan kalian di masa lalu. Masa depan mama ada di Papa Yusuf, aku tahu. Tapi mama nggak seharusnya menutup-nutupi kenyataan tentangku. Aku bahkan hampir yakin kalau Kanjeng Prabu nggak tahu aku ada, jika bukan adikku yang hobi meretas dan memata-matai orang yang berinisiatif untuk mencari mama lalu mencurigai keberadaanku."

Mina beralih membuka kopernya dan mengeluarkan pakaian yang akan digunakannya hari ini. "Sekarang tolong tinggalkan saya sendirian, saya mau bersiap-siap ke rumah sakit untuk tes DNA dengan adik saya."

"Kalau memang benar kamu anak Kanjeng Prabu, apa yang akan kamu lakukan?" Mama Mina bertanya dengan lirih, seperti tidak ada tenaga lagi untuk bertengkar.

Mina menyeringai, "Tentu saja merebut kembali semua hak saya sebagai putri mahkota yang mama rampas dari tangan saya. Mama mungkin tidak akan tahan berada di lingkungan tersebut, tetapi saya…" Mina terkekeh. "Saya nggak sabar untuk pakai mahkota."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top