64

Bab 64

Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran. (QS. Al Baqarah: 221)

Sebuah gelas diletakan di atas meja bundar. Bintang melirik gelas itu. Isinya jus kemasan dingin. Seketika Bintang teringat teh manis hangat yang sering disajikan dalam teko tembaga usang di saung masjid. Baru kemarin Bintang minum teh itu bersama Ustad Udin dan teman-temannya yang juga bapak-bapak. Teh beraroma melati yang pekat sebenarnya bukanlah selera Bintang yang biasa menyesap kopi dari kedai kopi terkenal, tetapi sore itu terasa beda. Bintang menikmati tehnya karena dia berada di lingkungan yang nyaman. Para orang tua yang asik membicarakan kebun Ustad Udin dan bagaimana mereka akan merapikan taman depan masjid. Obrolan santai yang terasa nyaman.

"Kamu lagi sibuk apa sih, Beb?"

Pandangan Bintang naik pada sosok jelita berkaos pendek dan celana hotpants. Grace masih cantik seperti biasa sekalipun tanpa riasan. Bintang yakin seratus persen Grace sudah terlahir cantik sehingga bedak dan perona wajah hanyalah tambahan. Tak seperti perempuan lain yang membutuhkan bedak dan segala alat rias untuk membuat mereka sedap dilihat. Hanya saja siang ini berbeda. Bintang tak merasa terpukau oleh penampilan Grace. Ada hal yang menggelantung di benaknya.

"Aku sibuk kerja. Kayak biasanya." Bintang mengambil gelas yang disajikan Grace dan menyesap isinya.

"Kiran bilang kamu sering pulang cepat."

Bintang lupa. Grace dan Kiran saling kenal. Sejujurnya Grace pula yang membantu Bintang dan Arsa tahu ada lowongan di perusahaan dan mengenalkan mereka pada Kiran. Bukan hal baru jika Kiran biasa membagikan rutinitasnya pada Grace diam-diam. Dan dia tidak bermasalah soal itu. Baginya, tindakan Grace menanyakan kabarnya lewat Kiran adalah bentuk cinta dan perhatian. Dia juga bukan tipe pria yang mengusung privasi ketat dari pacar selama di tempat kerja.

"Aku pulang cepat karena ada kerjaan di luar." Bintang enggan memberi tahu yang sebenarnya.

Tangan Grace terjulur menggenggam tangan Bintang yang menganggur di pangkuan. "Beb, kamu lagi banyak pikiran?"

Ingin sekali Bintang menjawab "Nggak." Sayangnya situasinya berkebalikan. Dia nyaris melupakan momok hidupnya saat menginap di rumah Arsa. Kini dia menghadapi realita.

"Aku mau pulang," kata Bintang lesu.

"Mama kamu minta kamu pulang?"

Bintang menggeleng. Ibunya tak lagi memintanya pulang. Tidak juga meneleponnya duluan atau menanyakan kabarnya lewat pesan singkat. Semua sikap dingin itu diterapkan ibunya setelah Bintang mengungkap rencana pernikahannya dengan Grace. Orang lain, jika di posisinya, mungkin akan memanfaatkan sikap ibunya untuk mengambil langkah berani mempersunting Grace. Bintang tak sanggup. Dia tahu dan merasakan perjuangan ibunya selama ini. Ada kesungkanan bersikap membangkang lebih lanjut.

"Aku mau mengunjungi Mama. Sudah lama aku nggak lihat kondisi Mama," jawab Bintang jujur.

"Mau aku temani?"

Bintang dapat melihat ketulusan dari mata Grace. Dia beruntung memiliki kekasih yang setia di sisinya dan setia seperti Grace. Andai mereka tidak dipisahkan urusan keyakinan, Bintang yakin mereka dapat melenggang menjadi sepasang suami istri dengan lebih mudah.

"Nggak usah. Aku mau main PS bareng Awan mumpung dia lagi di Jakarta."

"Kuliah Awan sudah kelar?"

"Lagi cuti."

"Titip salam buat Awan."

Bintang mengangguk. Dia sedikit ragu Awan masih menerima salam Grace sebaik dulu.

"Soal..." Grace menarik tangannya.

Bintang mengembalikan gelas ke meja. Dia memiringkan duduk untuk menghadap Grace sepenuhnya. Firasatnya cukup tajam dengan perubahan sikap Grace. Perempuan pasti memiliki sesuatu yang ingin dibicarakan.

"Mami nanya soal kita," kata Grace. Suaranya mengecil dan sedikit bergetar.

"Mami kamu..." Bintang tak sanggup melanjutkan omongannya. Dia tahu dengan baik apa yang diinginkan ibu Grace. Bukan sekali dua kali Bintang ditanya soal keseriusannya menikahi Grace. Bukan sekali dua kali pula Grace mengeluhkan ibunya yang mencecar tentang pernikahan mereka. "Maaf ya." Lagi, permohonan itu yang keluar dari mulut Bintang.

"Beb, aku paham. Aku beneran paham. Aku nggak ngomong begini ke kamu karena ingin nekan kamu. Aku tahu situasi kamu. Aku tahu kamu mau serius. Aku cuma mau curhat. Sama kamu." Grace segera menarik kedua tangan Bintang.

"Makasih." Bintang kembali mengumpulkan semangatnya. Dia tidak berjuang untuk ketiadaan. Dia bekerja keras dalam hubungan ini demi perempuan sebaik Grace, perempuan yang dia yakini akan menjadi pasangan sempurna baginya.

"Aku akan coba ngomong ke Mama. Semoga kali ini dia akan ngerti sama kita," lanjut Bintang.

"Mama kamu pasti bakal ngerti. Semua agama itu mengajarkan kebaikan. Agama aku dan agama kamu sama-sama mengajarkan kebaikan. Sama-sama mengingatkan manusia jadi orang baik dan menjauhi keburukan. Pelan-pelan mama kamu pasti bisa ngerti dan nerima perbedaan kita. Ini cuma soal nama agama yang kamu anut dan yang aku anut, pada akhirnya kita tetap belajar cinta kepada sesama dan kebaikan. Papi yang bilang begitu ke aku."

Bintang mengangguk. Dia juga meyakini yang sama. Semua agama itu sama, sama-sama mengajarkan kebaikan.

-o-

"Kalau semua agama itu sama, kenapa Grace berat memeluk Islam? Toh, sama-sama mengajarkan kebaikan seperti katanya?"

Bintang menunduk. Dia tidak kuat melihat murka yang menyelimuti ibunya.

"Kamu kenapa bodoh sekali? Hasutan itu sudah ada dari jaman dahulu. Orang-orang jahil sebut semua agama sama ke mereka yang memeluk Islam. Itu bentuk hasutan untuk ingkar. Kamu pikir agama lain ada yang sholat lima waktu, puasa satu bulan, bayar zakat, pergi haji, zikir, dan menutup aurat? Yang begitu adanya di Islam. Dan kamu masih bisa terima agama kita disamakan dengan agama lain? Toleransi macam ini yang salah. Islam menoleransi agama orang lain dan bagaimana mereka beribadah, tapi kita nggak boleh menoleransi mereka yang coba menyamakan agama kita dengan mereka," Aida melanjutkan.

"Ma, Grace nggak bermaksud menghasut aku. Dia cuma bilang semua agama sama-sama mengajarkan kebaikan. Bukannya menyamakan agama kita dan agama dia," Bintang membela Grace. Dia tak tega mendengar kekasihnya dijelekan ibunya.

"Awalnya memang begitu. Kita dibuat percaya bahwa ucapan itu sederhana. Hanya penilaian secara general. Ketika ucapan itu menancap lama di kepala kamu, saat kamu lengah, masuk lagi konsep baru. "Islam harusnya lebih mengikuti perkembangan zaman. Jangan kaku." Terus apa yang terjadi ke anak muda bodoh seperti kamu? Kamu percaya. Kamu termakan ide untuk 'memodernisasi' Islam versi mereka." Aida menunjuk-nunjuk muka Bintang dengan geram.

"Maa. Mama mikir kejauhan," tegur Bintang.

"Mama memang diminta sama agama Mama untuk mikir jauh karena itu tugas kita hidup, berpikir jauh bagaimana kita bisa jadi hamba Allah subhanahuwata'ala yang shaleh atau sebaliknya. Agama ini menyuruh pengikutnya buat mikir. Dan kamu nggak pakai otak kamu buat mikir. Cinta saja yang kamu utamakan."

"Ma!" Bintang tersulut emosi dan spontan berdiri. Tak sampai sedetik, dia menyesal. Dia belum pernah meninggikan suaranya kepada ibunya.

Cara Aida menatap Bintang berubah. Dia sempat terkejut, lalu berubah dingin. "Kamu begini demi seorang perempuan yang kamu kenal beberapa tahun. Kamu begini karena nafsu. Kamu begini karena cinta yang kamu percaya itu." Aida berdiri. Badannya tidak sampai setinggi dagu Bintang. Dia mendongak dengan dada membusung bagaikan seorang pejuang. "Kalau itu yang kamu inginkan, sampai maut pun Mama nggak akan merestui kalian menikah. Kamu tahu dengan baik apa alasannya."

Aida pergi dari situ dalam langkah tegap. Bahu Bintang turun memandangi ibunya. Dia merasa begitu bersalah.

"Mas." Awan berdiri di ambang pintu.

Bintang mendesah. "Gue benar-benar kakak yang memalukan, kan?"

Awan maju ke ruang keluarga, ruangan yang telah menjadi saksi pertengkaran Bintang dan Aida. "Awan mau nemenin Mama, tapi Awan nggak bisa ninggalin Mas sendiri."

"Temani Mama aja. Gue duduk sebentar, terus pulang. Pasti berat buat Mama lihat muka gue setelah ini." Kaki Bintang bergetar. Dia tahu dia akan berlari ke kamar ibunya jika terus berdiri. Rasa bersalahnya terlalu besar, tetapi masih kalah dari kekhawatirannya untuk memastikan ibunya baik-baik saja. Di sisi lain, dia ingin memberikan Aida ruang untuk sendiri.

"Mama senang banget pas Awan kasih tahu Mas mau datang. Mama buatkan rendang untuk Mas bawa pulang ke apartemen." Awan menepuk pahanya. Pemuda itu meragu untuk melanjutkan.

Bintang mendongak. "Dan gue sukses mengacaukan suasana hati Mama," akunya.

Awan tersenyum hambar. "Mama sayang Mas. Mama selalu sayang sama Mas. Tapi Mama nggak bisa diminta memilih antara tuhannya atau Mas."

Bintang menunduk. "Temani Mama," perintahnya.

Awan menepuk bahu Bintang sekali, lalu hengkang dari situ.

Beban Bintang makin berat. Dia seperti berputar-putar dalam maze. Dimana jalan keluar masalahnya?

-o-

Bintang enggan pulang ke apartemen. Dia juga belum siap ke rumah Arsa di saat mukanya masih murung. Omar sangat sensitif dan Bintang tidak ingin menunjukkan kegalauannya pada anak itu. Maka tempat inilah yang terpikir olehnya.

Gila, nilainya.

Dia memandang masjid itu lama. Sebelumnya, Bintang bukanlah barisan pemuda yang rajin ke masjid. Berangkat sholat Jumat di masjid pun karena kebiasaan. Tahu-tahu dia melarikan diri ke tempat ibadah. Dia mulai menduga masjid telah menjadi tempat hangout di alam bawah sadarnya.

Masjid masih sepi. Bintang berjalan memutar ke arah saung. Niat hati bersantai di situ, dia malah bertemu Jamal.

"Sini, makan pisang goreng, Bin." Berkebalikan wajah sangarnya, Jamal menyambutnya dengan lapang.

Bintang naik ke saung. Dia duduk agak jauh. Jamuan di tengah saung beragam. Gorengan, lontong, buah, dan teko tembaga beserta gelas belimbing. Sungguh khas tempat perjamuan bapak-bapak.

"Makan, Bin. Masih banyak, masih hangat." Jamal mendorong piring gorengan ke dekat Bintang.

"Ustad sendirian?" Bintang tak berselera. Dia bertanya untuk mengalihkan perhatian.

"Ustad Udin lagi jualan singkong. Nanti ke sini. Kamu ada ngaji sama Ustad Udin?"

Bintang menggeleng. "Hanya mampir."

"Bagus itu kalau anak muda mampirnya ke masjid. Misi Ustad Udin jadi tercapai." Jamal mencomot sepotong gorengan dan melahapnya.

Bintang mengangguk tanpa gairah. Isi kepalanya masih mengelana. Dan pertanyaan itu terlontar tanpa dipikir ulang. "Apa semua agama itu sama?"

"Mana ada, Bin." Jamal tertawa. Suaranya yang besar menggelegar. Herannya, Bintang tidak merasa jawaban Jamal mencemooh pertanyaan Bintang.

"Muslim nggak mungkin bilang semua agama sama. Allah subhanahuwata'ala sudah bilang hanya Islam agama di sisi Allah (1). Selain Islam, Allah nggak terima (2). Kalau semua agama sama, buat apa kita memeluk Islam? Toh, ada agama lain yang ibadahnya lebih santai dari kita. Kita beragama Islam sebab kita mengimani Allah sebagai tuhan kita yang esa. Tapi..." Jamal mengetuk telunjuknya ke lantai saung yang dialas tikar pandan. "Cukup kita yang meyakininya. Kita nggak perlu membuat orang-orang selain muslim ikut mempercayai apa yang kita yakini, sama kayak kita nggak perlu tersinggung sama keyakinan orang lain. Karena itu di Islam, kita dibimbing bagaimana berinteraksi dengan agama lain. Di Al Kafirun ayat 6, bagiku agamaku, bagimu agamamu. Di Al An'am ayat 108, Allah melarang keras umat muslim mengolok-olok agama lain. Bahkan di Al Hajj ayat 40, kita dilarang merusak tempat ibadah agama lain sekalipun dalam keadaan bermusuhan. Kalau ada yang ngomong semua agama sama, sikap kita harus proporsional. Perhatikan konteks dari pernyataan ini. Kalau konteksnya untuk mendamaikan komunitas multiagama, kita bisa mengiyakan. Kalau konteksnya untuk menjerumuskan, kita boleh bersikap tegas dalam menolak."

Bintang tertegun.

###

18/09/2024

Coba tanya ke pembaca di sini, Bin. Mereka tahu banget solusi masalah kamu. Ye, kan?

(1) QS. Ali Imran: 3
(2) QS. Ali Imran: 85

Assalamu alaikum, teman-teman kece Miss Bek. Semoga sehat selalu ya. Aamiin.
Menurut kalian, sikap Mama Aida yang menentang cinta Bintang dan Grace tu gimana?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top