68
Bab 68
Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (QS. Az Zariyat: 49)
Asiyah senang menerima pesan singkat Arsa yang meminta izin menitipkan Omar malam ini. Dia berlari ke dapur, tempat Atun dan Ami sedang membuat lupis. Setelah membantu katering Atun, Ami dan Endah masih menginap di rumah mereka. Baik Atun maupun Asiyah senang jika Ami dan Endah tinggal lebih lama.
"Bu, Arsa mau itikaf di masjid. Dia tanya, bisa nggak Omar dititip di kita malam ini?" Asiyah tidak bisa menutupi suaranya yang gembira.
"Bisyaroh tuh," komentar Ami.
Atun tergelak kecil, lalu menjawab, "Boleh. Tanya juga, dia itikaf sama siapa di masjid."
"Sama Ustad Udin." Arsa sudah mendetailkan siapa rekan itikafnya malam ini lewat pesan WhatsApp.
"Kalo Ustad Udin yang nemenin, Ustad Jamal pasti ikut. Atok lagi nginep di rumah cucunya jadi, nggak bisa ikut. Kira-kira siapa lagi yang bakal ikut itikaf ya?" Atun bermonolog. Matanya memandang langit-langit dapur sembari berpikir.
"Memangnya kenapa Ibu nanyain yang nemenin Arsa itikaf?"
"Ibu mau kirim makanan ke sana." Atun cengengesan. "Jangan sampai kita terlewatkan kesempatan bersedekah ke orang-orang yang beribadah."
"Kita buat lupis lebih banyak. Bagi tetangga, terus antar ke masjid. Mau buat apa lagi untuk diantar ke sana?" Ami ikut bersemangat.
Asiyah senang melihat semangat mengumpulkan pahala yang ibu dan bibinya miliki. Timbul rasa syukur bahwa dia terlahir di keluarga yang masih menjalankan ajaran agama. Andai dia terlahir di keluarga kaya, tetapi miskin ilmu agama, entah betapa susahnya Asiyah menjalankan ibadah.
"Ibu dan Uwak siapkan aja, nanti aku dan Endah yang antar ke masjid. Aku kabari Arsa kalau kita mau kirim makanan ya."
Atun dan Ami mengiyakan. Asiyah pamit ke depan rumah. Pagi ini Omar pergi bersama Endah dan Iis ke taman milik Pemda untuk lari pagi. Anak itu sangat bersemangat. Asiyah ingin ikut, tetapi pagi ini datang bulan dan badannya pegal-pegal. Padahal Endah sudah dipinjamkan motor Ustad Jamal untuk dipakai berkendara ke taman selain motor milik Iis.
Asiyah duduk di kursi teras. Dia menunggu Omar dan para gadis pulang. Tak lupa dia membalas pesan Arsa. Pesannya dibalas Arsa dengan cepat.
Kirim makanan ke kebun Ustad Udin. Kami lagi panen. Ustad minta kamu ambil hasil panen buat Bu Atun.
Asiyah menganga takjub. Dia mengucapkan syukur dalam hati. Baru niat memberikan makanan saja, dia langsung dapat hasil panen. Sungguh rezeki adalah misteri yang tak diketahui kapan mau datang, bagaimana akan datang, siapa yang mengantar, dan di mana datangnya.
"Baso, Neng!"
Daniel menyengir dari balik pagar. Gerobak baso malangnya berganti motif macan tutul sesuai kabar yang beredar di antara ibu-ibu pelanggan nasi uduk ibunya.
"Boleh, Mas. Tunggu sebentar ya." Asiyah masuk ke rumah setelah Daniel mengacungkan jempol. Dia menawarkan Atun dan Ami baso Malang. Keduanya mau dan minta dibelikan tiga mangkuk untuk Omar, Endah, dan Iis. Asiyah keluar lagi. Kali ini dia membawa enam mangkuk.
"Masyaa Allah. Enam mangkuk ini?" Daniel membeliak.
Asiyah mengangguk. "Di rumah lagi banyak orang. Minta pangsit gorengnya dipisah, bisa, Mas?"
"Bisa dong. Penglaris nih." Daniel tersenyum lebar. "Semuanya komplit?"
"Komplit. Eh, sambalnya dipisah. Nggak usah pakai saos dan kecap."
"Siap."
Daniel cekatan menyiapkan pesanan. Asiyah memerhatikan gerak luwes Daniel. Baso malang Daniel adalah langganan penghuni kompleks, terutama ibu-ibu yang rutin senam di taman kompleks. Asiyah akui rasanya lezat, walau bagi penganut paham anti micin baso Daniel adalah sebuah bentuk penghianatan. Kemudian dia teringat Arsa. Bagaimana jika Arsa adalah salah satu penganut paham anti micin. Pria itu sudah bukan lagi Arsa lucu yang dikenalnya semasa kecil. Arsa bisa jadi telah mengubah jalur hidupnya menjadi lebih sehat.
"Mas, buat mangkok yang ini..." Asiyah menunjuk mangkuk hijau. "Jangan pakai micin. Garamnya nggak usah dikasih."
Daniel melongo. Asiyah tersenyum kering. "Buat anak kecil," ucapnya.
"Omar ya?" tebak Daniel.
Asiyah terkejut. Dia tidak menyebutkan siapa anak yang dimaksud dan Daniel dapat menduga siapa anak tersebut. "Kok..."
Daniel menyengir. "Saya tahu, Mbake. Biasanya Omar beli baso nggak pakai kuah. Cuma baso, tahu, dan kerupuk pangsit."
Asiyah bingung menanggapi cerita Daniel. Dia tahu ada anak-anak yang hanya membeli baso dan kuah. Tetapi baso tanpa kuah, bukankah itu agak keterlaluan?
"Pakai kuah aja buat Omar, tapi nggak ditambah micin dan garam ya," kata Asiyah. Daniel mengangguk dan melanjutkan menyiapkan pesanan.
Mobil sedan merapat di seberang rumah. Asiyah mengenali mobil itu. Orang di balik kemudi keluar duluan. Kacamata hitam bertengger di wajah si pengemudi yang menambah kesan maskulin. Asiyah langsung teringat ucapan Endah tempo hari dan wajahnya memerah.
"Mas Daffa suka sama Kak Asi." Bisikan Endah terputar di benak Asiyah.
Sejak itu, Asiyah mulai kepikiran. Apa iya seorang pria bisa jatuh cinta pada perempuan yang memiliki masa lalu sepertinya? Dia ingat ceramah pagi di televisi yang ditontonnya bersama Atun seminggu yang lalu. Sepotong ceramah dari ustad masih diingatnya baik-baik. "Perempuan itu dilihat dari masa lalunya. Makanya perempuan yang pernah salah jalan, biasanya dikenang orang kejelekannya. "Si A tuh dulu cewek doyan mabok. Ati-ati sama dia." Padahal si A sudah hijrah, tetapi orang-orang masih mengingat perbuatan salahnya. Beda sama pria. Yang dilihat orang masa depannya. "Si B dulu pernah judi, sekarang tobat. Ambil rumah nggak mau KPR karena takut kena riba, makanya dia nabung. Moga istiqomah jadi pria sholeh." Kedengerannya nggak adil, sayangnya begitu yang terjadi di masyarakat kita. Perlu ada orang-orang yang membimbing bahwa pria dan perempuan yang hijrah nggak perlu lagi dilihat boroknya. Cukup doakan kebaikan yang sedang mereka usahakan."
Berat Asiyah akui bahwa status janda masih dipandang negatif oleh orang-orang. Sampai sekarang, dia masih beradaptasi dengan statusnya.
"Asi," sapa Daffa. Dia melepaskan kacamatanya.
"Baso, Mas," Asiyah menawarkan.
"Nggak deh. Makasih. Saya baru selesai sarapan sama mama saya." Daffa menunjuk orang yang duduk di mobil.
Asiyah tidak bisa melihat sosok di dalam mobil karena kacamata mobil Daffa agak gelap. Dia hanya tersenyum sembari berharap orang di dalam dapat melihat gestur sopan-santunnya.
Pintu penumpang depan terbuka. Turun seorang perempuan di usia 70 tahun. Rambutnya yang kelabu berpotongan pendek dan bergelombang. Wajahnya masih tampak segar dan cantik dengan pulasan sedikit perona dan lipstik.
"Siapa, Daf?" perempuan itu bertanya ke Daffa.
"Ini Asiyah, Ma. Ibunya yang kemarin jadi katering acara kantor."
Perempuan itu mengangguk sekali ke Asiyah. "Terima kasih sudah bantu acara di kantor Daffa. Titip salam ke ibu kamu."
"Terima kasih kembali, Bu. Nanti saya sampaikan ke Ibu. Mau baso, Bu?" sahut Asiyah sambil menyeberang jalan. Ada rasa sungkan berbicara dengan orang yang lebih tua dalam jarak yang membentang dari satu rumah ke rumah lainnya dan dihalangi jalan yang cukup untuk dua mobil.
"Nggak usah repot-repot. Kami baru sarapan di luar. Mau mampir sebentar ke dalam? Saya bawa kue, coba yuk." Mama Daffa ramah sekali.
"Makasih, Bu. Saya masih harus nungguin baso terus ada kerjaan di rumah. Silakan Ibu dan Mas Daffa masuk." Asiyah tersenyum. Dia menyukai sikap ibunya Daffa. Jarang-jarang dia bisa bertemu perempuan tua yang ramah. Penduduk baru kompleks mereka seringnya adalah orang yang enggan bertetangga. Ketika bertemu seseorang yang ramah, rasanya sangat menyenangkan.
"Kalau gitu, saya masuk duluan ya." Ibu Daffa membelai lengan kiri Asiyah lembut sambil tersenyum, lalu masuk rumah.
"Mamanya Mas Daffa cantik banget," puji Asiyah jujur.
Daffa tersenyum. "Mama hobinya ke salon. Kalau dia dengar kamu muji begitu, bisa-bisa dia langsung reservasi buat perawatan besok."
"Nggak. Mamanya benar-benar cantik. Aku yakin pas muda pasti cantik banget." Asiyah memerhatikan wajah Daffa. "Kayak Mas Daffa."
Wajah Daffa memerah. "Maksud kamu, aku cantik?" guraunya.
"Bukan." Asiyah tertawa. "Mas Daffa ganteng kayaknya nurunin dari mamanya. Bukannya Mas Daffa cantik."
"Duh, Asi, saya kalau dipuji begitu sama kamu ngerasa sudah dapat validasi. Makasih." Daffa menggosok belakang kepalanya.
Asiyah bersemu malu karena terlambat menyadari dia baru saja blak-blakan memuji seorang pria dewasa. Seketika dia merasa 'murahan' akibat luwes mengumbar pujian ke lawan jenis. Untung saja Daniel menyerukan nama Asiyah dari seberang jalan. Dia memiliki alasan untuk kabur dari situasi canggung tersebut.
"Mas, Asi mau ambil pesanan ya. Beneran nggak mau baso?"
"Nggak usah, makasih." Daffa mengangguk singkat.
"Kalo gitu, Asi pulang ya. Salam buat mamanya Mas. Assalamu alaikum."
"Waalaikumsalam."
Asiyah menyeberang jalan setengah berlari. Dia melakukan pembayaran ke Daniel. Sesekali matanya melirik Daffa yang masih berdiri di dekat mobil. Timbul rasa penasaran mengapa pria itu tidak masuk ke mobilnya atau masuk ke rumahnya dan malah betah diam memerhatikannya dari sana.
Apa benar omongan Endah? pikirnya.
###
22/10/2024
Hai, Bestie! ✨
Aku pengen sharing dikit nih tentang cewek berhijab. Iya, berhijab itu emang wajib buat muslimah, tapi penting banget buat kita sama-sama ingat kalau hijab bukan takaran keimanan seseorang. Jadi, jangan buru-buru nge-judge atau nuntut mereka jadi bidadari di bumi, ya. Mereka sama-sama manusia, masih berproses untuk jadi versi terbaik dari diri mereka sendiri. 😊
Setiap orang punya perjalanan dan tantangannya masing-masing, dan nggak ada yang instan. Jadi aku harap kita semua bisa lebih bijak dan saling support satu sama lain, tanpa harus nge-label atau bikin standar yang bikin para hijabers merasa tertekan kayak, "Ih, udah hijaban masih aja ngegosip." Mari kita kasih ruang buat mereka bertumbuh dan berkembang, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. 💕
Saran aku, hati-hati dalam berbicara. Jangan sampe mulut kita bikin cewek-cewek yang berhijab ini jadi down dan meragukan keputusan mereka mengikuti kewajiban sebagai muslimah. Apalagi kalo sampe ada yang melepas hijabnya karena gak kuat sama cibiran orang.
Makasih banget buat kalian yang selalu support dan saling menguatkan! ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top