59

Bab 59
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
(QS. Al Hujurat: 13)

"Arsa!"

Kiran berjalan tergesa-gesa. Arsa menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Kiran yang kesusahan menyusulnya dalam sepatu bertumit tinggi.

"Kenapa?" tanya Arsa.

"Gue nebeng lo, ya?"

"Mobil lo?"

"Gue tinggal di apartemen. Tadi pagi gue berangkat pakai taksi. Lo lewat Permata Hijau?"

"Lo mau pulang ke rumah bokap lo?"

"Iya."

Arsa menimbang sejenak. Melewati Permata Hijau pada jam pulang kerja sama dengan tiba ke rumah melewati waktu sholat Isya. Namun ada Bintang yang bisa menemani Omar sholat jamaah.

"Oke. Ayo."

Kiran tersenyum. Dia berjalan beriringan dengan Arsa menuju mobil SUV Arsa yang diparkir di belakang gedung.

-o-

"Katanya, hari Rabu lo datang setengah hari. Kenapa?"

Kiran tidak repot-repot berbasa-basi untuk mencari tahu. Arsa mensyukuri sikap blak-blakan Kiran sekalipun sikap tersebut membuatnya sedikit kesulitan menarik garis privasi. Bertahun-tahun mengenal Kiran, Arsa memaklumi sikap Kiran. Perempuan itu terbuka karena menganggap Arsa sebagai orang dalam 'circle'. Kiran tidak mudah bergaul dan cukup pemilih, itulah yang Arsa dapati setelah mengamati pergaulan Kiran di kantor. Tak banyak rekan kerja yang akrab dengannya, bukan karena dia memisahkan diri, melainkan sikapnya yang berhati-hati pada orang-orang yang baru dikenal. Hal itu pula yang membuat Kiran begitu bergantung pada orang-orang terdekatnya.

"Gue mau nemenin Omar field trip," jawab Arsa singkat. Dia memandang kepadatan jalan dan mulai bertanya-tanya di mana dia akan menunaikan sholat Maghrib.

"Bukannya Omar sudah punya orang yang jagain?"

Nada suara Kiran berubah di telinga Arsa. Ada nada tidak suka yang berusaha ditahan. Arsa menoleh untuk memastikan dan Kiran buru-buru berpaling. "Orang yang bantu menjaga Omar ada keperluan di hari itu. Lagian gue senang nemenin Omar."

"Gimana bisa ada mbak yang memprioritaskan urusannya dibanding pekerjaannya jaga Omar?" Pertanyaan Kiran mulai menuntut.

Arsa menoleh ke kiri dan kanan. Dia mencari gedung yang sekiranya dapat dijadikan tempat ibadah, mau itu masjid atau musholah gedung. Pertanyaan Kiran tidak memengaruhi emosinya. Dia mengenal tempramen Kiran cukup baik dan menyikapinya dengan santai. "Orang yang bantu menjaga Omar bukan mbak atau suster. Dia tetangga gue. Kebetulan dia suka anak kecil dan akrab sama Omar."

"Yah, gimanapun dia seharusnya mengatur waktunya. Field trip Omar nggak mungkin baru dikasih tahu. Dia seharusnya menjadwalkan kegiatan itu dan bersiap."

"Gue yang nggak ngasih tahu dia sejak jauh-jauh hari."

"Kenapa?"

Arsa menyengir saat menoleh sekilas. "Karena gue yang awalnya mau mendampingi Omar. Kebetulan dia ada urusan, yah gue lanjutkan rencana gue ikut field trip."

Kiran tidak bersuara lagi. Arsa menganggap Kiran telah memahami situasinya. Mobilnya berbelok memasuki perumahan di kawasan Permata Hijau. Bukan sekali dua kali Arsa mengantarkan Kiran ke rumah ayahnya. Dia mengenal jalan perumahan ini dengan baik tanpa memerlukan arahan Kiran lagi.

"Gue boleh numpang sholat Maghrib sebentar di rumah lo?" tanya Arsa.

"Hm, boleh." Kiran mengangguk singkat.

Tinggal dua blok lagi dan mereka akan tiba di tujuan. Kiran kembali berbicara, "Di depan bokap, tolong jangan bilang soal tawaran Om Ronny."

"Tawaran yang mana?"

"Tawaran bikin taman rumah nyokap."

"Oh yang itu." Arsa mengangguk. "Sudah gue tolak. Jadi, nggak ada yang perlu gue singgung di depan bokap lo."

"Lo tolak? Kenapa?" Air muka Kiran berubah.

"Karena gue belum punya kapasitas menerima tawaran itu."

"Tapi Mami suka banget sama ide-ide lo pas ngedekor vila di Bandung."

Arsa menggeleng lagi bertepatan dia memutar kemudi ke kiri. "Gue appreciate. Tapi gue nggak bisa nambah project lagi. Gue ada rencana cuti panjang. Jadwal gue packed banget."

"Cuti panjang? Kok gue baru tahu?" Kiran memiringkan badannya. Alisnya mengernyit dengan wajah menuntut.

"Karena rencana cuti panjang ini agak dadakan. Gue mau liburan bareng Omar. Kayaknya dua minggu. Kalau mepet sama project berikutnya, gue terpaksa kerja dari jauh." Arsa menjawab tanpa menoleh. Dia disibukan oleh jalan yang menyempit akibat mobil-mobil yang parkir di kedua sisi bahu jalan.

"Lama banget liburannya. Mau ke mana?"

"Hunting aurora."

"Eropa?"

"Ya." Arsa tersenyum menahan geli.

Kiran turut tersenyum tanpa disadari Arsa.

Mobil Arsa berhenti di depan sebuah rumah berpagar kayu setinggi dua meter. Sekuriti yang melihat kedatangan mobil itu lewat jendela pos segera membukakan pintu gerbang. Arsa melajukan mobilnya masuk. Tak lupa dia menurunkan kaca jendela untuk menyapa sekuriti yang dia kenal. Sekuriti itu mengangkat tangan ke kening sebagai jawaban salam Arsa.

Kiran keluar duluan dari mobil. Arsa menyusul di belakang. Mereka disambut seorang pria di akhir usia enam puluhan.

"Ada apa nih Arsa main ke sini?" tanya pria itu. Namanya Ryan, ayah Kiran. Tangannya yang besar sesuai badannya yang tinggi tegap menjabat tangan Arsa dengan mantap.

"Saya numpang sholat di sini. Boleh, Om?"

"Boleh dong. Sekalian makan malam, gimana?"

"Jangan merepotkan, Om. Saya hanya numpang sholat, lalu pulang." Arsa bukan berbasa-basi. Dia bersungguh dengan niatannya untuk pulang setelah sholat. Statusnya sebagai pemuda lajang tak menjadikannya ingin bebas bermain seusai kerja. Ada seseorang yang ingin dia temui di rumah, ingin dia pastikan kondisinya, ingin dia lihat wajahnya, ingin dia dengar suaranya, dan ingin dia hidu aromanya. Terdengar konyol barangkali, tetapi Arsa merindukan Omar dan dia selalu ingin bertemu Omar setiap jam kerja berakhir.

"Nggak makan dulu. Makanlah. Jangan sampai kamu lapar di jalan. Om masak ayam bakar dan lain-lain karena Kiran mau tidur di sini. Apa kamu menginap di sini juga? Om bisa minta mbak menyiapkan kamar buat kamu."

"Saya berterima kasih untuk tawarannya, tapi saya harus pulang. Om tahu sendiri alasan saya harus pulang." Arsa tersenyum kalem.

Ryan mengangguk. "Sayang banget nih kalau Om melepas kamu pulang. Sudah jarang main, sekalinya main hanya mampir. Sesekali ajak keponakan kamu ke sini. Siapa namanya?"

"Omar, Om."

"Berapa usianya?"

"Lima tahun."

"Masih kecil ya. Pantas kamu nggak sabar mau pulang. Om paham banget perasaan kamu. Ya sudah, sholat di kamar tamu." Ryan menoleh ke belakang. "Mbak, tolong siapkan sajadah di kamar tamu. Arsa mau sholat nih."

Seorang perempuan muda keluar dari salah satu ruangan. Di tangannya ada sajadah. "Mau saya antar ke kamar tamunya, Mas?" tanya perempuan itu santun.

Kiran merebut sajadah dari si perempuan. "Nggak usah. Saya aja yang antar. Kamu balik aja ke belakang," sela Kiran.

Arsa tidak suka melihat sikap Kiran yang agak kasar. Sementara dia hanya bisa memberikan ekspresi memohon maaf pada si perempuan. Tampaknya perempuan itu memaklumi dan pergi dari situ dengan tenang.

"Ayo, Ar. Aku kasih unjuk kamarnya." Kiran memimpin jalan.

Arsa mengangguk pada Ryan, lantas mengikuti Kiran menuju salah satu kamar yang tersedia di lantai satu dari bangunan dua setengah lantai rumah Ryan.

-o-

Malam itu, selepas Arsa pulang, Ryan dan Kiran duduk berdampingan pada kursi rotan yang ada di teras belakang menghadap kolam renang. Ryan melirik Kiran dari samping, memastikan putrinya baik-baik saja.

"Kamu masih suka sama Arsa?" tanya Ryan. Dia susah payah mengutarakan pertanyaan ini.

"Kenapa Papi nanya begitu?" Kiran memberikan tatapan waspada.

Ryan tahu inilah yang sering menjadikan hambatan dalam komunikasi mereka, yakni sikap waspada Kiran yang berlebihan. "Papi hanya ingin memastikan. Benar kamu masih suka sama Arsa?" tutur Ryan lembut sebagai upaya melunakan hati Kiran.

"Memangnya salah kalau aku masih suka sama dia?" Kiran bersikap defensif.

"Sudah bertahun-tahun, Kiran. Papi yakin Arsa tahu perasaan kamu dan dia masih menjaga jarak. Kenapa ngga-"

"Nggak, Pi. Please stop. Aku ngantuk." Kiran mengangkat bokongnya dari situ.

Ryan memandangi kepergian Kiran ke dalam rumah. Kesedihan menyelimuti tatapannya. Dia menyayangi putrinya dan mengharapkan kebahagiaan baginya, tetapi berat baginya melihat cinta sepihak sang anak.

-o-

"Om Acha!"

Inilah suasana yang ingin Arsa rengkuh. Melihat rona merah di wajah Omar yang gembira saat menyambut kepulangannya seakan mengusir segala letih dan duka. Dia tidak pernah menyangka semudah ini merasa spesial.

"Kamu sholat Maghrib bareng Om Bintang?" tanya Arsa. Dia menekuk lututnya menyesuaikan tinggi Omar. Kedua tangannya memegang pinggang Omar. Ada jarak yang ingin dia pangkas bersama Omar.

"Aku sholat Maghrib sampe sholat Isya di masjid. Nggak pulang habis ngaji," cerita Omar.

"Capek nggak?"

"Nggak. Kan tadi jajan mie ayam Pakde sambil nunggu Maghrib. Om Binbin lapar tuh." Omar mengerling ke arah Bintang yang tengah duduk di sofa.

"Om Binbin yang lapar apa Omar yang lapar?" ledek balik Bintang.

Omar terkikik. "Kan Om Binbin belum makan. Aku temenin Om Binbin aja makan mie ayam."

"Baik banget." Arsa menjawil puncak hidung Omar saking gemasnya.

"Terus baju aku kena kuah. Om Binbin sih nggak ngasih tahu aku hati-hati makannya kayak Kak Asi."

Bintang tercengang. Arsa menahan tawanya saat bertanya, "Bajunya kotor? Kamu sholat pakai baju yang kena kuah?"

"Nggak. I told Kak Iis. Then Kak Iis called Kak Asi. Kak Asi brought my new clothes." Omar mendekati telinga Arsa dan berbisik agak keras, "Kayaknya Kak Iis nggak suka sama Om Binbin."

Arsa membelalak. Dia tahu telinga Bintang menjangkau bisikan Omar. Tatapan penuh tanyanya mengarah pada Bintang yang dibalas Bintang lewat desahan.

###

16/12/2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top