Part 26

Part 26

Mata Ethan memicing tajam ke arah Cara, yang terengah pelan sambil menahan ringisan di wajah. “Apa yang dikatakannya benar?”

Cara menyentakkan wajahnya dari genggaman Ethan yang mulai melonggar. “Jangan berpura tak tahu, Ethan. Kau yang memberikannya pada Emma, kan?”

Alis Ethan menyatu. “Emma yang mengatakannya?”

Cara membuang wajah. Tak perlu menjawab. Sandiwara Ethan memang selalu sempurna.  Tak pernah tak sempurna. Pria itu yang mendorongnya jatuh, pria itu pula yang akan mengulurkan tangan ke arahnya. Membiarkan semua orang merundungnya, lalu menjadikan dirinya menjadi istimewa dibandingkan wanita-wanita pria itu yang lain. Ethan memang pria paling manipulatif yang pernah ia kenal.

Kemarahan di dadanya masih bergemuruh meski Ethan mulai tampak tenang. Entah apa yang menjadi berbeda dirinya mati karena pria itu lewat tangan Emma atau dengan tangannya sendiri. Melihat kemarahan Ethan, sepertinya mati di tangannya sendiri adalah kelancangan yang tak bisa pria itu maafkan. Bukankah Ethan memang gila kontrol. Cara bernapasnya pun harus dengan aturan pria itu. Mungkin, mati bunuh diri adalah pembalasan paling sempurna untuk ego pria itu.

Ethan menegakkan punggungnya. “Kenapa kau begitu bodoh menerima obat yang tak jelas dari orang lain, hah? Kau tahu Emma tak pernah punya niat baik padamu?”

Cara mendengus. “Apa kau punya?”

Ethan membeku. Tatapannya melekat pada ekspresi dingin yang selalu menghiasi wajah Cara setiap berinteraksi dengannya. Melihat Cara yang tak peduli dengan semua hal itu, keputus asaan Cara ketika berada di dalam kamar hotel bersama Zaheer semakin jelas. Itulah yang diinginkannya,  tetapi ia tak menyangka Cara akan senekat ini dan semuanya menjadi seserius ini.

Ethan menghela napas tanpa suara, menoleh ke arah Zaheer dan memberikan satu anggukan singkat. Sang sepupu keluar lebih dulu. 

“Istirahatlah,” ucap Ethan lebih lembut dan ekspresi yang lebih lunak. Jauh berbeda saat sebelum Zaheer menerobos masuk.

Cara beringsut menjauhkan wajahnya dari tangan Ethan yang hendak menyentuh pipinya. Dan kali ini Ethan sedikit memberikan kelonggaran untuk penolakannya. Pria itu hanya tersenyum tipis kemudian berbalik dan berjalan keluar.

Cara membalikkan posisi badan, memunggungi pintu dan memejamkan mata. Berharap kantuknya kembali datang meski ia baru saja bangun. Ia hanya tak ingin mengingat betapa putus asanya dirinya ketika di kamar hotel itu.

*** 

Emma muncul di ruang perawatan Cara keesokan harinya. Tanpa sedikit pun penyesalan di dalam hati. Senyum cerah menghiasi wajah wanita itu ketika melihat kemarahan dalam tatapan Cara begitu pandangan keduanya bersirobok. Pun begitu, wanita itu sama sekali tak mengatakan apa pun. Toh, kebodohan itu sepenuhnya atas tanggung jawab Cara.

“Kau terlihat …” Ada seringai mengejek di ujung bibir Emma ketika wanita itu mengamati penampilan Cara yang terlihat pucat dan rambut yang sedikit berantakan. “… baik-baik saja?”

Cara membuang wajahnya ke samping. Berusaha sangat keras mengabaikan keberadaan wanita itu. Kedatangan Emma ke sini memang untuk mengejek kebodohannya dan keberadaan Ethan.

“Sepertinya aku sudah mengatakan padamu untuk minum satu butir, kan? Untuk menghilangkan pengar dan kegugupanmu. Apa kau sengaja meminum banyak-banyak agar terlihat tidak becus di hadapan Ethan?” Kali ini ekspresi wajah Emma berubah terlihat sengsara dan penuh penyesalan yang dibuat-buat. Ujung matanya melirik ke arah Ethan yang duduk sofa.

Seperti biasa, meski Ethan tampak sibuk dengan benda pipih di pangkuan pria itu, Emma tahu Ethan tak melepaskan perhatian dari Cara. Yang lagi-lagi menciptakan kecemburuan yang menggores perasaannya. Perhatian yang didapatkan Cara tak pernah tidak mendominasi perhatian yang dimiliki seorang Ethan Anthony.

“Ya, seharusnya aku meminum semuanya. Sekalian saja agar Ethan memenjarakanmu karena membunuh istrinya. Kenapa aku hanya sedikit memperlihatkan padanya ketidak becusanmu?” Cara tak tahan untuk tidak membalas kalimat Emma.

Raut Emma membeku. Kilat amarah berhasil melintasi wajahnya, tatapannya menajam pada Cara. Cara masih saja menyombongkan diri bahkan setelah Ethan membuang wanita itu pada Zaheer.

Keduanya saling pandang. Sepuluh detik penuh hingga Ethan berdehem. Menyela pembicaraan wanita tersebut. “Zaheer sudah bicara denganmu?”

Emma mengerjap. Pertanyaan tersebut tentu saja ditujukan padanya. Wanita itu mendesah pelan sebelum memutar tubuh menghadap sofa. Berjalan mendekati Ethan dengan senyum lebar. “Ya, dan aku tak tahu kalau isi obatnya tertukar dengan obat yang lain.”

Mata Ethan menyipit. “Kau yakin?”

Emma mengangguk. Helaan napasnya sedikit lebih keras. “Kau tahu, Mano dan Zaheer biasanya sedikit jahil dengan menyelipkan obat-obatan ke botolku setiap kali kita berpesta, kan? Dan aku sudah lama tidak minum obat penenangku sejak kembali ke negara ini. Tapi aku sudah memeriksa masa kadaluarsanya sebelum memberikannya pada Cara. Kau bisa memeriksanya sendiri.”

Ethan tak mengatakan apa pun. Tentu saja ia juga tahu tentang kejahilan Mano dan Zaheer yang satu ini. Dan ini juga bukan pertama kalinya kedua sepupunya itu melakukan kenakalan semacam ini. Hanya saja. Tak ada yang cukup tolol untuk memenuhi mulut mereka dengan obat itu karena putus asa harus tidur dengan Zaheer maupun Mano. Jika tak bisa berakhir di ranjangnya, tak ada wanita yang menolak pilihan kedua dengan tidur bersama Zaheer maupun Mano.

“Mano dan Zaheer tidak menyangkal,” tambah Ethan yang membuat Ethan semakin bungkam.

Emma duduk di samping Ethan. Sedikit menyandarkan tubuh ke arah pria itu dengan telapak tangan mengelus lengan Ethan. “Lagipula ini hanya permainan, Ethan. Permainanmu. Kau memasukkannya dalam permainan ini sebagai hukuman, kan? Kenapa kau terlihat seperti peduli padanya?”

“Jika setengah-setengah dan tidak tegas seperti ini, menurutmu apakah dia akan tunduk dan patuh padamu? Tidak, dia akan semakin semena-mena dengan kelemahanamu.”

Ethan menggeram.

“Aku tak bermaksud mengatakanmu lemah. Bagaimana mungkin, Ethan. Kau adalah pilar Anthony Group. Tapi dia saja yang tidak tahu terima kasih dan sadar diri dengan kebaikanmu.”

Praanngggg …

Suara gelas yang sengaja dijatuhkan ke lantai menyela kalimat tersebut. Ujung bibir Emma berkedut, hidungnya kembang kempis. Kedongkolan bergemuruh di dadanya. Tanpa perlu menarik perhatian seperti ini, Ethan sudah memberikan perhatian untuk wanita itu terlalu banyak.

Benar saja, kepala Ethan sudah berputar dan melihat Cara yang sudah menurunkan kaki ke lantai.

“Tetap di tempatmu, Cara,” desis Ethan. Dan tentu saja Cara tak mendengar. Wanita itu berhasil memijakkan kaki di lantai. Meraih tiang infus, hendak berjalan menuju kamar mandi.

Ethan menggeram, bangkit dengan keras hingga menyentakkan pegangan Emma lalu berjalan menghampiri Cara yang sudah setengah menyeberangi ruangan.

“Aku hanya ingin ke kamar mandi. Apa kau juga akan ikut?”

“Ya.” Ada kemantapan yang sangat jelas dalam jawaban Ethan. Memegang tiang infus. Ketegasan dalam tatapan pria itu seketika membuat Cara menyesal. 

“Tidak jadi.” Cara membalikkan badan, kakinya sudah terangkat, tetapi lengannya ditahan oleh Ethan.

“Kenapa tidak jadi?”

“Tiba-tiba saja tidak ingin.”

Dengusan keras Emma terdengar. “Apakah kau memang begitu haus perhatian pria, hah?”

“Apa?”

Emma beranjak. Meraih tasnya di meja dengan seringai yang lebih lebar ketika mendekati keduanya dengan perhatian yang hanya ditujukan pada Ethan. “Aku pulang dulu. Aku tak akan mengganggu urusan kalian.”

Ethan memberikan satu anggukan singkat.

“Ah, jangan lupa. Janji kita nanti malam.” Emma sepenuhnya mengabaikan keberadaan Cara. Melengkungkan senyum seapik mungkin sebelum melangkah menuju pintu.

Cara mendorong tiang infus yang dipegang oleh Ethan. Tak menyadari kalau selang infus di tangannya terhubung dengan kantong infus di tiang tersebut. Sontak ia mengaduh karena jarum infus di punggung tangannya bergerak.

“Sakit?”

Cara menahan ringisannya. Memegang punggung tangan berharap rasa sakitnya sedikit berkurang. Ethan memegang lengan atas Cara dan membawa wanita itu kembali ke ranjang sementara tangannya yang lain mendorong tiang infus.

“Aku tak butuh perhatianmu, Ethan.”

“Dan sayangnya, aku butuh memberikan perhatianku padamu.” Lagi-lagi ketegasan dalam suara Ethan tak butuh dibantah. “Aku tak masalah jika kau begitu haus perhatian seorang pria. Selama pria itu adalah diriku, aku tak akan mempermasalahkannya.”

“K-kau …” Cara tak butuh melanjutkan kalimatnya. Tahu bantahannya hanya akan berakhir sia-sia jika melawan keangkuhan Ethan. “Aku tak peduli apa pun yang kau katakan. Kau dan Emma memang sama saja.”

Ethan tertawa geli. Kemarahan Cara terlihat menggemaskan seperti biasa. “Oke. Sekarang istirahatlah. Aku akan memanggil perawat untuk memperbaiki selang infusmu dan membereskan kekacauanmu.” Pria itu melirik pecahan gelas yang berhamburan di lantai.

Cara hendak menolak, tetapi sepertinya jarum infus di tangannya sudah terlalu bergeser hingga ujung selangnya mulai tampak memerah oleh darah. Dengan satu gerakan ringan dan sigap, Ethan mengangkat tubuh Cara kembali ke atas ranjang lalu berjalan ke arah pintu.

Cara menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskannya secara perlahan. Menatap pintu ruangan yang tertutup ketika suara getaran pelan dari nakas mengalihkan perhatiannya. Ponsel Ethan dan miliknya tergeletak di sana, tapi getaran itu bukan berasal dari ponselnya.

Cara tak berniat mencari tahu urusan milik Ethan. Tetapi notifikasi yang muncul di bagian atas layar mau tak mau tertangkap pandangannya. Pesan singkat tertulis singkat. ‘Mereka menyukai tempat baru yang kau pilih.’

Kemudian menyusul notifikasi pesan bergambar dan Cara tak bisa menahan rasa penasarannya. Tentu saja kata mereka merujuk pada si kembar. Benar saja, pesan selanjutnya yang muncul mengafirmasi dugaannya.

‘Selera mereka sama denganmu. Tak hanya wajah mereka yang mirip denganmu, ya.’

“Pesan dari Mano?” Ethan tiba-tiba sudah berdiri di hadapan Cara. Menjulurkan wajah ke arah layar ponselnya yang sudah terbuka di tangan wanita itu.

Dengan perasaan yang campur aduk, Cara menggigit bibir bagian dalamnya. Ethan tak mengambil ponsel di tangannya, sengaja memperlihatkan pesan tersebut meski ia tak sengaja menemukannya. Atau sejak awal pria itu memang sengaja. “Jika kau memiliki sedikit kepedulian pada mereka, kau tak akan memberitahu keberadaan mereka pada keluargamu, Ethan.”

Ethan mendengus tipis. Merasa Cara sudah cukup melihat, ia pun mengambil ponsel tersebut dan bergumam lirih. “Dan apakah menurutmu mereka jauh lebih aman berada di tangan Zevan?”

“Ya. Ada alasan untuk panggilan mereka pada Zevan, kan?”

Sepintas emosi melintasi kedua manik abu gelap Ethan. Pun begitu, ia berusaha keras menahan diri dan membalas. “Dan mereka akan memiliki lebih banyak alasan untuk memanggilku papa, kan?”

“Arrgghhh …” Cara mengaduh. Wajahnya tertunduk dan melihat tangan Ethan yang sudah berhasil melepaskan jarim infus di punggung tangannya. Darah mengalir dari sana, tapi Ethan kemudian menggunakan ujung ibu jari untuk menahan aliran darah semakin deras. Dengan tekanan yang cukup kuat hingga Cara kesulitan untuk menahan rasa sakit yang menusuk di sana.

“T-tuan?” Perawat yang berdiri di samping Ethan tampak menahan rasa ngeri. 



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top