29. Hutang di Masa Lalu

Part 29 Hutang Di Masa Lalu

Suasana pemakaman tersebut diselimuti keheningan yang begitu intens. Isak tangis dan wajah duka menyelimuti semua orang. Terutama Zevan, yang masih tersungkur di tanah lembab tersebut. Kepala tertunduk, menyembunyikan wajah yang diselimuti air mata dan beberapa lebam hasil dari baku hantam di rumah sakit tadi pagi.

Seolah tak hanya semua orang yang melayat yang merasakan kehilangan tersebut, langit bahkan ikut mendung dan rintik hujan membasahi pakaian hitam semua orang. Sebagian besar orang sudah meninggalkan area pemakaman. Menyisakan beberapa anggota keluarga inti

“Jangan memikirkannya, sayang,” bisik Ethan dalam desisan tajamnya. Membekukan kaki Cara yang sudah bergerak.

Mata Cara terpejam. Tak tahan menyaksikan kepiluan serta isakan zevan yang begitu mengiris hatinya. Sejak tadi dorongan untuk mendekati dan memeluk pria itu sangat sulit untuk ditahan. 

“Kumohon, Ethan.  Hanya sekali ini saja.” Cara tak peduli jika harus memohon pada pria berengsek di sampingnya ini. Zevan selalu ada di tengah masa-masa sulitnya. Bagaimana mungkin ia tak bisa memberikan satu pelukan untuk pria itu di tengah duka yang melanda. “Aku akan melakukan apa pun. Apa pun. Hanya kali ini saja, biarkan aku bicara dengannya.”

Secepat kilat, kecemburuan memenuhi dadanya. Permohonan Cara, yang bahkan rela melakukan apa pun hanya demi bicara dengan sang saudara tentu saja berhasil menggores harga dirinya. Zevan telah berhasil bertahta di hati wanita itu.

Cara mengabaikan kedua matanya yang kembali digenangi air mata. Tak peduli betapa menyedihkan dirinya di mata Ethan kali ini. Tak peduli dengan tatapan hina Ethan padanya.

Ethan menelengkan wajahnya ke samping, menurunkan kaca mata hitam dengan seulas seringai di ujung bibir. “Apa pun?”

Cara mengangguk dengan cepat.

“Penawaranmu membuatku tertarik, Cara.” Lengan Ethan membawa tubuh Cara semakin merapat. Mulai memangkas jarak di antara wajah mereka sebelum kemudian ekspresinya berubah dingin hanya dalam sepersekian detik. “Tapi tidak,” jawabnya dengan tegas. Kembali menaikkan kacamata hitamnya dan memberikan satu anggukan singkat pada Mano dan Zaheer. Yang langsung berjalan mengikuti langkah menjauh Ethan. Menyeret tubuh Cara yang masih enggan meninggalkan tempat tersebut.

“Ethan, kumohon …” rengah Cara. Masih berusaha mempertahankan pijakannya di tanah dengan sia-sia oleh kekuatan pria Ethan.

“Kau ingin membuat keributan di sini?” Ancaman bernada rendah tersebut berhasil menghentikan rontaan Cara. Kepala wanita itu berputar, menatap Zevan yang berhasil dibujuk oleh Arman untuk beranjak karena hujan yang mulai semakin deras dan mereka sudah terlalu lama berada di tempat itu.

“Kau benar-benar sesuatu, Cara.” Ethan menyentakkan lengan Cara hingga perhatian wanita itu beralih padanya dan ia kembali menyeret sang istri masuk ke dalam mobil.

Mano duduk di balik kemudi dan Zaheer di jok depan. Dan Ethan baru saja akan menutup pintu belakang mobil ketika pintu tersebut kembali dihentakkan dengan keras.

“Aku akan membuatmu kembali berakhir di tempat itu, Ethan. Aku bersumpah akan menemukan bukti itu ke hadapanmu dan menyeretmu ke penjara,” sumpah Zevan dengan matanya yang melotot merah. Suaranya bergetar penuh amarah. Pun begitu, Ethan menanggapi dengan penuh ketenangan.

“Berusahalah. Kau bisa melakukannya sebanyak yang kau inginkan,” senyum Ethan. Menyentakkan pegangan Zevan hingga pria itu sedikit tersungkur ke belakang. “Kau pikir aku akan jatuh ke parit yang sama? Sepertimu.” Ada cemooh geli yang terselip di ujung kalimatnya. “Jangan menunjukkan kebodohan yang kami semua sudah tahu, Zevan.”

Zevan menggeram. Pegangannya pada pinggiran pintu semakin menguat.

“Cukup, Zevan.” Arman segera melerai ketegangan di antara kedua cucunya tersebut. Menarik sang cucu mundur. “Itu tuduhan yang cukup serius. Dokter sudah mengatakan semuanya.”

“Dokter itu bicara karena uang Ethan. Ethan juga mengancam keluarganya.”

Ethan benar-benar tak bisa menahan tawanya. “Apakah itu yang kau lakukan pada dokter yang menangani Cara sepuluh tahun yang lalu.”

Kemarahan di wajah Zevan seketika membeku. “K-kau …”

“Zevan.” Arman menahan lengan atas Zevan. “Kita pergi.”

Ethan mendengus tipis ketika Arman akhirnya berhasil membawa Zevan menjauh dari mobil dan langsung membanting pintu tertutup lalu Mano pun mulai melajukan mobil.

“Apa yang kau katakan baru saja, Ethan?” Cara akhirnya berhasil mendapatkan suaranya setelah mencoba menelaah tuduhan Ethan pada Zevan.

“Kenapa?” Ethan menelengkan kepalanya dengan seringai yang lebih tinggi. “Kau tertarik mengetahui kebenaran yang sebenarnya? Kebenaran tentang sandiwara di balik sandiwara Zevan sepuluh tahun yang lalu atau tentang kematian ibunya?”

Cara menelan ludahnya. Sandiwara di balik sandiwara? Apa maksud Ethan?

“Aku memang membenci wanita itu, tapi … kenapa aku harus mengotori tanganku untuk wanita penyakitan itu.”

“Kenapa kata-katamu begitu kasar, Ethan?” sergah Cara. Tak tahan dengan kata-kata Ethan yang semakin kurang ajar dan lancang.

“Kau tak terima? Itulah yang dikatakannya pada ibuku. Meski ibuku juga mengkhianatiku, tetap saja dia ibuku. Wanita penggoda, bukankah ibuku yang istri sah papaku. Kenapa aku masih saja ingin terpingkal mengingat ketololannya menurun pada Zevan. Mereka berdua benar-benar tak tahu malu. Aku masih bertanya-tanya apa yang membuat kakek begitu buta oleh mereka berdua.”

“Kudengar ada semacam sihir jahat yang bisa digunakan untuk mencuci otak seseorang. Mungkinkah …” Mano menjulurkan kepalanya ke belakang, tetapi dengan cepat diputar oleh Zaheer. “Perhatikan jalanan. Kau ingin Membunuh kami.”

“Ck, itu tidak mungkin, Mano. Kakek masih ingin aku menjadi pewarisnya. Bukankah itu artinya pikirannnya masih jernih?”

“Ah, kau benar.” Mano mengangguk.

“Atau mungkin mereka menyimpan rahasia gelap kakek?”

“Meski ya, aku tak tertarik mencari tahu,” timpal Ethan dengan sikap angkuhnya.

“Tega sekali kalian mengatakan hal semacam itu tentang ibu Zevan yang baru saja meninggal? Kalian benar-benar tak memiliki hati nurani.”

“Memang ya. Kau keberatan?” Ethan tertawa geli, disambut tawa oleh Mano dan Zaheer. “Apakah menurutmu Zevan juga punya hati nurani?”

“Kau tak seharusnya mempertanyakan pertanyaan itu padanya, Ethan.” Mano kembali bersuara.

“Ah, aku lupa. Matanya masih dibutakan oleh cinta Zevan, ya?”

“Aku bahkan ragu apakah dia memang punya hati yang tulus untuk mencintai seseorang, Ethan.”

“Kenapa kau begitu naif, Cara?" cemooh Ethan.

“Jangan menyalahkannya, Ethan.” Zaheer memutar tubuh ke belakang. “Zevan saja yang lebih cerdik menyembunyikan kelicikannya.”

Ethan tertawa kecil dengan kepala mengangguk setuju. “Kau benar.”

“K-kalian …” Cara kembali merapatkan mulutnya. Tak ada gunanya berdebat dengan ketiga pria gila ini. Dan Cara mengakui ketololannya karena mengajukan pertanyaan tersebut pada Ethan. “Katakan saja apa yang kalian suka,” putusnya lalu memutar kepala menghadap jendela mobil. Berusaha menulikan telinga oleh perbincangan ketiganya yang tak berhenti mengejek Zevan.

*** 

“Aku yakin Ethanlah yang membunuhnya, Kakek. Apakah kakek tak percaya?”

“Itu serangan jantung, Zevan. Dan Ethan, kau tahu dia punya alibi yang kuat. Saksinya tak hanya satu. Kau juga sudah melihat rekaman CCTV tersebut.”

“Aku tak mengatakan Ethan yang melakukannya sendiri.”

“Tak ada siapa pun di ruang perawatan ibumu. Kenapa kau bersikeras Ethan pelakunya.”

“Karena hanya dia yang menginginkan kematian ibuku. Juga ibunya.”

“Zevan …” Arman mendesah pelan sementara tatapannya berubah tegas. “Hanya karena dugaanmu begitu kuat, bukan berarti semua itu yang benar-benar terjadi. Kalau pun dugaanmu benar, kau butuh bukti. Tak hanya dugaan satu arahmu saja.”

Zevan seketika terdiam, menyadari sikapnya yang berlebihan karena terbawa emosi.

“Dan kali ini, kakek akan benar-benar menyelidiki bukti yang kau miliki bukan bukti palsu seperti yang kau berikan sepuluh tahun yang lalu.” Peringatan Arman lebih tegas lagi.

Zevan semakin kehilangan kata-kata.

“Kakek menginginkanmu kembali karena permintaan maafmu yang tulus, Zevan, Jangan kecewakan kakek.”

Zevan menelan ludah dengan peringatan yang tak main-main tersebut. memaksa kepalanya memberikan satu anggukan untuk sang kakek.

“Masuklah.” Arman membuka pintu mobil. Hendak naik ke dalam ketika kata-kata Zevan berhasil membekukannya,

“Bukankah kekecewaan itu masih tak cukup dibandingkan hidup yang diberikan mamaku pada pria itu?”

Arman menoleh dengan perlahan.

“Ibuku sudah mendonorkan hatinya untuk Roy Anthony. Apakah semua pengorbanan itu masih belum cukup untuk menjadikanku pewaris sah perusahaan?”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top