15. Si Kembar

Part 15 Si Kembar

Dengan langkah terburunya, Emma menyusul Ethan yang baru saja keluar dari ruang Arman Anthony menuju pintu utama. Mano dan Zaheer pun ikut beranjak melihat sang sepupu akan hengkang dari tempat ini, sementara meja makan masih belum selesai dibereskan.

“Tunggu, Ethan. Apa kau akan pulang?” Emma akhirnya berhasil menangkap lengan Ethan meski harus merelakan sepatu hak tingginginya yang entah tadi ditinggalkan di mana. “Makan malam …”

“Kau bisa pulang sendiri, kan?” Ethan menarik tangannya.

“A-apa maksudmu?”

“Hanya ini tujuanku datang ke tempat ini.”

“A-apa?” Emma kembali tercekat. “K-kau …”

Ethan mendesah gerah. “Jangan berharap lebih, Emma. Kau tahu bagaimana pendapatku dengan pertunangan ini. Kedua orang tua kita sudah mengambil keuntungan terlalu banyak dalam perjodohan ini. Kau ingin mereka memanfaatkan kita terus-menerus?”

“Aku tak mempermasalahkannya. Aku menginginkanmu. Aku menginginkan pernikahan ini.”

Ethan tertawa kecil. “Aku tahu. Lalu?”

“Aku tak ingin membatalkan pernikahan kita.”

Ethan mengangkat tangan. Menunjukkan cincin pertunangannya dan Emma seharusnya berada, tapi malah cincin pernikahannya dan Cara lah yang melingkari jari manisnya. "Kenapa kau begitu bebal, Emma?”

Emma tercekat dengan keras. “A-apa?”

Ethan mendesah dengan bosan. “Sekarang, aku tak berminat menambah istri.”

“Dan kau baru mengatakannya sekarang!”

“Aku tahu kau akan terkejut jika mendengarku, Emma. Dan aku tahu kau tak akan mendengarnya. Keras kepalamu selalu berada di tempat dan waktu yang tak tepat.”

“Aku memang.” Emma menegaskan. “Aku memang tidak mau!”

“Lakukan apa pun yang kau sukai. Aku tak peduli.”

Seluruh tubuh Emma menegang. Oleh keterkejutan sekaligus kemarahan yang mendadak membludak di dalam dadanya. B-bagaimana mungkin semudah itu Ethan mencampakkannya? Itulah sebabnya Ethan membawa wanita kotor itu ke penthouse pria itu? Tak hanya sekedar untuk bersenang-senang.

“Jadi, simpan patah hatimu. Kau tahu aku tak melakukan hal menye seperti itu.” Dengan tanpa hati, Ethan berbalik dan berjalan menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari undakan. Meninggalkan Emma yang berusaha menelaah keterkejutannya.

*** 

‘Ada acara makan malam keluarga. Ethan datang bersama Emma. Mereka akan segera menikah, kan.’

‘Ah, ya. Aku sudah mendengar tentang itu.’

‘Apa kau baik-baik saja?’

‘Kenapa aku harus merasa tidak baik-baik saja. Aku tak benar-benar ingat pernikahan kami selain pistol yang ditempelkan di kepalaku.’

‘Maaf, saat itu aku tidak datang untuk menolongmu.’

‘Kau memang tak seharusnya selalu ada. Sudah terlalu banyak kebaikan yang kau berikan padaku untuk membantuku dari kejahatan Ethan.’

‘Apakah dia masih merundungmu?’

‘Terkadang.’

‘Aku akan mencari cara untuk membantumu. Segera.’

‘Terima kasih, Zevan.’

‘Bisakah kita bertemu?’

‘Aku tak tahu. Ethan tak mengijinkanku keluar kecuali ke rumah sakit. Kemarin.’

‘Kemarin?’

‘Ya. Aku berniat menyelinap untuk mencarimu. Tapi Ethan sama sekali tak membiarkanku lepas dari pengawasannya.’

‘Tidak masalah. Kita akan segera bertemu.’

‘Ya, kuharap.’

‘Ah, bagaimana keadaan mereka? Aku tak bisa menghubungi pengasuh.’

Ethan menyeringai. Tentu saja Zevan tak menjawab. Sepupunya sedikit lebih cerdik. Membaca pesan singkat dari ponsel Cara yang disadap oleh Mano. Terpacu pada kata mereka yang diselipkan Cara. Jadi memang benar, mereka ada dua. Dan masih hidup.

Sebelum Ethan membawa pil itu pada Cara, tentu saja ia memastikan kehamilan gadis itu pada dokter kandungan. Ia tak mungkin mempercayai sebuah testpack yang bahkan ia sendiri tak melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana hasilnya bisa positif. Yang ia temukan, -dan sadari itu adalah sebuah kesengajaan- di tas Cara.

Saat itu usia kandungan Cara masih terlalu muda, tetapi sudah bisa dideteksi ada dua kantung janin di perut gadis itu. Dan Cara tak mengetahui detail tersebut. Begitu dokter selesai memeriksan gadis itu, Ethan menyuruhnya untuk menunggu di luar.

Usia Cara yang terlalu muda, ditambah kehamilan kembar, dan satu pengakuan gadis itu yang mendorongnya untuk membereskan kekacauannya dengan pil itu. Resikonya terlalu besar. Saat itu pikirannya benar-benar kacau. Emosinya bercampur aduk. Ia tak benar-benar tahu apa yang diinginkan dan dilakukannya. Semuanya terjadi begitu tiba-tiba. Cara dengan sukarela menelan pil itu, tersenyum penuh kepuasan karena tangannya sendirilah yang membunuh anak mereka.

Satu-satunya hal yang ia ingat pada saat itu hanyalah darah yang menggenang di lantai da mengotori tubuhnya. Darah Cara terlalu banyak. Membuatnya pucat dan panik.

Tak lama, satu persatu pesan tersebut dihapus. Tak ada panggilan maupun pesan masuk lagi. Ethan memasukkan ponsel ke dalam saku jasnya.

Di mana mereka?

Apakah anaknya laki-laki dan perempuan?

Apa dua-duanya laki-laki?

Atau dua-duanya perempuan?

Ethan menghela napas panjang. Turun dari dalam mobil dan langsung masuk ke dalam lift khusus yang langsung membawanya ke penthousenya. Percakapan Cara dan Zevan cukup mengganggunya.

‘Kenapa aku harus merasa tidak baik-baik saja. Aku tak benar-benar ingat pernikahan kami selain pistol yang ditempelkan di kepalaku.’

Cara tentu saja merasa tak terganggu sekalipun ia menikah Emma atau wanita mana pun. Bahkan wanita tak akan peduli dengan wanita-wanita yang berjajar berusaha menarik perhatiannya maupun naik ke ranjangnya.

Ck, ada sesuatu yang terasa mengganggu di dalam dirinya tentang hal itu. Sesuatu yang tak disukainya. Ia ingin mendapatkan lebih banyak perhatian dari wanita itu. Kebencian, kemarahan, dan mimpi buruk. Ia akan mendapatkan semuanya dari Cara. Membuat pikiran dan emosi wanita itu hanya tentang dirinya dan dirinya.

*** 

Cara tersentak ketika pintu kamar terbuka dan Ethan berjalan masuk. Pandangan pria itu langsung menemukan dirinya yang duduk di sofa dengan ponsel di tangan. Menunggu balasan dari Zevan yang tak juga muncul setelah lebih dari tiga menit. Mungkinkah pria itu sedang sibuk? Atau tiba-tiba ada urusan sehingga tak sempat membalas pesan terakhirnya.

Ada kerinduan yang mendadak muncul ketika teringat kedua kembar. Ingin memeluk kedua malaikat kecilnya dan melampiaskan kerinduan yang rasanya tak bisa ia tahan lebih lama lagi. Padahal baru satu minggu yang lalu keduanya berpisah. Ck, bahkan baru sehari saja ia sudah tak bisa berhenti memikirkan kedua putra dan putrinya.

“Menungguku?” Salah satu alis Ethan terangkat, berjalan mendekati sang istri sambil melepaskan jas dan dasinya.

Cara mendengus, melengoskan wajah dan beranjak dari duduknya sebelum Ethan bergabung bersamanya. Berjalan memutari meja agar rutenya tidak berpapasan dengan pria itu.

Ia memang belum mengantuk, teringat si kembar yang ingin dipeluknya. Ditambah ponselnya yang sudah diganti oleh Zevan, membuatnya tak bisa melihat gambar si kembar. Zevan memperingatinya untuk mengganti ponsel dalam perjalanan ke bandara. Berjaga-jaga jika Ethan menemukan mereka, setidaknya pria itu tak perlu dan tak akan pernah tahu tentang si kembar. Pria itu tak perlu tahu tentang keberadaan anak yang nyaris mati di tangan sang ayah sendiri.

Apakah mereka sudah tidur dengan nyenyak? Apakah mereka tidak menanyakan dirinya? Nomor pengasuhnya tiba-tiba tidak aktif. Tak biasanya Ginan sulit di hubungi seperti ini. Yang membuatnya semakin sulit tidur.

“Bawakan aku sebotol anggur,” pinta Ethan sembari duduk di tengah sofa panjang. Melempar jas dan dasi ke meja lalu menggulung kedua lengan kemeja hingga di siku.

Cara terus berjalan, tetapi kalimat Ethan selanjutnya membuat langkah wanita itu terpaksa berhenti.

“Atau kau lebih suka kita langsung ke ranjang?”

Cara menoleh, tak sungkan untuk menampilkan kedongkolan yang teramat. Ya, mengancam memang hobi yang sudah digeluti Ethan sejak masih muda. Dan hobi itu sudah terasah dengan baik.

“Di lemari penyimpanan.” Senyum Ethan penuh makna. “Aku yakin kau tahu di mana. Kau sudah mengelilingi tempat ini beberapa kali, kan?”

Cara pun berjalan menuju pintu. Kembali tak lama kemudian dengan sebotol anggur yang diambil sembarangan dan satu gelas ke hadapan Ethan.

“Temani aku minum,” pintah pria itu lagi sebelum Cara berpikir untuk melenggang pergi.

“Aku tidak suka alkohol.”

“Aku tak mengatakan kau harus meminumnya.” Ethan mendongak, ujung bibirnya menyeringai. “Kau tahu, alkohol tak baik untuk kesehatan rahimmu.”

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top