67

Bab 67

Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga). (QS. An Nur: 26)

Langit-langit masjid melayang megah di atas kepala. Kubahnya membuat masjid tampak gagah. Arsa tidur telentang menghadap langit-langit. Sorot matanya kosong saat tangannya merentang seakan hendak menggapai lampu kristal yang digantung dari pusat kubah. Namun jarak antara dirinya dan lampu terlalu jauh. Dia tak menggapai apapun kecuali angin dalam genggaman. Matanya meredup. Lelah terpancar di wajahnya. Tendangan di kaki menyentak kesadarannya balik.

"Siapa yang ngajarin tidur di tengah masjid? Mau diinjek lu?"

Arsa bangkit. Kakinya menyilang dan mukanya menunduk lesu. Dia bergumam tanpa gairah, "Assalamualaikum, Taad."

"Waalaikumsalam. Napa? Capek kerja? Diomelin orang? Stres ngasuh Omar? Punya utang? Kebelet kawin?"

Cecar pertanyaan Ustad Udin membuat Arsa tertawa kecil. Dia mengusap mukanya menggunakan kedua tangan. Kemudian mengangkat bokongnya untuk menyusul Ustad Udin yang berjalan menuju lemari rak yang berada di pojokan masjid yang berseberangan mimbar. Dia berdiri di belakang ustadnya sejak kecil hingga kini. Ada adab yang diajarkan orang tuanya mengenai bersikap pada guru, terutama guru agama. Ayahnya selalu mengingatkannya untuk tidak bersikap kurang ajar pada guru sebab ilmu yang Arsa peroleh bukan semata-mata hasil kerja kerasnya belajar dan uang orang tua untuk membayar guru. Dalam kecerdasan seorang murid, terdapat ridho guru. Keridhoan itu yang menyebabkan murid bisa pintar dan memanfaatkan ilmunya dalam kebaikan. Ayahnya pernah berkata, "Nggak ada gunanya belajar ilmu kalau belum belajar adab. Ada orang yang butuh empat puluh tahun belajar adab. Belajar ilmu cuma empat tahun. Kenapa bisa begitu? Karena sekalinya orang itu memahami adab, dia memiliki karakter seorang pelajar, maka ilmu akan lancar dipelajari. Jangan sampai kamu jadi orang yang berilmu tapi nggak punya adab."

Dulu Arsa heran. Dia masih muda, labil, dan memiliki keinginan nakal menentang aturan. Ustad Udin marah besar karena satu perbuatan Arsa hingga memukulnya menggunakan tongkat dari potongan bilah bambu. Arsa yang waktu itu belum genap sepuluh tahun pulang mengaji sambil menangis. Dia mengadukan perbuatan Ustad Udin ke ibunya. Arsa adalah anak yang paling disayang di rumah oleh ibunya, tetapi sore itu berbeda. Ibunya hanya memeriksa bekas pukulan si ustad tanpa berkomentar. Ketika ayahnya pulang, Arsa sangat senang karena mengira sang ayah akan membelanya. Perkiraannya salah telak. Ayahnya mengomelinya habis-habisan karena berani bersikap nakal pada Ustad Udin. Sepenggal omelan ayahnya masih diingatnya, "Kamu berani nakal sama keluarga, Ayah masih bisa maafkan. Tapi kurang ajar ke Ustad Udin? Ke guru? Ayah nggak akan pernah maafkan kamu. Nggak ada anak Ayah dan Ibu yang bersikap durhaka ke guru. Dia yang ajarkan kamu ilmu. Dari guru kamu dapat bekal hidup. Bekal pengetahuan dari guru itu nggak bisa Ayah dan Ibu berikan. Nggak selamanya Ayah dan Ibu hidup untuk dampingi kamu. Yang bisa jaga kamu cuma diri kamu dan pengetahuan kamu." Arsa menangis memohon ampunan ayahnya. Ayahnya menolak memaafkan sampai Ustad Udin memaafkannya. Dia ditarik ke masjid untuk meminta maaf. Sejak saat itu Arsa tidak berani lagi melawan Ustad Udin. Dia belajar dengan giat. Dan hasilnya? Arsa tahu dengan baik hasil dari pengajaran ala Ustad Udin.

"Lu datang mau curhat?" Ustad Udin selesai membereskan juz amma di rak dan berbalik.

Arsa tersenyum malu-malu. Dia menyalim tangan ustad. "Mumpung lagi libur, main ke masjid."

"Udah sholat tahiyatul masjid?" Ustad mendorong bahu Arsa untuk duduk bersamanya di dekat jendela masjid yang terbuka. Itu adalah spot kesukaan Ustad setiap mengajar pemuda.

"Sudah."

"Tahajud masih rajin?"
"Insyaa Allah masih."
"Rawatib? Duha? Tobat?"
"Insyaa Allah masih."
Ustad Udin memicing sembari mengamati Arsa yang duduk di hadapannya. "Kerjaan lu nggak ganggu waktu ibadah?"
"Alhamdulillah nggak, Tad." Pekerjaan Arsa adalah pekerjaan yang memberikan seratus persen kepercayaan pada karyawan untuk mengatur jam kerja mereka. Sistem flexi time yang diterapkan kantornya memang memberikan kelonggaran pada Arsa untuk beribadah.
"Semua sehat?"
"Alhamdulillah iya."
"Terus lu ngapa tiduran kayak pemain sinetron mewek di tengah situ?" Ustad menunjuk tengah masjid, tempat Arsa tidur-tiduran tadi.
"Mencari inspirasi." Arsa menyengir lebar. Dia berharap jawabannya dapat dipercaya.
"Udah dapat?"
"Belum."
"Mudah-mudahan cepet dapat." Ustad menyandarkan lengannya pada kusen jendela yang rendah, menyandarkan badannya pada dinding masjid, dan menekuk kakinya ala warteg. Dia memutar pandangannya ke taman depan masjid. Diam Ustad Udin menimbulkan kebisuan pada Arsa. Mereka merapatkan mulut masing-masing selama beberapa menit. Ustad yang pertama memecah keheningan yang menyesakan Arsa. "Kalo berat buat cerita, curhat aja ke tuhan lu. Apa aja masalahnya, Allah subhanahuwata'ala ada jawabannya. Jangan berputus asa."
Ucapan yang bernada datar itu sukses meretakan ketegaran yang coba Arsa bangun. Pria muda itu bergetar. Kedua tangannya merangkum tangan kanan Ustad Udin yang bertengger di atas paha. Keningnya jatuh ke atas tangannya.
Ustad Udin tersentak. Matanya membesar sejangka berganti tatapan prihatin. Tangan kirinya naik ke atas kepala Arsa. "Am hasibtum an tadkhululjannata wa lammaa ya'lamillaahullaziina jaahadu mingkum wa ya'lamassaabiriin. Apakah kamu mengira akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang bersungguh-sungguh dan siapa orang yang sabar," ucap Ustad Udin. (QS. Ali Imran: 142)
Ketegaran Arsa runtuh. Pemuda itu menangis di atas tangan guru agamanya, orang yang disayangnya selayaknya orang tua sendiri. Beban itu ditahannya semalam, menggerogoti akalnya, dan mengoyak hati. Kesadarannya ditarik menjauh dari akal dan amarah itu bangkit lagi setelah sekian tahun padam. Arsa takut, marah, kesal, dan kewalahan.
"Perempuan itu datang lagi?" tebak Ustad Udin. Suaranya begitu lembut hingga Arsa menemukan ketenangan. Arsa mengangguk kecil masih dengan kepala yang menunduk.
Ustad Udin menarik napas panjang. Tangan kirinya berpindah ke bahu Arsa. Ditepuknya bahu kurus itu sembari berpesan, "Kalo terlalu berat, datang ke gua. Datang ke sini. Minta tolong."
Badan Arsa bergetar hebat. Suara isakan itu tak lagi Arsa tahan. Dia memuntahkan perasaannya dengan jujur lewat tangisannya.
Sang ustad melepaskan tangannya dari genggaman Arsa, lalu memegang kedua bahu muridnya, menegakan badan Arsa, dan memeluknya. Dia berbisik penuh kasih membimbing Arsa, "Bismillahirohmannirrohim. Robbis rohlii shodrii wa yassirlii amrii wahlul 'uqdatam mil lisaani yafqohu qoulii."
Arsa mengikuti dalam suara bindeng.
"Ya Rabb, lapangkanlah dadaku dan mudahkanlah urusanku dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku supaya mereka mengerti perkataanku," lanjut Ustad Udin.
Arsa berhenti menangis dan mengatur napasnya. Dia melepaskan diri dari pelukan Ustad Udin. Wajahnya masih basah oleh air mata, namun tampak di matanya ketabahan. "Makasih, Tad," ucapnya. Dia berusaha tersenyum.
Ustad Udin mengeluarkan sapu tangan dari saku baju kokonya dan menyodorkan ke Arsa. "Masih bersih. Lap ingus lu biar muka lu balik ganteng."
Arsa tertawa kecil. Dia menerima sapu tangan kotak-kotak biru tua dan menggunakannya. Setelah perasaannya agak membaik, dia mengubah duduk menyandar pada kusen jendela tinggi masjid bersebelahan Ustad Udin. "Perempuan itu datang lagi. Nggak tahu untuk apa kali ini." Arsa menunduk. Tangannya memainkan sapu tangan pemberian Ustad. "Saya marah lagi. Kebencian itu datang lagi. Harus gimana, Tad?"
"Dia datang ke sini?"
Arsa mengangguk.
"Lu udah ketemu?"
Arsa menggeleng. "Bukan saya yang ketemu dia."
"Apa yang lu takutin? Lu punya Allah, lu punya iman, masih takut apa lagi?"
"Saya takut kembali khilaf dan ingin membunuh perempuan itu." Arsa menekuk kakinya. Wajahnya ditenggelamkan di antara kedua lututnya dan tangannya memegang betis. Air matanya telah kering, perasaannya telah membaik, tetapi masih tersisa kenangan itu.
Ustad Udin menepuk ringan bahu Arsa. "Malam ini itikaf di masjid. Gua temenin."
"Omar?" sahut Arsa masih dengan kepala disembunyikan di antara lutut.
"Titip bentar ke Bu Atun. Insyaa Allah aman. Bu Atun juga orangnya amanah." Ustad Udin melongok ke luar jendela yang terbuka. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya yang diguras oleh tanda-tanda penuaan. "Mumpung adem dan belum lohor, lu bantu gua panen singkong bentar di kebon."
Arsa memiringkan kepalanya menghadap Ustad Udin. Ada kesangsian di wajahnya yang tidak dihiraukan Ustad Udin. Gurunya itu bangkit berdiri seraya berujar, "Sayang tenaga lu nggak dipake. Mending bantu gua di kebon. Buruan."
Arsa menarik napas panjang. Dia memandang sang ustad yang berjalan keluar masjid. Barangkali dia memang membutuhkan aktivitas fisik untuk menjeda hati dan pikirannya dari segala kekalutan, pikirnya. Dia berdiri dan menyusul Ustad Udin.

###

16/10/2024

Assalamualaikum, calon penghuni surga :D
(Aku ngikutin Arsa di bab lalu hehehe... semoga kita bisa menjadi penghuni surga kelak ya. AAMIIN.)
Aku ngerasa lega bisa mencapai bab ini. Kita beneran bakal masuk ke ranah konflik. Doakan aku bisa menulis cerita ini dengan lancar ya.
Aku mau sedikit beropini soal guru. Eh setelah ngetik panjang-panjang, akhirnya aku hapus hahaha kayaknya aku keep buat di cerita aja. Dua bab aku selipin tentang bapake Arsa, kalian udah dapat gambaran gimana Arsa bisa punya akhlak yang kayak gini pas gede? Yes, bapake emang serius mendidik anak. Makanya Arsa bisa jadi 'orang' pas gede. Buat para orang tua dan calon orang tua, semoga selalu istiqomah membesarkan calon pemimpin dunia yang berakhlak baik. Semangaaat!!
Mengutip pesan bapake Arsa, "Jangan sampe kamu jadi orang berilmu tapi nggak punya adab." Contohnya koruptor. Mereka tuh pintar. Kalian pasti setuju. Gimana nggak pintar, mereka bisa bikin alur pencucian uang. Sayangnya ntu... adabnya nggak ada.
Semoga kita jadi bagian dari orang-orang yang berilmu dan beradab serta dijauhkan dari golongan orang-orang yang nggak beradab kayak mereka ya.
Makasih udah mampir. Sampai jumpa.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top