12. Kembali Ke Keluarga Besar

Part 12 Kembali Ke Keluarga Besar

Ethan meninggikan senyumnya. “Tiba-tiba aku berubah pikiran.”

“Apa maksudmu?”

“Jika aku ingin punya anak, itu harus dari perutmu.” Ethan tertawa geli dengan wajah Cara yang memucat dan kengerian yang begitu kental di kedua mata wanita itu. “Ck, kenapa kau begitu tertekan, istriku. Aku tak mengatakan akan memiliki sekarang.”

“Kau menipuku!”

Ethan tak menyangkal. “Kau masih ingin berkonsultasi dengan dokter atau kita bisa langsung pulang. Keputusan ada di tanganmu.”

Cara menekan kemarahannya. Mencoba berpikir jernih. Pil? Ia tak yakin bisa meminumnya dengan tepat waktu. Ia memaksa kembali duduk dan mengatakan ingin suntikan saja. “Berapa besar kemungkinan kontrasepsi itu tidak bekerja dengan baik? Dan apa saja yang harus dihindari.”

Kali ini Ethan memberikan apa yang diinginkan oleh Cara. Ia menatap lurus mata sang dokter, yang langsung mengarahkan Cara naik ke ranjang pasien. Melakukan beberapa pemeriksaan yang tak dipertanyakan oleh Cara lagi. Sepertinya wanita itu memang akan melakukan apa pun agar tidak ia hamili. Bukankah hal ini semakin mencurigakan? Sementara banyak wanita-wanita yang berjajar ingin dia hamili. Ck.

“Tunggu di sini.” Ethan mendudukkan Cara di kursi tunggu. Meraih ponselnya dan berjalan menjauh dengan jemari yang bergerak-gerak di layar ponsel. Tanpa melepaskan pengawasannya dari Cara, pria itu bicara dengan seseorang di seberang sana.

“Jadi? Ya atau tidak?” Ethan tak perlu berbasa-basi. Sang dokter tahu apa yang diinginkannya sebelum membawa Cara ke ruangan dokter.

Jawaban sang dokter membuat seringai Ethan naik lebih tinggi. “Kau yakin?”

‘Ya, ada beberapa hal yang membuat saya yakin tentang kehamilan yang cukup pada istri Anda. Salah satunya stretch mark di bagian bawah perut, jalan lahir dan ukuran rahim yang membesar.’

Kening Ethan berkerut dengan tanda stretch mark yang dimaksud. Mengingat setiap detail tubuh Cara yang sudah dihafalnya dengan baik dan tahu tanda itu. Cara tak memiliki bekas itu sepuluh tahun yang lalu.

Jawaban sang dokter sangat memuaskannya. Sekarang ia tahu harus memulainya dari mana.

*** 

“Kau tidak memberitahunya?”

“Apakah menurutmu dia akan memberiku jawabannya jika aku bertanya?”

Mano dan Zaheer menggeleng bersamaan. 

“Lagipula, kita tak tahu apakah anak itu masih hidup.” Ujung bibir Ethan berkedut ketika membayangkan kemungkinan itu ada. 50 bandig 50. Dan Cara benar dalam dua hal. Setiap kali mengingat apa yang dilakukan pada Cara muda, ada rasa bersalah yang menyelinap di dalam dirinya. Tak pernah menghilang hingga detik ini.

Ck, sejak kapan kau punya hati, Ethan! Batinnya mendecak.

“Jika dihitung-hitung, berapa usia kehamilannya? Sekitar sembilan tahun lebih,” gumam Zaheer menghitung. Matanya menyipit mengamati wajah Ethan. “Apakah wajahnya akan mirip denganmu?”

Sekali lagi sesuatu menyelinap di dalam dada Ethan. Kehangatan? Kebanggaan? Kepuasan? Ethan tak benar-benar tahu mana yang lebih mendominasinya.

“Seharusnya tidak kurang dari itu jika memang milikmu, Ethan,” sahut Mano. Yang langsung merapatkan mulut begitu Ethan melemparkan tatapan ke arahnya.

Ethan tak mengiyakan. Sekarang yang perlu ia ketahui adalah di mana anak itu berada? 

“Kau menemukan sesuatu di ponselnya?”

Mano menggeleng. “Semua galeri fotonya kebanyakan foto-foto mesra mereka.”

“Sampahnya?”

“Butuh waktu untuk memulihkannya?”

“Apakah itu artinya kau bekerja lebih lambat dari orang-orang mamaku?”

Mano menelan ludahnya.

Ethan beralih pada Zaheer. “Berapa banyak yang diketahui oleh mamaku?”

Zaheer mengerucutkan bibirnya. “Mamamu hanya berpikir kalian berebut mainan.”

“Hanya itu?”

“Ada sesuatu yang mengusik mamamu. Alasanmu tiba-tiba menggali informasi itu.”

“Apakah dia mencurigai sesuatu?”

Zaheer mengangguk. “Tapi tak ada hubungannya dengan Cara. Mamamu pikir kau ingin menjebloskan Zevan ke penjara. Tapi sepertinya papamu keberatan.”

Ethan mendengus tipis. Tak terkejut.

“Dan hari ini kakek membawanya pulang ke rumah setelah menjenguk tante Cindy. Kemungkinan besar dia akan kembali ke rumah utama.”

Ethan tak peduli dengan hal itu. Tapi kini ia tahu kenapa mama dan papanya mendesaknya untuk segera menikahi Emma. Mereka tak ingin Zevan mengambil posisi yang seharusnya ia miliki sebagai pewaris Anthony Group.

“Apakah nanti malam kau akan datang?” Pertanyaan Zaheer memecah lamunan Ethan. “Makan malam. Kakek ingin menemui, kan?”

*** 

Ethan menatap rumah mewah bertingkat empat yang berdiri megah di lahan seluas beberapa hektar tersebut. Terakhir kali ia menginjakkan kaki di tempat ini adalah tujuh tahun yang lalu. Dan jika bukan karena kelancangan sang mama, ia tak akan berada di tempat ini. 

“Ayo. Kita sudah terlambat.” Emma menyelipkan lengannya di lengan Ethan, membawa pria itu masuk ke dalam rumah.

Empat pelayan menyambut kedatangan mereka dengan hormat. Mengarahkan keduanya menuju ruang makan utama karena semua anggota keluarga sudah datang. Dan begitu memasuki ruang makan yang luas dengan meja makan berkapasitas 20 orang, hanya dua kursi yang dibiarkan kosong.

Ethan mengedarkan pandangan ke sekeliling mereka. Menatap wajah-wajah familiar yang duduk mengelilingi meja dan berhenti pada Zevan yang duduk di samping sang kakek. Pimpinan besar Anthony Group, Arman Anthony.

Ethan mengambil tempat kosong di samping kanan sang kakek. Tepat di hadapan sang sepupu. “Apakah ini semacam makan malam untuk menyambut cucu kakek yang sudah lama menghilang?” Ada sindiran yang kental pada sang kakek. “Aku? Atau dia?”

Arman menatap ketegangan yang membentang di antara kedua cucunya tersebut. “Untuk kalian berdua.”

Ethan tertawa kecil. Menyangsikan jawaban sang kakek yang terkesan adil, tapi ia tahu betul sang kakek lebih memihak Zevan.

“Juga untuk merayakan pertunanganmu dengan putri tunggal keluarga Warren.”

“Ah, apakah kakek juga akan merayakan pertunangan kami bersama-sama juga?”

Arman terdiam sejenak lalu menoleh pada Zevan. “Apakah kau sudah memiliki seseorang yang ingin kau kenalkan pada kami, Zevan?”

Tatapan Ethan mengarah lurus pada sang sepupu. Keduanya saling bertatapan dengan penuh ketegangan. Tangan Ethan mengepal dengan seringai di ujung bibir Zevan. Keduanya tahu jawaban apa pun yang keluar dari mulut Zevan, bukanlah jawaban yang ia sukai.

“Ya, Zevan sudah memilikinya, Kakek.” Zevan sengaja mengulur suaranya. “Namanya Caralie Jasmine.”

Ketegangan memucatkan wajah Ethan. Zevan benar-benar mengibarkan bendera perang. Pria itu benar-benar cari mati.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top