69

Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. (QS. Yasin: 36)

Bintang tidak bisa pulang ke rumah. Dia belum siap bertemu Aida dan kembali bertengkar. Awan melaporkan kondisi ibunya yang sudah lebih ceria setelah rutin mengikuti pengajian, tetapi tak menutup kemungkinan ibunya bakal kembali mengamuk jika melihatnya dan teringat urusan Grace. Omong-omong soal Grace, Bintang melirik ke arah dapur apartemennya. Grace tengah sibuk mengeluarkan makanan yang dibawanya dan menatanya ke piring.

Hari ini dia berencana tidur sepanjang hari. Ketika matanya mulai terpejam, Grace menelepon dan mengabarkan sudah sampai di lobi. Alhasil rencananya dibatalkan dan dia menjemput Grace naik ke unitnya. Perempuan itu tampak berseri-seri sejak bertemu di lobi.

"Aku nemu resto yang jual ikan fillet goreng tepung. Rasanya enak. Kamu suka banget sama ikan jadi aku belikan sebelum ke sini." Grace membawa piring putih besar dan meletakannya di atas coffee table di depan Bintang.

"Kenapa kamu harus repot belikan ini? Kita bisa pesan antar."

"Nggak repot kok. Aku malah senang." Grace mengalungkan lengannya ke bahu Bintang. "Aku kangen banget sama kamu. Kerjaan kamu lagi banyak, Sayang?"

Bintang membeku. Pelukan ringan Grace serasa serangan dadakan. Dia meneguk ludah. Akalnya mencoba mengingat sikap yang sewajarnya dia berikan atas sentuhan manja Grace, tetapi badannya terlalu tegang.

"Sayang?" Grace mengurai pelukannya. Dia memandang Bintang kebingungan.

Bintang bernapas lega. Kemudian tersadar atas reaksi dirinya yang ganjil. Kenapa dia tidak bisa membalas pelukan Grace? Bukankah keintiman itu yang disebutnya sebagai 'charging' mental? Seharusnya pelukan Grace yang dibutuhkannya di tengah kepenatannya berhadapan sang ibu.

"Sayang..." Grace menggoyang lengan Bintang ringan. "Kamu lagi mikirin apa?"

Bintang menoleh, lalu menggeleng singkat. Senyumnya diurai pendek dan kaku. "Aku kecapekan aja," jawabnya.

Grace mengaitkan lengannya ke lengan Bintang. Pipinya merona saat berkata, "Mau istirahat di kasur? Kita udah lama nggak bareng, kan?"

Bintang paham maksud Grace. Biasanya dia akan langsung mengangkat Grace naik ke kasurnya dan melakukan hubungan yang menyaingin pasangan suami dan istri. Namun hatinya tak bergairah sekalipun Grace dengan sengaja menggesek dadanya ke lengan atas Bintang. Ada sesuatu yang terasa salah dan Bintang tak bisa menepisnya demi bersenang-senang bersama kekasihnya.

"Maaf, Grace. Aku lagi capek banget," tolak Bintang. Dia memegang tangan Grace dan mencoba melepaskan diri.

Grace memandangnya terheran-heran. "Apa kamu ada masalah lagi sama Mama?" Grace merujuk pada ibunya Bintang.

"Bukan..." Bintang bingung menjelaskan suasana hatinya yang tengah 'kering' dari gairah seksual.

"Nggak usah bohong. Pasti ini ada kaitannya sama mama kamu. Apa mama kamu masih ngelarang pernikahan kita?"

"Soal itu, iya. Tapi bukan karena Mama, aku nggak mau-"

"Sayang, aku bisa dengar. Kita saling terbuka soal ini. Cerita ke aku, apa yang mama kamu bilang sampai kamu begini." Grace setengah memaksa.

"Grace, bukan soal mama. Aku cuma lagi capek. Beneran capek."

"Kalo gitu, ayo tidur."

Ini yang membebani Bintang. Dia sering tidur bersama Grace baik secara harfiah maupun yang bertanda kutip. Jika dia menolaknya sekarang, dia akan terdengar mencurigakan. Sungguh, dia bisa memahami kecurigaan Grace terhadap dirinya.

"Aku mau istirahat sendiri," ucap Bintang jujur.

Grace membeliak. "Kamu..." Dia menjilat bibir bawahnya. Kemudian menggeleng seakan tengah melihat hewan aneh. "Sayang, apa mungkin..."

"Apa?"

"Apa mungkin mama kamu nyuruh kita putus lagi?" lanjut Grace pelan-pelan.

"Mama emang sudah minta aku putusin kamu sejak lama." Bintang heran sendiri. Grace sudah pernah dengar ceritanya tentang permintaan Aida yang satu ini.

"Kamu nggak setuju, kan?"

"Nggak."

"Atau mama kamu ngenalin kamu ke cewek lain yang seagama sama kamu?"

"Nggak."

"Sayang, please jujur sama aku. Apa yang lagi kamu pikirin?"

"Aku beneran ingin istirahat aja. Nggak yang lain."

"Bohong!" Grace berdiri.

"Bohong apa?" Bintang memegang tangan Grace. Dia jarang melihat Grace emosional. Alasannya jatuh cinta pada Grace adalah sifatnya yang tenang dan perangainya yang lembut.

"Pasti ada sesuatu yang kamu sembunyikan dari aku." Grace menepis tangan Bintang agak kasar. "Sampai kamu bisa jujur, aku  nggak mau ngomong sama kamu."

Bintang berdiri. Dia bingung. "Nggak ada yang aku sembunyikan. Apa yang harus aku bilang supaya kamu percaya? Aku cuma capek dan lagi nggak ingin tidur sama kamu."

"Kamu..." Mata Grace membesar. "Nolak aku? Kamu, Bin?" Telunjuknya menunjuk dada Bintang.

"Grace, tolong jangan bikin ini jadi masalah besar. Aku hanya-"

"Awalnya hanya alasan capek, ingin sendiri, terus apa? Kamu bakal minta pisah dari aku. Setelah semua pengorbanan yang aku kasih ke kamu, setelah semua kerja keras ini, kamu bakal nyerah sama mama kamu. Karena mama kamu, kamu ngelepas aku. Aku, Bin, aku yang sayang kamu tulus."

"Grace!" Bintang memegang kedua bahu Grace. "Jangan mikir kejauhan. Aku masih berusaha buat kita."

"Usaha? Usaha apa? Yang aku dengar cuma mama kamu yang masih nolak aku. Apa aku rendah banget karena nggak seiman sama kamu? Aku juga manusia, punya hati, punya batas kesabaran." Grace mencecar penuh emosi.

"Aku lagi ngaji supaya bisa nyari cara kita nikah." Bintang belum pernah mengatakan aktivitas yang satu ini kepada Grace.

"Kamu ngaji? Buat apa?"

"Aku harus tahu hukum agamaku dan gimana supaya kita bisa nikah," aku Bintang.

Grace mendenguskan tawa singkat. "Ngaji di saat begini, apa bisa bantu? Akhirnya, nggak ada jalan buat kita. Ustad itu kolot. Mereka bakal nentang kita. Pola pikir mereka konvensional, nggak bisa mengikuti zaman. Yang kamu dapatkan akan sama kayak yang mama kamu omongin."

Ada percikan api yang memanaskan hati Bintang. "Jangan ngomong begini. Aku mengusahakan yang terbaik buat kita," mohon Bintang. Dia mencoba sabar.

Grace menyibak tangannya di udara. "Semua orang udah nasihati aku. Selama ini aku diam karena aku percaya kamu. Aku percaya kita bisa sukses sampai ke pernikahan. Lihat langkah yang kamu ambil kayak gini, aku meragu apa benar kita bisa nikah atau selama ini kita hanya buang-buang waktu."

"Aku serius sama kamu. Kita udah berjuang selama ini dan kamu masih ragu sama aku. Grace, apa nggak kelihatan usaha aku? Aku benar-benar nyoba ngomong ke mama." Bintang menahan lengan atas Grace lagi. Badannya sedikit membungkuk untuk menyamakan tinggi pandangan sang kekasih.

"Kalau kamu serius, kita udah nikah. Kita. Udah. Nikah." Grace menatap Bintang nyalang. "Tapi kesabaranku terus-terusan kamu uji dengan kalimat itu. Kamu berjuang. Kamu berusaha. Kamu serius. Buat apa semua itu kalau akhirnya..."

"Grace!" Bintang marah. Dia tidak ingin Grace melanjutkan ucapannya.

"Hubungan kita nggak akan berhasil." Grace menggeleng. Matanya dibanjiri air mata. Dia menepis tangan Bintang dan melanjutkan, "Udah cukup. Aku capek. Aku nggak bisa lagi."

"Grace..."

"Tolong, Bin. Aku capek. Aku mau kita putus." Grace menunduk sembari menutup wajahnya menggunakan kedua tangan.

Tangan Bintang menggantung di udara. Hatinya nyeri melihat perempuan yang dia cinta menangis akibat kondisi mereka. Di sisi lain, dia tak kuasa menentang orang tua. Dia menarik tangannya ke sisi badan. Niatnya memeluk Grace ditelan bulat-bulat. Dia tak bisa membuat perempuan sebaik Grace tersakiti apalagi penyebab sakit itu adalah dia.

"Izinin aku antar kamu pulang," pinta Bintang dalam suara lemah.

Grace mendongak. Dia menatap Bintang agak lama, lantas mengangguk sekali. Itu adalah interaksi singkat yang menyakitkan di antara mereka. Bintang dapat melihat kesakitan di sepasang mata Grace. Namun dia adalah pria bodoh yang tak tahu caranya membahagiakan perempuan yang selama ini setia di sisinya.

-o-

"Loh? Bintang?"

Bintang batal memencet bel rumah Arsa. Dia berbalik dan menemukan Asiyah yang baru keluar dari rumahnya sendiri.

"Halo, Kak Asi," sapa Bintang.

"Hai. Arsa nggak ada di rumah. Dia mau itikaf di masjid sama Ustad Udin. Kamu baru datang?" Mata Asiyah meneliti Bintang sekilas.

"Itikaf?" Setahu Bintang itikaf itu dilakukan menjelang sepuluh hari Idul Fitri. Mengapa Arsa itikaf hari ini?

"Iya. Kalau mau ketemu Arsa, samperin ke kebun Ustad Udin aja. Tahu nggak kebunnya?"

Bintang menggeleng.

"Di belakang masjid. Barengan mau?"

"Boleh." Bintang melirik mobilnya.

Asiyah cepat tanggap. "Masukin ke rumahku aja, gimana? Cukup buat satu mobil kok."

"Parkir pinggir jalan nggak apa-apa, Kak."

"Jangan. Masukin ke rumah aja. Aman." Asiyah bergegas membuka gerbang rumahnya.

Bintang bersyukur sekali atas bantuan Asiyah. Dia masuk ke mobil dan memarkir mobilnya ke pelataran rumah Asiyah. Begitu dia turun dari mobil, sebuah motor masuk ke pelataran juga. Pengendara motor itu begitu familiar di mata Bintang sekalipun helm belum dilepas. Siapa lagi perempuan berjilbab yang panjangnya mencapai pergelangan tangan yang dia kenal, kecuali Iis. Naluri Bintang memberinya perintah waspada kalau-kalau dia kena dihadiahkan wajah ketus.

"Om Binbin!" Omar muncul di antara Iis dan Endah. Rambut mangkuknya tertutup helm bergambar Paw Patrol.

Bintang melambai. Ada rasa lucu melihat koleksi anak itu yang didominasi karakter anjing di saat Arsa adalah pemuda paling halal yang pernah dikenalnya.

Omar turun dibantu Endah. Anak itu langsung berlari menyambut Bintang. Wajahnya memerah dan berkeringat. "Om Binbin mau nginap lagi?" tanya Omar antusias.

"Om mau ketemu Om Acha. Kata Kak Asi, Om Acha mau itikaf di masjid. Om mau nyusul Om Acha. Kamu dari mana?" Bintang berjongkok. Dadanya yang terhimpit oleh masalah sedikit meringan begitu melihat wajah menggemaskan Omar. Dia jadi paham alasan Arsa selalu ingin pulang setiap memiliki masalah di pekerjaan. Anak ini adalah sumber healing Arsa. Anak ini juga yang membuat Bintang bisa menikmati senyuman lagi.

"Abis jogging sama Kak Iis dan Kak Endah." Omar mendongak ke Asiyah. "Om Acha ngapain sih itikaf?"

"Kamu bisa tanya ke Om Acha. Tapi malam ini kamu menginap di sini. Mau ya?" Asiyah membantu melepaskan helm Omar.

Mata Omar membelalak dengan jenaka. Ekspresi kaget dan gembiranya berbaur membuat para orang dewasa ingin mencubit pipinya. "Aku mau dong."

"Kakak mau temani Bintang sekalian antar makanan buat Arsa dan Ustad Udin yang mau itikaf. Kalian istirahat dulu di dalam. Ada baso malang. Kalau mau makan, dipanaskan dulu. Ibu dan Uwak lagi ke warung Baba." Asiyah berbicara ke Endah dan Iis.

"Kakak mau ke sana berduaan?" Iis melirik Bintang sekilas. Wajahnya berubah kaku.

Bintang segera berdiri. Dia sudah mempersiapkan diri kena sikap sinis perempuan satu ini.

"Ditambah malaikat di kanan kiri kami, bisa dibilang kami ke sana berenam," canda Asiyah.

Iis menggeleng. "Kak Asi sama Omar di rumah aja. Biar aku dan Endah yang antar."

"Jalan kaki?" tanya Endah. Wajahnya tampak tak rela.

"Mau naik motor bertiga?" tanya balik Iis agak kesal.

"Ada motor nganggur tuh." Endah menunjuk motor yang terparkir di depan mobil Bintang. Kemudian beralih ke Bintang. "Lo bisa bawa motor?"

"Nggak kuat," jawab Bintang cepat.

Endah dan Iis kompak mendengkus. Bintang menemukan keakraban mereka dan merasa lucu. Endah kembali bertanya, "Lo bisa ngendarain motor, nggak?"

"Bisa."

Endah menghadap Iis. "Biarin Bintang bawa motor Ustad Jamal, sekalian titip di masjid. Zuhur Ustad Jamal ke masjid, motornya bisa sekalian dikembalikan."

Iis mendesah. "Ya sudah." Dia melirik sekilas Bintang.

Badan Bintang menegang. Dia dapat melihat ketidaksukaan Iis. Pasti karena gue bakal make motor bokapnya, duganya dalam hati.

###

14/11/2024

Menurut kalian, Iis tuh beneran nggak suka sama Bintang kayak yang dilihat Bintang?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top