66

Bab 66

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. Ar Rum: 21)

Ruang serbaguna yang digunakan sebagai tempat acara makan bersama karyawan mulai ramai pada pukul lima. Asiyah, Iis, dan Endah memperhatikan karyawan-karyawan yang masuk. Sebagian besar berpakaian santai. Laki-laki mendominasi dalam kemeja flanel, kaos, dan celana jins longgar. Yang perempuan sebagian besar memakai dress, beberapa mengenakan blouse dan celana jins.

"Karena sering ngelihat Arsa yang rapi pakai kemeja, aku ngerasa lagi ada di universe berbeda pas lihat penampilan karyawan sini yang santai," bisik Endah.

"Hush. Setiap kantor punya budaya yang berbeda." Asiyah berbicara di dekat telinga Endah.

"Penampilan Bintang santai kok," cetus Iis.

"Ah, iya. Bintang berangkat kerja pakai kemeja kotak-kotak dan celana jins. Mirip seperti karyawan sini," sahut Asiyah.

Endah diam, tapi dia cukup lama memperhatikan Iis. Kemudian berpaling ke Asiyah. "Kita mau nunggu sampai acara selesai atau pulang duluan?"

"Duh, Kakak lupa nanya Mas Daffa. Coba Kakak WA dulu. Enaknya gimana menurut dia." Asiyah mengeluarkan ponsel dari saku gamisnya.

"Nggak usah, Kak." Endah menahan Asiyah yang akan mengetik di ponsel. "Itu Mas Daffa. Langsung aja tanya."

"Kayaknya lagi sibuk, Ndah." Asiyah melihat Daffa yang masuk sambil berbicara dengan dua orang pria.

"Nggak. Acara ini buat kumpul-kumpul, berarti sudah nggak sibuk kerja lagi. Coba Kakak senyum."

Asiyah mengikuti instruksi Endah. Dia tersenyum walau keheranan. "Kenapa kamu nyuruh Kakak senyum?"

"Nah, lihat ke Mas Daffa." Endah memutar bahu Asiyah. Ketika Daffa menoleh ke arah mereka, pria itu segera berpisah dari dua rekannya dan berjalan menuju mereka. Endah berbisik, "Aku udah firasat, Kak."

"Firasat apa?" bisik balik Asiyah.

"Mas Daffa suka sama Kak Asi."

Badan Asiyah menegang. Dia memandang Daffa yang berjalan ke arahnya. Senyum pria itu terbit saat pandangan mereka bertemu. Seketika Asiyah tidak lagi dapat melihat Daffa sekedar tetangga di depan rumah. Dia menemukan dirinya melihat Daffa dalam versi berbeda.

-o-

Hendra mengalungkan lengannya pada bahu Daffa. "Jadi dia orangnya?"

"Apaan sih lo?" Daffa menyentak bahunya kasar, tetapi tak cukup kuat untuk melepaskan dirinya dari rangkulan Hendra.

"Gue tahu alasan di balik lo tiba-tiba ganti katering."

"Karena rasa masakan katering ini enak."

Hendra menggeleng. "Selain rasa masakannya, gue tahu ada alasan lain."

"Apaan?" Daffa menyahut malas-malasan. Dia tengah sibuk mengawasi para OB yang merapikan ruang serbaguna, peralatan bekas makan, dan peralatan milik Atun. Dia memutuskan mengizinkan Asiyah dan teman-temannya pulang duluan karena tak tega membuat mereka menunggu acara kantornya usai. Mengingat acara kantornya sering kali selesai di pukul sembilan, Daffa tidak ingin membuat mereka kelelahan dan bosan menunggu. Dia menawarkan diri mengantar pulang peralatan yang dibawa Asiyah. Awalnya Asiyah menolak. Atas keteguhan Daffa, dia berhasil memenangkan perdebatan dan membuat para perempuan berhijab itu pulang.

"Lo naksir sama cewek yang namanya Asiyah, kan?"

Ucapan Hendra bagai petir yang menyambar puncak kepala Daffa. Dia menoleh dengan sepasang mata membelalak ngeri. "Jangan bikin gosip."

"Gue nggak bikin gosip. Gue bisa lihat perhatian lo ke cewek itu. Lumayan cantik, tapi gue nggak nyangka lo bakal suka cewek berjilbab."

Daffa menyikut pinggang Hendra. "Mending lo urus lemburan mereka daripada ngurusin gue." Daffa mengendikan kepalanya pada para OB, karyawan yang tersisa di ruangan tersebut. Karyawan lain sudah pamit pulang.

"Siap, Pak Daffa." Hendra memberikan tanda hormat lewat tangan di kening.

Daffa melengos. Dia tidak siap untuk menanggapi Hendra. Dipikirnya, perasaan yang timbul terhadap Asiyah masih sebatas ketertarikan terhadap orang asing. Jika Hendra bisa menangkap gelagatnya, bukan tak mungkin orang lain pun ada yang melihatnya memendam rasa ke Asiyah. Bagaimana jika benar dia telah jatuh ke dalam cinta terhadap lawan jenis? Sejak kapan perasaan itu hadir?

Ah, Daffa ingin sekali menyiram kepalanya menggunakan air dingin. Dia telah lama mengubur kata cinta dan ketika dia tersadar telah kembali menyentuh cinta, Daffa kewalahan.

"Gue suka sama Asiyah. Kayaknya baik. Senyumnya adem dan pembawaannya manis." Hendra kembali mengoceh di sebelah Daffa. "Sesekali ajak gue ngobrol lamaan sama dia biar gue nilai dia lebih teliti. Gue mau lo dapat pasangan yang terbaik."

"Gue dan Asiyah sebatas tetangga," elak Daffa.

"Ngomong lo sama bocah lima tahun," Hendra berdecak.

Daffa jadi kepikiran ucapan Hendra. Mungkinkah bocah lima tahun pun menyadari perasaannya kepada Asiyah?

-o-

"Arsa." Asiyah muncul dari belakang mobil.

Arsa memutar badannya. Letihnya seketika menguap begitu menemukan Asiyah tengah tersenyum. Dia melupakan niatannya mengeluarkan tas dari bangku belakang. "Assalamualaikum, calon bidadari surga," sapa Arsa.

"Masya Allah." Asiyah tergelak. Dia menutup mulutnya menggunakan saat tertawa.

Arsa menyukai kebiasaan Asiyah yang menyembunyikan tawanya di balik tangan seakan kecantikan itu dijaganya dari pandangan pria hidung belang. Bagi Arsa, perempuan yang membatasi gerak-geriknya lebih menarik dari mereka yang mengekspos diri, misalnya para perempuan yang tertawa keras. Bukannya Arsa anti pada perempuan yang mengekspresikan perasaan mereka. Tidak ada yang salah dari mengekspresikan suasana hati. Namun perempuan yang bisa secara bijak mengendalikan diri untuk tidak terlalu berlebihan menunjukkan perasaannya akan lebih sedap dipandang.

"Waalaikumsalam," balas Asiyah. "Kamu tumben banget bermulut manis gitu."

"Aku nggak bermulut manis. Aku mendoakan Kak Asinya Omar supaya jadi salah satu bidadari surga." Arsa membuka pintu di belakang pengemudi, lalu menarik tas punggungnya beserta tas eco bag berisi berkas.

Asiyah bersandar pada mobil Arsa dengan kedua tangan di belakang badan. "Emangnya aku bisa jadi bidadari surga?"

"Kamu bisa mengalahkan bidadari surga." Arsa mencangklong sebelah tali tasnya pada bahu kanan. "Pernah dengar motivasi "Jadi muslimah yang taat ibadah supaya bidadari cemburu"?"

"Kayaknya pernah, tapi udah lama banget."

"Ungkapan ini maksudnya perempuan dunia yang masuk surga akan memiliki paras lebih cantik dan lebih menarik dari bidadari surga. Jadi, nggak menutup kemungkinan kamu bisa lebih menarik dari bidadari surga. Wallahu alam." Arsa mengamati wajah Asiyah yang disinari lampu dari carport. Getaran itu masih ada, hadir sembunyi-sembunyi dalam relung hatinya kala mengamati perempuan itu. Keinginan membelai wajah Asiyah datang. Kemudian dia tersadar. Cintanya mulai dihasut nafsu. Pandangannya turun ke lantai. Dia beristigfar dalam hati. Kebersamaan mereka membuatnya terbawa suasana. "Ada perlu apa datang malam-malam?" tanyanya.

"Nanyanya ketus banget." Asiyah berdiri tegak. Wajahnya berubah masam.

Andai Arsa lupa diri, dia ingin maju dan membingkai pipi Asiyah menggunakan kedua tangannya supaya kerutan jengkel di wajah jelitanya lenyap. Beruntungnya, dia teringat keberadaan Tuhan dan sepasang malaikat di sisinya. Saat ini bukan haknya menyentuh Asiyah.

"Maaf kalau terdengar ketus. Aku kayaknya capek. Makanya nggak bisa mengatur suaraku lebih baik." Arsa menarik napas dan mengatur wajahnya lebih lembut. "Kak Asinya Omar butuh apa sampai datang malam-malam ke sini? Adakah yang bisa saya bantu?"

"Iiiih." Asiyah bergidik.

Arsa tertawa. "Tadi ngeluh karena aku terdengar ketus. Sekarang dibaik-baiki, malah begitu. Cewek itu memang penuh misteri, ya?"

"Cewek itu harus dipahami. Dan biasanya cowok salah memahami cewek," cibir Asiyah.

"Ada kalanya cewek yang nggak bisa memahami cowok." Arsa menyindir secara halus.

Asiyah mengernyitkan hidungnya serupa kebiasaan Omar. Telunjuk Arsa gatal ingin mencolek kerutan pada hidung Asiyah.

"Aku bisa debat sama kamu sampai besok pagi dan lupa niatanku ke sini." Asiyah merogoh saku celananya, lantas menyodorkan secarik kertas.

Arsa menerima kertas itu. Matanya membelalak membaca tulisan di situ.

Tak tahu-menahu, Asiyah bercerita, "Tadi siang ada cewek datang ke sini. Namanya Vee. Dia bilang dia kenal kamu, tapi kehilangan nomor ponsel kamu. Awalnya dia minta nomor kamu. Karena belum minta izin kamu, aku ragu mau ngasih. Terus dia ngasih nomor dia. Katanya, kamu akan hubungi dia kalau nerima ini. Aku-"

"Asiyah," potong Arsa. Napasnya menderu. Perasaannya mendadak memburuk. Dia membutuhkan waktu untuk memikirkan situasinya sehingga kalimat itu meluncur, "Terima kasih. Kamu bisa pulang sekarang."

Asiyah tertegun sesaat. Perempuan itu memandang Arsa seakan dia tengah berhadapan orang asing. Mendapati sikap diam Arsa, dia pergi dari sana dalam langkah ragu.

Arsa terlalu pusing untuk menangkap kebingungan Asiyah. Tatapannya tajam menyorot kertas di tangannya yang bergetar. Rahangnya mengeras. Dan ingatan itu kembali. Sakit hati yang coba dikuburnya datang lagi. Tangannya mengepal, meremas kertas itu sembari berharap kertas itu adalah halusinasi. Sungguh disayangkan, saat tangannya kembali dibuka dan kertas itu masih di sana beserta nama yang coba dia lenyapkan dari hidupnya, Arsa tahu dia akan kembali menghadapi mimpi buruk itu.

###

13/10/2024

Assalamu alaikum...

Aku mau cerita dikit ya. Jadi tuuuh, pas bikin bab ini aku terpaksa revisi karena aku salah pake hadist dhaif. Ada satu hadist dari Ummu Salamah (Dia ini salah satu istri Rasulullah dan jago masak makanan kesukaan Rasulullah). Inti hadistnya Ummu Salamah nanya ke Rasul milih bidadari surga atau wanita dunia. Di situ Rasul milih wanita dunia karena wanita dunia beribadah. Aku ngetik ini sebelum cross check hadist tersebut. Pas nemu beberapa ulama menilai hadist ini dhaif, aku langsung lemes. Buat yang belum ngerti, hadist dhaif itu hukumnya lemah. Statusnya di bawah hadist shahih dan hadist hasan. Walau ada yang beranggapan hadist dhaif masih boleh digunakan selama tidak berkaitan halal-haram, sifat Allah, dan akidah ... aku lebih milih buat menghindari penggunaannya karena aku yang masih belajar dan karakter Arsa sebenarnya tipe yang lempeng. Ada gak yang merhatiin kalo Arsa ini sebenarnya tipe yang lempeng dalam artian dia ini berkarakter tegas, bukannya keras ya? Dia bisa bersikap baik dan ramah, tapi secara sifat dia ini tegas soal agama (dia cuma gak tegas menyatakan perasaannya ke Asi) dan menurutku yang kayak Arsa bukan tipe yang mau pakai hadist dhaif.

Salahku yang pake Gugel sebagai panduan nyari hadist. Aku benar-benar menyarankan kalian punya buku hadist atau belajar hadist dari ceramah Ustad dan Ustadzah supaya ilmunya benar. Pengalamanku ini semoga bisa jadi pelajaran buat kalian. 

Btw, Pillow Talk berikutnya segera terbit ... Arsa mau cerita tentang perjuangan seseorang yang namanya kayak nama Arsa. Sebenarnya nama Arsa diambil dari nama orang ini. Nanti mampir dan baca ya...

Makasih udah mampir. Semoga terhibur dan memberikan manfaat.
Jangan lupa bersyukur ya

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top