65

Bab 65

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. An Nisa: 1)

Siang itu adalah puncak kepadatan rutinitas di rumah Asiyah. Atun selesai menata bakwan udang ke wadah plastik bening berbentuk persegi panjang. Dia menumpuk wadah itu di atas wadah serupa menjadi tiga susun. Senyum puas terpulas di bibirnya.

"Alhamdulillah," gumamnya penuh syukur.

"Tempat makan ini sudah bisa dinaikan ke mobil?" Endah muncul di dapur.

"Sudah, Ndah. Bawa saja." Atun menyingkir supaya Endah memiliki ruang untuk membawa wadah makanan yang bertumpuk. "Kalau berat, biar Bibi bantu bawa."

"Nggak usah, Bi. Segini aja Endah kuat."

Mereka keluar bersama-sama dari dapur. Teras ramai oleh Asiyah, Mia, Iis, Hanifah, dan Jaja. Siang itu Arsa meminjamkan mobil merahnya serta mengizinkan Jaja membantu mobilitas katering. Semula Atun keberatan. Dia tidak mau menyusahkan Arsa. Namun Arsa berhasil membujuk Atun. Maka di sinilah semua orang bergotong-royong memasukan makanan ke dalam mobil city car tersebut.

"Masih muat masukin ini, Kak?" tanya Endah.

Asiyah memerhatikan tiga kotak makan besar yang dipegang Endah, lalu menoleh ke dalam mobil yang penuh. Mereka tidak bisa menumpuk lebih banyak lagi jika nanti malah menghalangi Jaja melihat spion tengah.

"Nanti Kakak yang pangku di mobil aja." Asiyah berpaling ke Jaja. "Sudah bisa jalan, Pak?"

"Bisa, Kak Asi." Jaja biasa mengikuti bagaimana cara memanggil Omar ke Asiyah. Dia menghabiskan air teh yang disediakan Mia, berterima kasih ke para perempuan tua, lalu masuk ke mobil.

"Kak Asi masuk dulu. Biar aku yang pegangin." Endah menolak Asiyah yang ingin mengambil alih kotak yang dibawanya.

"Eh motorku." Iis berlari ke motornya yang diparkir melintang menghalangi mobil keluar dari pelataran.

Asiyah tertawa melihat tingkah Iis yang panik. Sesuai rencana, hanya dia, Iis, dan Endah yang berangkat ke kantor Daffa sebagai perwakilan Atun. Iis dan Endah akan berangkat naik motor. Sementara Asiyah bersama Jaja di mobil. Para perempuan tua akan tinggal di rumah. Asiyah pamit pada ibunya, Ami, dan Hanifah. Dia menyusul Iis yang tengah mengeluarkan motornya untuk membuka gerbang rumahnya lebar-lebar.

Pandangan Asiyah jatuh ke sosok asing di depan rumah Arsa. Dia melirik Iis yang masih sibuk memarkir motornya di pinggir jalan, lalu berlari ke dalam untuk berpamitan. Asiyah mendekati orang di depan rumah Arsa.

"Ada yang bisa dibantu, Mbak?" tanya Asiyah.

Perempuan itu terkejut. "Ah, iya, Mbak. Apa ini rumah Arsa?"

"Iya. Ini rumah Arsa. Tapi orangnya sedang nggak ada di rumah. Mbak ada perlu apa?" Asiyah mengenali beberapa kerabat Arsa seperti sepupu dari pihak ibu dan ayah Arsa. Namun dia benar-benar tidak mengenal perempuan yang satu ini. Apakah seorang teman? pikirnya.

"Nggak. Saya bisa ke sini lagi lain kali."

"Kalau ada keperluan mendesak, coba telepon saja dulu. Arsa jarang di rumah kalau di jam-jam begini."

Perempuan itu mengangguk kecil.

Asiyah memperhatikan kegelisahan di wajah si perempuan. "Mau saya sampaikan kalau Mbak ke sini?"

"Nggak. Nggak. Nggak usah. Saya nanti hubungi Arsa, tapi saya kehilangan nomornya."

"Maaf, Mbak ini siapanya Arsa ya?"

"Saya Vee. Arsa kenal saya. Kami kenal beberapa tahun lalu. Sudah lama kami nggak ketemu. Ada urusan yang mau saya tanyakan ke dia. Kira-kira Mbak punya nomor Arsa?"

"Oh, ada."

"Boleh saya minta? Saya butuh untuk buat janji sama dia."

Asiyah agak meragu. Dia tidak berani memberikan nomor ponsel orang lain tanpa seizin si pemilik. Di sisi lain, dia merasa perempuan ini dapat dipercaya dari cara berbicaranya yang penuh percaya diri. "Boleh saya tanya ke Arsa dulu?" tanya Asiyah.

"Nggak usah. Saya harus pulang. Saya yang titip nomor saya. Tolong berikan ke Arsa begitu dia pulang, dia pasti akan langsung menghubungi saya." Perempuan itu tersenyum saat menyerahkan selembar kertas yang mencantumkan nama dan sederet angka.

Asiyah menerima kertas itu. Dia membaca sekilas, lalu memasukannya ke dalam tas selempangnya. "Mbak Vee nggak mau istirahat sebentar di rumah saya?" Asiyah menunjuk ke arah rumahnya.

Vee menggeleng. "Saya ada urusan lain. Terima kasih ... ehm, siapa nama Mbak?"

"Saya Asiyah."

"Oke. Makasih, Mbak Asiyah." Vee melambai singkat, naik ke motornya, lalu pergi.

Asiyah memandangi kepergian Vee sembari bertanya-tanya apa hubungan Arsa dan perempuan itu. Bagaimanapun Vee adalah perempuan yang sangat cantik dan tampak seumuran Arsa.

"Siapa itu, Kak?" Tahu-tahu Endah sudah berdiri di sebelah Asiyah.

"Mbak Vee. Dia datang pas Arsa nggak ada."

Endah memicing ke sosok Vee yang mengecil di ujung jalan dan menghilang di tikungan. Asiyah melambai di depan muka Endah. "Kamu kenapa ngelihatinnya begitu?" tanya Asiyah keheranan.

"Nggak. Cuma kayak kenal."

"Tapi Kakak nggak kenal."

"Mungkin aku salah mengenali orang. Yuk berangkat, Kak. Pak Jaja sudah siap ngeluarin mobil."

-o-

Kantor Daffa berada di gedung pencakar langit. Letaknya ada di lantai 19. Asiyah langsung disambut Daffa di lobi, suatu sikap yang tidak dia sangka-sangka. Rombongan Asiyah yang membawa banyak makanan mendapat bantuan dari karyawan di situ selain Daffa sehingga pekerjaan mengangkut barang-barang selesai dengan cepat. Ruangan yang digunakan adalah ruang meeting yang luas. Kursi-kursi sudah ditata rapi oleh pihak kantor begitu pula meja untuk menyajikan makanan.

Asiyah, Endah, dan Iis segera menata makanan yang mereka bawa supaya tampak cantik, sementara Jaja membantu menyiapkan es buah ke wadah mangkok besar berbahan keramik. Daffa menghampiri para perempuan setelah memberi beberapa instruksi ke karyawan yang sudah membantu mereka membawa barang.

"Saya belum kenalan sama Mbak. Siapa namanya?" Daffa berbicara ke Iis.

"Saya Iis, Mas."

"Yang mengajar ngaji Omar?" tebak Daffa.

"Iya. Omar pernah cerita, ya?"

"Pernah. Dia senang ngaji sama Iis. Katanya, masakan Iis enak."

"Duh, anak itu ingatnya masakan aku aja." Iis menggeleng sekaligus tertawa kecil.

"Kue-kue ini buatan Iis dan mamanya, Mas. Enak banget makanya Ibu sengaja pesan ke mereka." Asiyah menunjuk kue potong cantik aneka rupa yang ada di meja bagian yang manis-manis.

"Pasti. Saya sudah coba pas Bu Atun bawakan tempo hari. Sudah nggak sabar nyoba semua makanan ini. Endah apa kabar?"

"Sehat, Mas. Kabar gimana, Mas? Masih sehat mental dan fisik?" kelakar Endah. Dia sudah beberapa kali bertemu Daffa sejak menginap di rumah Atun.

"Alhamdulillah sehat. Kalau Endah dan Iis di sini, gimana ngaji anak-anaknya?"

"Sore ini diliburkan. Masa kabar gembira ini belum Omar kabarkan ke penjuru tetangga?" Endah mengangkat kedua alisnya jenaka.

"Saya belum ketemu dia kemarin. Kangen banget sama anak itu." Daffa beralih ke Asiyah. "Kamu sudah jemput Omar?"

"Hari ini Omar ada field trip. Arsa yang temani," jawab Asiyah.

Daffa membelalak. "Karena acara ini, kamu nggak menemani Omar?"

"Nggak juga. Arsa juga yang menyarankan saya ke acara ini. Kayaknya dia emang mau menemani Omar."

"Arsa perhatian banget sama Omar. Saya salut sama dia, masih muda, tapi sudah terlihat dewasa dan bisa diandalkan."

"Mas Daffa bisa diandalkan kalau situasinya kayak Arsa. Asal ada tanggungan, biasanya cowok dewasa bakal bisa diandalkan mengurus apa yang jadi tanggungannya. Lain cerita kalau cowok kekanakan," sahut Iis serius.

Daffa salah tingkah. Dia menggosok tengkuknya. "Kalau Iis yang sudah ngomong, saya jadi malu nih."

"Justru karena Iis yang udah ngomong, Mas Daffa harus pede ambil tanggung jawab. Eh, Mas udah punya tanggungan. Si Momo tuh." Endah mengepalkan tangannya ke udara. "Semangat, Mas."

Daffa tertawa kecil. Dia melirik Asiyah sekilas.

Asiyah yang sibuk mengatur makanan tak menyadari ada seorang pria dewasa yang mendoakan namanya diam-diam dalam hati.

###

22/09/2024

Assalamualaikum...
Hola!
Aku kemarin tuh apus ketik bab ini. Kayak ada beban tuk memulai konflik. Aku masih nyaman bermain di fase perkenalan tokoh, tapi cerita ini harus punya masalah supaya para tokohnya belajar 'kembali jatuh cinta' sesuai judul.
Sahabat-sahabat bebek yang baik, makasih udah mampir ya. Walo gak ada Omar dan Om Acha hehehe... kita ketemu mereka di pillow talk pas field trip soalnya peristiwa di field ga terlalu penting di alur cerita tapi sayang kalo gak dibagikan ke pembaca. Semoga kita selalu jadi orang-orang yang bersyukur. Sampai jumpa lagi *mmuach

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top