24. Permainan Para Wanita Ethan
Part 24 Permainan Para Wanita Ethan
Tubuh Cara dibanting di tengah kasur. Cukup keras meski tidak menyakiti karena kasurnya yang empuk. Tubuh Ethan menindih di atas wanita itu. Satu tangan memaku kedua tangan cara di atas kepala sementara tangan yang lain menahan berat tubuhnya agar tak sepenuhnya menindih Cara.
Wajah Ethan berada tepat di atas wajah Cara. Saling mengunci pandangan meski dengan emosi yang berbeda. “Aku tak pernah menyangka menyentuhmu bisa menjadi candu seperti ini, sayang,” kekehnya. Mengambil satu lumatan singkat dan dalam di bibir Cara. Sengaja membiarkan napas panasnya berhembus di seluruh permukaan wajah Cara.
Cara menggeliat dengan sia. “Kau benar-benar keterlaluan, Ethan. Untuk apa kau menyiapkan kamar untuk mereka jika kau tidak berniat membuat mereka tinggal di sini.”
“Kau berharap mereka tinggal di sini?”
“Lalu apa yang sebenarnya kau inginkan? Kau ingin menggunakan mereka untuk mengancamku, kan?”
Ethan tertawa kecil. ”Tidak, tapi aku suka kepercayaan dirimu. Hanya saja, aku yang menggunakanmu agar mereka kembali ke pelukanku, Cara. Sementara tubuhmu, itu hanyalah bonus yang tak bisa kutolak tentu saja.”
“Berengsek kau, Ethan.”
“Itu bukan hal baru, kan?” Ethan menarik bagian depan baju Cara. Menyelipkan tangan di balik punggung dan melepaskan pengait bra wanita itu hanya dalam hitungan sepersekian detik. “Sejak awal aku menginginkanmu. Menginginkan tubuhmu.”
“L-lepaskan, Ethan. Aku lelah.”
“Aku sudah membiarkanmu istirahat, kan. Di mobil.”
Cara menggeleng, sengaja memalingkan muka ke samping sehingga ciuman Ethan mendarat di pipi. Pria itu terdiam, tetapi ia bisa merasakan seringai Ethan yang menempel di pipinya.
“Kau ingin cara yang lebih sulit?” bisik Ethan. Ciumannya bergerak di telinga.
Kepanikan seketika menggerogoti dada Cara. Pertanyaan Ethan tak membutuhkan jawaban. Dalam sekejap, penolakannya selalu berhasil menyulut emosi pria itu.
Ethan sedikit mengangkat tubuhnya. Tanpa melepaskan kedua tangan Cara, ia sedikit menarik tubuh Cara ke atas. Lalu mengikat kedua pergelangan tangan Cara dengan sabuk kulitnya yang dipasang di kepala ranjang dan membungkam teriakan wanita itu dengan dasinya.
“Kali ini aku tidak akan terburu-buru. Kita akan menikmati setiap momennya. Setiap kenikmatannya.” Ethan menutup mata Cara dengan telapak tangannya. Tak memedulikan erangan Cara yang tertahan di tenggorokan.
***
Cara menatap pergelangan tangannya yang memerah. Rasa nyeri terasa di sana. Juga di beberapa bagian tubuhnya yang lain.
Meskipun begitu, di kantor Ethan sama sekali tak memiliki perasaan seperti biasa. Terang-terangan melampiaskan amarah padanya sepanjang hari.
“Kenapa tanganmu?” Bella tiba-tiba menjulurkan wajah ke meja Cara. Yang langsung menarik lengan panjang bajunya yang sengaja ia pilih pagi ini demi menutupi lecet tersebut. “Kau terluka?”
Cara menggeleng. “Tidak apa-apa.”
“Pastikan saja jangan sampai terlihat dan mempengaruhi pekerjaanmu. Tuan Ethan tak suka asistennya memiliki luka kecil. Jadi pastikan kau menutupinya dengan baik.”
Cara hanya memberikan satu anggukan singkat. Mengancingkan kembali kancing lengannya dan mengeringkan tangan dengan tisu. Menyusul Bella yang berjalan keluar.
Ethan sudah pulang dua jam yang lalu, dan kali ini tidak memaksanya ikut pulang. Cara kembali ke apartemen dengan naik taksi, menggunakan sedikit uang tunai yang ditinggalkan pria itu di meja tadi pagi. Sepertinya pria itu memang tak berniat pulang dengannya.
Cara tak mempermasalahkan. Cara seperti ini jauh lebih membuatnya lega. Seolah memiliki waktu untuk dirinya sendiri. Tanpa perasaan takut maupun tegang.
Sampai di penthouse pria itu, tak ada tanda-tanda keberadaan Ethan. Juga Emma. Cara semakin dibuat lega. Pelayan mengatakan keduanya belum kembali.
Langkah Cara terhenti ketika menata pintu ruangan kerja Ethan yang baru saja ditutup oleh pelayan yang tampaknya baru saja membersihkan ruangan tersebut.
Dan ide itu tiba-tiba muncul. Memberinya kesempatan untuk menyelinap ke dalam sana.
“Ya, Nona?”
“Ethan memintaku meletakkan berkasnya di dalam,” bohong Cara menunjukkan map di tanganya. Pelayan itu pun mengangguk, mempersilahkan Cara masuk dan berjalan pergi.
Cara menutup pintu di belakangnya. Mengendap-endap meski tak ada siapapun di ruangan tersebut.
Ia langsung menuju ke balik meja Ethan. Sesuatu pastinya tersimpan di dalam sana. Cara memeriksa semua isi laci yang ada di hadapannya satu persatu. Memeriksa sesuatu yang tampak tak biasa di hadapannya. Setelah beberapa saat yang cukup lama dan tak menemukan apapun, Cara masih tak menyerah. Mengobrak-abrik semuanya.
“Kau mencari ini?” Ethan tiba-tiba muncul di ambang pintu. Cara yang berjongkok di balik meja dengan laci terbuka di hadapannya seketika membeku. Kepalanya bergerak terangkat, menemukan Ethan yang bersandar di pinggiran pintu, menunjukkan dua buku sertifikat pernikahan mereka di tangan pria itu. Seluruh tubuhnya membeku, senyum Ethan yang semakin melebar membuat Cara semakin memucat.
Ethan berjalan masuk, mengunci pintu di belakangnya tanpa melepaskan pandangan dari Cara.
Cara berdiri, setiap langkah Ethan layaknya ancaman yang tak main-main. Terutama dengan pintu yang terkunci, ia tahu Ethan tak akan membiarkannya lolos kali ini.
“Kenapa kakek masih saja tak adil jika berhubungan dengan Zevan? Bukan aku yang anak haram. Dan bukan aku yang membuat tante Cindy kecelakaan. Zevan yang ingin membunuhku. Kenapa aku yang harus disalahkan atas kesialan yang menimpanya? Bukankah setidaknya dia yang harus membayar niat buruk untuk anaknya sendiri?”
Ethan memasukkan kunci ke dalam saku celananya. “Bahkan setelah ibunya menjadi korban pun dia masih tak menyadari kesalahannya.”
“A-aku tak tahu apa yang kau bicarakan, Ethan.”
“Benarkah?” Langkah Ethan berhenti di depan meja. Setidaknya memberi Cara kelegaan ada meja besar yang menghalangi antara mereka. Tapi ia hanya akan membiarkan kelegaan itu bertahan satu detik, detik berikutnya tubuh Ethan melompati meja dan sebelum Cara menebak apa yang akan dilakukan pria itu. Kedua tangan Ethan sudah berhasil menangkap tubuhnya.
Cara memekik keras. Hanya dalam sekejap mata, punggungnya sudah membentur meja dengan keras. Dan Ethan membungkuk di atas tubuhnya. Mencengkeram wajahnya. “Mereka bisa saja memalsukan sertifikat ini, tapi … rupanya mereka tahu tak akan menang jika melawanku.” Ethan tersenyum tipis. “Bahkan dengan pengacara terbaik mereka. Huftt, kasih sayang kakek yang terlalu banyak pada Zevan benar-benar membuatku semakin muak.”
“S-sakit, Ethan.” Semakin Cara ingin berbicara, rahangnya terasa semakin remuk. Dan Ethan tak pernah peduli jika pria itu sendiri yang meninggalkan jejak di tubuhnya.
“Jadi Zevan lebih penting dibandingkan dengan anak kita? Atau … kau yang terlalu percaya dan yakin padanya? Untuk menyelamatkanmu dari hidupku?”
Cara tak bisa menjawab meski dia ingin. Cengkeraman tangan Ethan di tangannya semakin menguat. Dan Ethan tak peduli akan rintihannya.
“Ke mana dia akan membawamu kali ini? Percayalah, sayang. Aku akan membuat tempat mana pun lebih buruk dibandingkan berada dalam pelukanku.”
Cara terisak. Kedua tangannya berusaha melepaskan pegangan Ethan hanya untuk membuat cengkeraman pria itu semakin menguat.
“Aku tak kekurangan orang yang mengkhianatiku, Cara. Hanya karena kau istriku dan ibu dari anak-anakku, aku tak akan melunak.” Seringai Ethan semakin tinggi. “Dan kuakui, aku memang memberikan keistimewaan itu hanya padamu. Yang rupanya begitu kau benci, ya?”
“Kalau begitu, apa boleh buat. Sekarang kau bisa melakukan apa pun yang kau inginkan. Aku tak akan ikut campur pada dirimu. Jika kau memang lebih bisa mempercayakan hidupmu padanya.” Ethan menegakkan punggung dan melepaskan cengkeramannya. Menurunkan Cara dari meja yang langsung beringsut menjauh.
Napas Cara terengah dengan keras, menatap Ethan yang mundur dua langkah.
“Kita lihat, seberapa besar usaha yang dimilikinya untuk melindungimu dariku.”
“A-apa maksudmu, Ethan?” Cara mengabaikan rahangnya yang masih nyeri meski Ethan tak lagi mencengkeramnya.
Seringai jahat Ethan sebagai jawabannya.
***
Beberapa saat kemudian …
Dengan gaun malam pilihan Ethan, pria itu menyeret Cara masuk ke dalam mobil tanpa mengatakan apapun. Tak memedulikan rontaan Cara.
“Di mana ini?” Cara memucat ketika mengedarkan pandangan ke sekeling mobil yang mulai berhenti di area parkir.
“Klub malam,” jawab Ethan dengan geli akan kebengongan di wajah Cara.
Cara menoleh, menatap Ethan yang terkekeh. Ia bertanya bukan karena tidak tahu tempat macam apa ini.
“Zaheer sedang mengadakan pesta ulang tahunnya. Dan kau akan menjadi pasanganku malam ini.”
Entah kenapa Cara merasakan firasat yang buruk tentang ini.
Begitu keduanya memasuki ruangan yang berisik hingga menyakiti gendang telinga Cara, Zaheer yang berpakaian warna gold dengan kilau terlalu mencolok tersebut langsung datang menghampirinya. Kepala pria itu dihiasi mahkota dengan warna senada.
Karena suara yang terlalu bising, keduanya menyapa dan bicara dengan membaca gerakan bibir. Melambaikan tangan ke arah tamu undangan yang lain. Ethan menghampiri semuanya sejenak, hanya perlu memberi sapaan ringan dan basa-basi sebelum Zaheer membawa mereka naik ke lantai dua. Dengan suasana yang lebih pribadi.
Di ruangan tersebut sudah ada Mano, Emma -yang matanya memicing sinis begitu melihat kedatangannya- dan seseorang berambut pirang yang bersandar manja di lengan Mano.
Begitu Ethan bergabung, mereka semua berbincang singkat dan Cara sendirian yang membisu. Tak ikut dalam perbincangan. Hingga akhirnya mereka sepakat memulai permainan yang gila.
“Apa kau tahu aturan permainannya?” Basa-basi Zaheer bertanya pada Cara. Tak butuh jawaban darinya dan langsung melemparkan jawaban pada Ethan. “Kalau begitu Ethan akan menjelaskannya.”
Ethan memberikan satu kedikan. “Kalian dulu. Aturannya sangat mudah. Anak kecil pun bisa memahami dengan mudah.”
“Setidaknya kau perlu memberitahunya agar dia tidak terkejut, Ethan. Dia pemain baru.” Zaheer memindahkan semua makanan di meja ke meja lain yang ada di sudut ruangan dengan cekatan. Cara berharap pria itu juga meninggalkan baju dan mahkota konyol pria itu sekalian di sana.
“Well, dia pemain lama. Aku hanya tak memberinya ijin untuk memainkan permainan ini karena dia istimewa.” Ethan sengaja menekan kata istimewa.
“Apakah artinya sekarang dia tidak istimewa lagi?”
Ujung mata Ethan melirik Cara yang semakin menegang di sampingnya. Seolah menahan tangis yang ingin tumpah.
“Aku harus menghargai pendapatnya, kan? Dia tak suka diistimewakan olehku.”
Cara menggigit bibir bagian dalamnya. Mengabaikan dengus mencemooh Emma yang duduk di seberang meja, ketakutan merambati dadanya saat pandangannya berhenti pada botol anggur yang belum dibuka satu-satunya barang yang ada di meja besar ini dan mereka berenam mengeliling meja.
Zaheer berpasangan dengan Emma, Mano dengan entah siapa wanita berambut pirang yang duduk di sebelah pria itu. Sementara dirinya adalah pasangan Ethan. Apakah permainan ini berhubungan dengan rumor Ethan yang suka berbagi wanitanya dengan Zaheer dan Mano. Entah kenapa firasat Cara tak baik-baik saja mengingatl hal tersebut.
“Seperti biasa, Ethan duluan. Mulai dari ciuman tangan. Yang paling awal. Diam sebagai ijin atau tanda setuju.” Zaheer memulai mendekatkan botol ke hadapan Ethan. Ethan memutar dan ujung botol berhenti di depan Mano.
“Ya, lakukan.” Mano mengangguk. Ethan pun membungkuk dan megngulurkan tangan ke arah wanita berambut pirang. Yang menyambut dengan suka cita ketika Ethan mendaratkan ciuman di punggung tangan wanita itu.
Selanjutnya Mano, botol berhenti ke arah Zaheer. Kali ini Mano mencium pipi Emma. Putaran ketiga Zaheer berhenti pada Mano dan mencium bibir wanita pirang itu lagi. Selanjutnya Ethan, botol berhenti pada Zaheer.
Napas Cara tertahan ketika Emmalah yang beranjak dari duduknya. Berjalan memutari meja dan langsung duduk di pangkuan Ethan. Kedua lengan wanita itu melingkari leher Ethan dan bibir mereka bertemu. Kali ini bukan hanya ciuman singkat seperti yang Zaheer lakukan dengan wanita pirang itu. Tetapi lumatan yang dalam dan semakin intim.
Cara memalingkan muka. Desah napas keduanya benar-benar membuat perut Cara mual. Akhirnya ia tahu kenapa permainan ini dimulai dari ciuman tangan. Semakin banyak putaran, permainan ini akan menjadi semakin panas. Dan Cara tak berani membayangkan akhir dari permainan ini.
“Cukup, Emma.” Zaheer tergelak. “Kenapa kau begitu tak sabaran. Permainan masih belum berakhir. Masih ada dua putaran.”
Emma memaksa menarik diri dari pelukan tersebut dan kembali duduk di samping Zaheer.
Mano memutar botol, dan berhenti pada Zaheer lagi yang membuat Emma mendesah kesal. “Bolehkah aku berharap berhenti di Ethan?” Mano menggerutu pelan. Melirik pada Ethan yang masih menampilkan raut santai.
Zaheer terkekeh. “Ya, sejak tadi Cara cukup beruntung.”
“Siapa yang tahu akhir dari permainan?”
“Mungkinkah kali ini keberuntunganku? Putaran terakhir ada di tanganku.”
“Kecuali Ethan berubah pikiran dan ini akan menjadi permainan kita bertiga,” timpal Mano, melirik pada Ethan.
Ethan mengangkat pergelangan tangannya. “Aku ingin tidur lebih awal. Selesaikan lebih cepat.”
Zaheer mengerlingkan mata pada Cara dengan senyum yang terlalu lebar. “Tenanglah, Cara. Kami tak pernah bermain kasar pada wanita Ethan.”
“Ck, kemungkinan masih 50%, Zaheer. Jangan terlalu senang. Kau bisa saja mendapatkan Herra.” Mano mengedikkan kepala pada si pirang.
Bau anyir memenuhi mulut Cara, saking kuatnya wanita itu menggigit bibir bagian dalamnya hingga terluka. Semakin Mano dan Zaheer banyak bicara, ia semakin kesulitan bernapas.
Emma kembali beranjak dari kursi dan duduk di pangkuan Mano. Mengalungkan kedua lengan di leher Mano. Dan kali ini tak hanya lumatan panas, tangan Mano bergerak menggerayangi dada dan pantat Emma.
Cara kembali berpaling, tak sanggup melihat adegan yang semakin tak senonoh tersebut. Beruntung mereka berada di ruangan yang tertutup. Tapi Cara sangsi jika kelima orang ini memiliki rasa malu melakukan semua ini di hadapan umum.
“Oke. Putaran terakhir.” Zaheer mengusap-usapkan telapak tangan dengan tak sabaran. Sementara Ethan dan Mano mengeluarkan kartu masing-masing di meja. Cara tak tahu kartu apa itu, tapi melihat warna hitam metalik dengan lambang Eth Hotels yang dipegang oleh Ethan. Cara benar-benar ingin menangis.
“Presidential Suite?” Mano membelalak kecewa. “Ck, kau tak pernah sepemurah ini, Ethan. Apakah karena kali ini Cara yang jadi pasanganmu?”
Ethan tak mengatakan apa pun dan melemparkan kartu tersebut ke hadapan Zaheer. “Lakukan sesukamu.”
Senyum semringah Zaheer semakin lebar. Tangannya memegang botol.
Cara belum pernah merasa setegang ini. Menatap botol yang pada awalnya berputar cepat. Semakin lama semakin memelan dan napasnya tertahan keras. Disetiap putaran yang setiap detiknya terasa begitu lama. Belum pernah Cara merasa satu detik yang selama ini.
Seolah tahu bagaimana permainan ini akan berakhir. Ethan langsung beranjak dari duduknya dan berjalan keluar setelah berkata dengan dingin. “Lakukan sesuka kalian.”
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top