Part 9-10

Part 9 Kembali Menjadi Istri Simpanan

Kepala Cara terdongak. Rasa sakit di kepalanya masih bisa ia tahan, tetapi ketika matanya melirik ke depan dan melihat Emma yang menertawakannya, tangannya bergerak melempar makanan yang ada di piring ke arah wanita itu.

Emma menjerit, matanya melotot sempurna dan tangannya sudah memegang gelas susunya ketika Ethan memberikan isyarat tangan untuk meninggalkan ruang makan. “T-tapi …”

“Keluar!” geram pria itu tanpa melepaskan tatapan tajamnya pada Cara.

Emma terpaksa beranjak, berjalan dengan kedua langkah di hentak-hentakkan di lantai. Sementara tangannya menyingkirkan nasi dan lauk pauknya yang menempel di rambut dan mengotori pakaiannya. Gerutuan tentang rambutnya yang baru keluar dari salon bergema di seluruh ruangan. Cara harus membayar semua itu dengan mahal.

“Apakah aku salah?” desis Cara kemudian. Mengabaikan rasa sakit di kepalanya. “Aku memang simpananmu. Dan aku tak berminat untuk kau akui. Kau memberiku pilihan dan aku memutuskan pilihan. Kenapa kau tersinggung dengan pilihanku, Ethan? Pilihanmu yang lain bukan sekedar basa-basi, kan?”

Geraham Ethan bergemeletuk. Tak menerima kebenaran yang dikatakan oleh Cara. Butuh beberapa lama baginya untuk berhasil mengendalikan amarahnya. Menyentakkan tubuh Cara ke kursi.

“Dan besok, kau bilang aku sudah mulai bekerja.” Cara tak menyerah untuk bertaruh dengan keberuntungannya. “Apakah itu juga termasuk basa-basimu? Kau selalu memegang omonganmu, kan?”

Ethan menggeram. Mata memicing, menelisik lebih dalam kedua mata Cara yang menatapnya tanpa ketakutan sedikit pun.

“Kau tak mungkin mempermalukan dirimu sendiri dengan mengumumkan pernikahan kita, Ethan. Reputasimu terlalu sempurna untuk wanita murahan dan yatim piatu sepertiku.”

Tangan Ethan kembali menyambar rahang Cara. Sementara satu tangan pria itu menyingkirkan semua barang-barang yang ada di meja makan dan menarik tubuh Cara ke atas meja. Setengah membanting tubuh mungil tersebut dengan amarah yang mulai bercampur gairah.

Cara menahan ringisannya ketika punggungnya membentur meja yang keras. Ujung matanya sempat melirik ke sekeliling mereka. Satu isyarat jari dari Ethan dan semua orang menghilang dari pandangan keduanya. Saat itulah ketakutan mulai merambati dada Cara. Selain ranjang, salah satu favorit Ethan ketika melecehkannya adalah di meja. Tapi peduli itu meja makan atau meja belajar.

Seringai Ethan naik dengan perlahan ketika memaku kedua tangan Cara di atas kepala. Wajahnya membayang di atas wajah wanita itu dengan napas yang mulai memberat. “Kau semakin pandai bersilat lidah, ya?”

“Lepaskan, Ethan.” Cara mulai kesulitan menyembunyikan kepanikannya. “J-jangan di sini.”

“Dan aku tak ingat meminta pendapatmu di mana kita akan melakukannya.”

*** 

Cara tak berharap Ethan akan memberinya kebebasan keluar dari penthouse pria itu. Tapi setidaknya ia sudah mencoba. Ia meraih tasnya yang ada di meja. Hanya ada ponsel, beberapa barang yang rasanya tidak ada gunanya untuk situasinya saat ini karena hanya berisi pelembab bibir dan aromaterapi yang ia butuhkan ketika dalam penerbangan. Juga charger dan kaca kecil.

Ponselnya pun sudah kehabisan daya, butuh waktu baginya untuk mengisi daya. Jika pun menyala, ia tak tahu siapa yang bisa dihubunginya. Zevan pasti sedang berada di rumah sakit.

Ini sudah hari kedua ia dikurung di tempat ini. Menghadapi Emma yang tak berhenti mengeluarkan kata-kata makian yang sudah kebal di telinganya.

“Aku ingin ke rumah sakit.” Cara beranjak dari duduknya begitu Ethan melangkah masuk ke dalam kamar. 

Ethan mendengus tipis. Duduk di sofa dan mulai melepaskan sepatu.

“Ini tak ada hubungannya dengan Zevan.”

Ethan menegakkan punggung, menatap Cara dengan seringai di ujung bibir. “Aku tak mengatakan apa pun.”

Cara terdiam. Amarah Ethan selalu mudah tersulut jika ia mengungkit tengan Zevan. Dan kali ini ia sedang tak ingin berdebat panas tentang yang satu ini. Ia butuh pikiran Ethan yang tenang dan jernih, meski kemungkinan itu hanya 0,01 persen.

“Kau masih ingat yang terjadi di klinik sepuluh tahun yang lalu, kan? Apa yang kau lakukan hingga aku berakhir di tempat itu.”

Wajah Ethan seketika membeku.

“Melihat kau yang tak bisa mengendalikan diri dan menyeretku ke ranjang. Aku tak ingin hal itu terulang, Ethan.”

Sekilas emosi melintasi kedua mata Ethan. Pria itu berkedip sekali, kemudian mengamati tubuh Cara dari atas ke bawah. Tubuh yang selalu berhasil membuatnya kehilangan kontrol. Membuatnya menginginkan wanita itu lebih dan lebih. Kemungkinan Cara hamil untuk kedua kalinya tentu saja ada. 

“Apa salahnya seorang suami bersenang-senang dengan istrinya sendiri, hah?” Ethan memutar tubuh ke samping, menyandarkan sikutnya di punggung sofa. “Apa yang kau dan Zevan lakukan di belakangkulah yang salah?”

Cara terdiam. Membiarkan Ethan berpikir tentang hubungannya dan Zevan sesuka pria itu.

“Apa kau dan Zevan tak pernah melakukan pencegahan?”

Wajah Cara memerah. Kedua matanya menghindari tatapan menelisik Ethan, yang kemudian tertawa dengan kegugupannya.

“Hamil, aku bahkan ragu apakah dia pernah menyentuhmu, Cara. Cara tubuhmu bereaksi dengan sentuhanku sudah menunjukkan segalanya.”

“Apa yang membuatmu berpikir seperti itu?”

Ethan mendengus geli. “Kau ingin jawaban yang jujur?”

Cara menggigit bibir bagian dalamnya, wajahnya semakin merah padam.

“Kalau pun dia memang menyentuhmu, sepertinya ranjang kalian tak sepanas aat kita bersama.”

“K-kau …” Suara Cara tercekat keras. Wajahnya tak bisa lebih merah padam.

“Jika hubungan ranjang kalian memang tak bermasalah, bukankah itu artinya … setidaknya kau memang hamil. Atau … dia yang tidak subur?” Salah satu alis Ethan terangkat mengejek. “Kalian sepuluh tahu bersama, Cara. Menurutmu berapa besar kemungkinan dia menghamilimu, hah?”

“Jangan menyamakan Zevan denganmu, Ethan. Dia berengsek sepertimu.”

“Ah, apakah itu artinya dia tidak pernah menyentuhmu karena menghargai dirimu?”

Mata Cara seketika mengerjap panik. Yang membuat Ethan tertawa kencang.

“Jadi memang, ya?” Ethan berdiri, mendekati Cara dengan langkah perlahan.

Cara tetap memaku kakinya di tempat sementara Ethan semakin memangkas jarak di antara mereka. Berusaha menetralisir kegugupannya atau ia hanya akan memberikan apa yang diinginkan oleh Ethan. “Kenapa? Kau tak suka menyentuh bekas pria lain?”

Ethan tersenyum tipis. “Tidak, aku pria yang dermawan dan suka berbagi.”

“Ya. Kita berdua tahu itu.” Napas Cara tertahan ketika kalimat itu meluncur dengan lancar dari mulutnya.

“Hanya saja …” Tangan Ethan terulur. Menyentuhkan ujung jarinya di dagu Cara dan mendongakkan wajah wanita itu ke arahnya. “Aku tak suka istriku disentuh pria lain.”

“Sepertinya kau harus terbiasa mendapatkan apa yang tidak kau sukai, Ethan.”

“Benarkah?” Wajah Ethan bergerak turun, menyisakan jarak setipis mungkin di antara bibir mereka.

Keduanya saling pandang, napas Cara tertahan sementara napas panas Ethan menerpa seluruh permukaan wajahnya. Hingga Cara tak bisa menahan lebih lama, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Emma menerobos masuk dengan langkah terburu.

Langah wanita itu sempat terhenti menemukan pemandangan yang ada di hadapannya. Wajahnya seketika berubah merah padam, diselimuti kemarahan yang mencuat pada Cara.

“Ethan?!” panggil Emma mendekat. Menepikan lebih dulu kecemburuannya dan memisahkan Cara dari pegangan Ethan.

“Ada apa?” Ujung bibir Ethan berkedut tak suka dengan gangguan tersebut.

“Mama dan papamu di bawah. Akan naik dalam dua menit.”

Kali ini Ethan tak menyembunyikan kekesalannya. Matanya menyipit curiga pada Emma. Yang segera membuang pandangan ke arah Cara untuk menghindar.

“Sebaiknya kau tak menampakkan wajahmu di hadapan mereka, Cara. Jangan mempermalukan dirimu sendiri.”

Cara mendengus. Menyentakkan tangan Emma dan berjalan menuju sofa.

“Kau tidak boleh ada di kamar ini. Bagaimana kalau mama Ethan masuk ke dalam …” Dan sebelum Emma menyelesaikan peringatannya, Ethan menarik lengan wanita itu. Membawa Emma keluar dari kamarnya.

Part 10 Permainan Lama

“Apa yang kau lakukan, Ethan. Dia harus …”

“Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak ikut campur urusanku, Emma. Jangan melewati batasanmu.” Desisan Ethan penuh peringatan yang keras. menyentakkan lengan wanita itu begitu keduanya keluar dari ruang tidur.

“Kaulah yang lebih dulu melewati batasanmu, Ethan. Apa yang kau lakukan dengannya, hah? Kalian bahkan sudah menikah tanpa sepengetahuanku. Sepuluh tahun yang lalu? Aku tahu dulu kau begitu menggilainya. Tapi menikahi gadis murahan yang tak jelas asal-usulnya adalah kegilaan di level yang berbeda.”

“Kau mulai menceramahiku?” Bibir Ethan menipis keras.

“Kau hanya bermain-main dengannya, kan? Kenapa kau membiarkan dirimu dibutakan olehnya?”

Tangan Ethan menangkap rahang Emma, menghentikan wanita itu melanjutkan kelancangannya. “Aku tak ingat meminta pendapatmu tentang wanita-wanitaku, Emma.”

“Tapi aku tunanganmu.”

Suara lift berdenting dari sisi lain ruangan.

“Ya, jika kau masih ingin menjadi tunanganmu. Sebaiknya tutup mulutmu atau kau akan tahu akibatnya jika lidahnya tergelincir.”

Emma menelan ludahnya, wajahnya disentakkan ke belakang tepat ketika pintu lift terbuka. Pasangan paruh baya, Irina dan Roy Anthony melangkah masuk. Emma seketika menguasai ekspresi wajahnya. Menampilkan senyum anggun yang sempurna sebelum menyelipkan lengannya di lengan Ethan dan membawa pria itu menyambut kedatangan kedua calon mertuanya.

“Tante, Om.”

Irina dan Roy mengangguk singkat dan mengambil tempat di sofa kulit. Ethan melepaskan tangan Emma dan duduk di seberang sementara Emma memberi isyarat pada pelayan untuk menyiapkan jamuan sebelum bergabung duduk di samping Ethan.

“Maaf, Emma belum sempat menyapa tante.” Emma memulai pembicaraan.

Irina mengangguk singkat. “Orang tuamu mengirim beberapa hadiah. Tante akan segera mengirim ucapan terima kasih.”

“Tidak perlu, Tante. Tante dan Om sudah memberikan banyak …”

“Apa tujuan mama dan papa ke sini?” Ethan tak tahan dengan basa-basi tersebut.

Senyum Irina berubah datar, beralih pada sang putra. Begitu pun dengan Roy. “Kakekmu ingin bertemu.”

“Zevan?”

Roy dan Irina tampak mendesah rendah. “Papa tak peduli apapun yang kau lakukan di luar sana untuk bersenang-senang, Ethan. Tapi tidak untuk menyentuh saudaramu sendiri.”

“Kami hanya bersenang-senang, Pa. Itu hanya ucapan selamat datang sebagai seorang sepupu.” Ada kesinisan dalam suaranya.

“Kau membuatnya mendapatkan jahitan di kepala.”

Ethan menyentuh hidungnya. Tatapannya pada sang papa menusuk tajam. “Dia mematahkan hidungku.”

Roy terdiam. Ada ancaman yang tersirat dari kedua manik abu gelap sang putra.

“Kenapa papa masih tidak bisa bersikap adil pada kami?” Seringai tersamar di ujung bibir Ethan. Yang membuat seorang Roy Anthony membeku.

“Apa yang kau katakan, Ethan?” Irina ikut menyela ketegangan di antara putra dan suaminya.

Ethan melirik ke samping, dengan seringai yang naik lebih tinggi. “Mama tahu apa yang kukatakan.”

Irina ikut membeku.

Ethan menghela napas panjang dan berat. “Jika tidak ada lagi yang ingin dibicarakan, aku ingin istirahat,” ucapnya sambil beranjak dari kursi.

“Tunggu, Ethan. Mama belum selesai bicara.”

Ethan menoleh.

“Mengenai pernikahan kalian.”

“Aku tak ingat mengatakan akan menikahi siapa pun dalam waktu dekat.”

Emma membeliak. “Ethan ...”

“Apa maksudmu, Ethan?”

“Kalian ingin aku bertunangan dengannya, aku sudah melakukannya. Berapa banyak lagi kalian akan mendikte hidupku?”

“Ethan, kau sudah bertunangan dengan selama tiga tahun. Untuk apa pertunangan ini jika pada akhirnya kalian tidak menikah?”

“Agar kalian berhenti merecoki hidupku.”

Irina dan Roy terperangah. Begitu pun dengan Emma.

“Lagipula, sudah banyak keuntungan yang kalian dapatkan dengan pertunangan ini. Sebaiknya hentikan keserakahan kalian sebelum semua terlambat untuk 

“Kau pikir perusahaanmu juga tidak mendapatkan keuntungan dengan pertunangan ini?”

“Bukankah memang begitu?”

Wajah Irina memucat. Kehilangan kata-kata. Eth Enterpries dibangun oleh Ethan tanpa bantuan dari mereka. Pria itu bahkan menolak mentah-mentah uluran tangan Anthony Group sebagai pemilik tunggal perusahaan tersebut. Sekaligus CEO dari Eth Enterpries. Pemegang saham perusahaan Ethan bukanlah orang sembarangan. Mereka semua adalah orang yang setia dan loyal. Yang membuatnya kesulitan untuk mengusik bisnis yang dibangun sang putra. Bahkan mereka lebih suka kehilangan uang dibandingkan harus mengusik apalagi mengkhianati seorang Ethan Anthony. Kesetiaan yang sulit didapatkan orang-orang di Anthony Group. Itulah sebabnya tak ada gertakan yang mampu menggoyahkan orang-orang Ethan.

“Kakekmu sudah memutuskan siapa yang akan memegang Anthony Group.”

“Aku tak peduli.”

“Kau.”

Ethan terdiam. Kemudian tertawa. “Apakah aku harus merasa tersanjung? Untuk jadi boneka kalian?”

“Ethan!” Suara Roy menggelegar. Dan satu-satunya yang tak terkejut dengan suara keras tersebut adalah Ethan sendiri.

Ethan menyeringai. Menatap kedua bola mata sang papa yang membara dengan penuh ketenangan.

Irina menyentuh lengan sang suami. “Kami menemukan sesuatu tentang Zevan.”

Ethan tak terlalu tertarik.

“Dan juga apa yang sedang berusaha Zaheer cari.”

Kali ini kata-kata sang mama berhasil membuat Ethan membeku dan tertarik. 

“Kau sedang mencari tahu tentang Klinik Musim Semi, kan?”

“Apa yang kalian inginkan?”

*** 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top