28. Pembunuh
Part 28 Pembunuh
Cara memelintirkan lengannya dengan kesal. “Lepaskan, Zaheer.”
Pegangan Zaheer semakin kuat, menghadang di antara Cara dan Zevan saat pria itu beranjak berdiri.
“Bukankah keahlian Ethan memang menjadi menyedihkan?”
“Katakan itu pada dirimu sendiri, Zevan. Apakah rumah utama kekurangan cermin untukmu?” Zaheer menyelipkan tawa kecil sebelum melanjutkan. “Atau kau terlalu malu menatap wajahmu sendiri?”
Wajah Zevan membeku. Kata-kata Zaheer berhasil mengena di hatinya.
“Meski kau cucu kesayangan kakek, kau tahu kakak masih berpikir logis untuk tidak menjadikanmu penerusnya, kan? Kenapa kau masih tak menyadari dirimu yang sebenarnya.”
Zevan menggeram. Kedua tangannya mengepal.
Pandangan Zaheer turun ke bawah. Tersenyum lebih tinggi. “Sejak kembali, rupanya kau kesulitan mengendalikan emosimu, ya? Apakah karena Ethan ternyata masih unggul dibandingkan dirimu? Bahkan setelah kau membuatnya berakhir di penjara.”
Tatapan Zevan seketika beralih pada Cara. Yang mulai diselimuti kebengongan. “Omong kosong apa yang kau katakan, Zaheer?”
Zaheer mendengus tipis. Ia tak akan membuang waktu untuk bicara, apalagi berdebat tentang kelicikan Zevan lebih banyak lagi. Pria itu kemudian berbalik, membawa Cara menjauh.
“Lepaskan, Zaheer.” Cara menggunakan tangannya yang lain untuk melepaskan jemari Zaheer yang menyeretnya masuk kembali ke dalam gedung rumah sakit. Pegangan pria itu tak melonggar sedikit pun, bahkan tak peduli langkahnya terseok dan jarum infus di punggung tangannya yang kembali bergeser.
Zaheer mendorong tubuh Cara ke dalam lift dan pintu tertutup sebelum Zevan berhasil ikut masuk.
“Kau ingin mendapatkan masalah lebih banyak lagi?” Zaheer menunjukkan layar ponselnya yang menyala. Panggilan dari Ethan.
Cara berhenti meronta. Menelan protesnya dan tak membuat suara sekecil apa pun ketika Zaheer menjawab panggilan tersebut.
“Kau ingin bicara dengannya?”
Napas Cara tertahan. Ketakutan menyergap dadanya ketika menatap keseriusan di kedua mata Zaheer.
“Aku akan membawanya kembali ke atas.” Itu hanya panggilan singkat. Zaheer menurunkan ponselnya sekaligus melepaskan pegangannya pada Cara. Menatap Cara sambil mendecakkan lidah. “Sekalipun aku tak memberitahunya tentang Zevan, apakah menurutmu dia tidak akan tahu?”
“Tak ada yang harus kutakutkan.” Cara melangkah mundur. Membentangkan jarak sejauh yang ia bisa di tempat sempit ini. “Aku sudah melalui yang terburuk karena Ethan. Kenapa aku harus terkejut?”
Zaheer tertawa mencemooh. “Benarkah?”
Kedongkolan di hati Cara semakin membengkak dengan kilat licik Zaheer yang mengejeknya. Mengingatkan keduanya pada kejadian dua malam yang lalu.
“Kau lupa bagaimana pucatnya wajahmu, hah?”
Cara membuang wajah yang memerah malu. Beruntung pintu lift lekas terbuka dan Cara berjalan keluar lebih dulu. Tetapi kemudian langkahnya tiba-tiba berhenti, membalik tubuhnya menghadap Zaheer kembali. “Yang tadi kau katakan, apa maksudmu Zevan yang memasukkan Ethan ke penjara?”
Langkah Zaheer ikut terhenti. Kerutan tersamar di kedua alisnya, mengamati kebengongan yang menghiasi raut Cara. “Kau bertanya?”
“Menurutmu?” sergah Cara. Seketika menyesali ketololannya. Kenapa ia bertanya pada Zaheer. Orang yang jelas-jelas akan membela Ethan. Kepalanya menggeleng. Kenapa pula ia harus bertanya lagi, Zevan sudah mengatakan kalau semuanya itu hanya omong kosong Ethan. “Lupakan.”
“Kau menggunakan bukti perundungan kami untuk menggugatnya kekerasan dalam rumah tangga, Cara. Kau lupa atau hilang ingatan?”
Cara membeku, keterkejutan merebak di seluruh permukaan wajahnya. “A-apa?”
Zaheer maju satu langkah dengan satu tawa kecil. “Meski itu tak cukup untuk membuat kalian bercerai, Zevan tak menyerah untuk memalsukan bukti-bukti penggelapan dana, suap, dan menyebarkan pemberitaan tentang obat-obatan terlarang. Seolah belum cukup dengan semua itu, kasus tentang dia yang mencekokimu dengan obat untuk melecehkanmu. Hingga kau mengalami trauma berat dan tak bisa bertemu siapa pun. Termasuk untuk bersaksi pada persidangannya. Jadi bagian mana yang kau lupakan, Cara?”
Kepucatan seketika merebak di seluruh permukaan wajah Cara.
“Kau butuh aku menjelaskannya secara detail?”
Mulut Cara membeku. Penjelasan Zaheer berputar di benaknya. Ia ingat Zevan memintanya menandatangani beberapa berkas ketika berada di rumah sakit. Ingatannya berputar ke masa lalu. Rentetan hal-hal yang diminta Zevan ia lakukan dengan sukarela tanpa kecurigaan sedikit pun. Zevan hanya mengatakan akan mengurus semuanya sebelum mereka melarikan diri ke luar negeri. Menghilang dari hidup Ethan bersama anak dalam kandungannya selamanya.
“Kenapa terlihat terkejut, Cara? Kau tak mungkin terkejut telah membuat Ethan berakhir di tempat buruk itu, kan? Atau … kau mengalami amnesia dalam pelarianmu? Jadi tak ingat mimpi buruk yang kau berikan pada Ethan?”
Cara mengerjap. Tersentak pelan dengan kemarahan yang begitu pekat di wajah Zaheer. Atau … bolehkah ia mengatakan reaksi pria itu yang berlebihan?
Ethan mengalami mimpi buruk? Pria itulah mimpi buruknya.
Cara merapatkan mulutnya. Meski benaknya masih diselimut tanda tanya besar dan kebengongan, tetap saja ia tak bisa sembarangan bertanya pada Zaheer lebih banyak. Ia tak bisa mempercayai kalimat Zaheer begitu saja. Zaheer, Mano, Emma, dan juga Ethan adalah pembohong besar. Dan Zaheer mengatakan semua itu hanya untuk mengadu dombanya dengan Zevan.
“Mimpi buruk kau bilang?” Cara sedikit mengangkat dagunya dengan dengusan yang tipis. “Seseorang seperti Ethan mengalami mimpi buruk? Sungguh lelucon yang buruk, Zaheer,” pungkasnya kemudian membalikkan badan dan masuk ke dalam ruangan perawatannya. Ia tak akan membuang waktu untuk mendengar kebohongan yang lebih banyak lagi.
Zaheer tak menyusul Cara masuk. Tapi wanita itu tahu ada penjaga yang dipanggil pria itu untuk berdiri di depan pintu ruang perawatannya.
Cara sedikit meringis menahan rasa sakit di punggung tangan. Ujung selangnya kembali dihiasi darah di ujungnya, tetapi tidak banyak dibandingkan sebelumnya. Rasa sakitnya juga tidak seberapa jika harus memanggil perawat.
Wanita itu naik ke ranjang dengan hati. Membaringkan tubuh dan segera mendapatkan posisi yang nyaman karena tak ada Ethan di ruangan ini. Satu helaan napas panjang dan berat lolos dari mulutnya. Kembali memutar ingatannya sepuluh tahun yang lalu?
‘Benarkah Zevan dan dirinya yang telah memasukkan Ethan ke penjara?’
Cara menggelengkan kepala. Mencoba mengingat semua keburukan yang sudah diberikan Ethan pada dirinya. Jika pun semua itu benar, Cara meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang dilakukan oleh Zevan adalah keputusan yang benar. Ethan layak mendapatkan semua itu.
***
Cara terbangun dengan tubuh yang sulit digerakkan. Ia menggeliatkan tubuhnya, berusaha melepaskan sesuatu yang melilit tubuhnya dan hampir memekik keras ketika menyadari lengan Ethanlah yang memeluknya dari belakang sekaligus menjadi bantal kepalanya.
“Kau sudah bangun?” gumam Ethan dengan suara serak. Kembali merapatkan pelukannya pada tubuh Cara dan menenggelamkan wajah di tengkuk wanita itu tanpa membuka mata. “Aku masih ingin tidur.”
Cara menoleh ke belakang, hidungnya menangkap aroma yang penah ia kenal. Bau alkohol seperti di klub malam tempat mereka memainkan permainan Ethan. “Aku ingin ke kamar mandi, Ethan.”
Ethan mendengus tipis, masih dengan mata yang terpejam ia berucap di tengah helaan suaranya. “Aku tahu itu hanya alasan, Cara. Jadi kau ingin kutemani ke kamar mandi atau tetap berbaring tanpa mengganggu kenyamananku?”
Tangan Cara yang hendak melepaskan lilitan lengan Ethan seketika membeku. Membiarkan Ethan kembali tidur dengan posisi yang sama sebelum ia terbangun. Tak lama dengkuran halus pria itu terdengar. Tubuh Cara membeku. Tak berani membuat gerakan sekecil apa pun yang akan mengganggu kenyamanan pria itu.
Hingga satu jam kemudian akhirnya Ethan terbangun oleh suara alarm dari ponsel di nakas. Cara menarik dirinya menjauh begitu Ethan melonggarkan lilitan, saat tiba-tiba tubuhnya hampir jatuh dari ranjang. Ethan menahan punggungnya dengan lengan, membawa tubuhnya kembali ke pelukan pria itu. Dan kali ini dengan posisi yang saling berhadap-hadapan.
“Hanya aku yang boleh membuatmu terluka, sayang. Tidak siapa pun, termasuk kecerobohanmu.”
“Sekarang aku benar-benar ingin ke kamar mandi.” Cara tak berbohong. Kandung kemihnya sudah penuh sejak beberapa saat yang lalu.
Ethan tersenyum, membantu Cara duduk tepat ketika pintu diketuk dari luar. Tanpa menunggu jawaban dari dalam, pintu didorong terbuka. Zevan berjalan masuk dengan kemarahan yang menggelapi seluruh permukaan wajahnya.
Pria itu menyeberangi ruangan, menghambur ke arah Ethan yang belum sempurna duduk dan melayangkan satu pukulan di wajah.
Cara membeliak, membekap mulutnya ketika tubuh Ethan jatuh terjerembab ke lantai dengan suara gedebuk yang mengerikan. Napasnya tercekat, tetap terkejut meski ini bukan baku hantam pertama di antara kedua pria tersebut.
“Berengsek sialan!” Zevan menyambar kerah leher Ethan dengan kepalan yang siap dilayangkan ke hidung Ethan untuk kedua kalinya. “Apa yang kau lakukan pada mamaku? Pembunuh!”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top