58

Bab 58
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.
(QS. Ali Imran: 185)

Bintang memperhatikan penampilannya sekali lagi pada cermin berbingkai kayu yang ada di dinding. Dia menyukai keberadaan cermin itu di dekat pintu masuk yang memungkinkan orang untuk memeriksa penampilan sebelum keluar serta memberikan kesan luas pada ruangan. Arsa menerapkan ilmunya untuk mengatur rumah ini, pikirnya.

Puas dengan penampilannya yang sudah mengganti kemeja dan jeans dengan koko lengan pendek dan celana chinos hitam. Penampilannya berubah. Dari yang santai menjadi siap masuk ke rumah Tuhan. Bukannya dia berpakaian berbeda karena ingin tampak keren. Semalam dia mendapat ceramah Arsa mengenai baiknya seorang muslim datang ke tempat ibadah mengenakan pakaian bersih, sudah mandi, dan wangi. Bintang bisa saja mengiyakan, toh Arsa tidak akan bisa memeriksa dia menjalankan ceramah tersebut atau tidak. Namun sepenggal ayat yang Arsa tuturkan semalam membuatnya berubah pikiran.

"Allah berfirman di Al Quran supaya kita memakai pakaian yang bagus setiap ke masjid. Lebih baik lagi kalau lo mandi dulu. Badan lo harus bersih. Nanti ngajinya jadi lancar," kata Arsa.

"Lo nggak bohong soal pakaian bagus dan mandi?" Waktu itu Bintang sangsi, mengingat yang dia tahu tentang agamanya adalah anjuran untuk hidup sederhana, walau banyak pemuka agama yang memamerkan hidup bergelimang kemewahan.

"Ada di surah Al Quran. Gue lupa nama surahnya dan ayat keberapa."

"Lo ngadi-ngadi, kan? Kalau lo tahu, lo nggak mungkin lupa."

"Gue bisa saja lupa. Lo tanya Ustad Udin kalau masih nggak percaya."

"Nggak pakai taruhan nih?"

"Jangan mengajak taruhan deh." Arsa mendengkus.

Bintang tertawa karena berhasil menggoda Arsa.

Dan sore ini dia akan memastikan ucapan Arsa semalam. Apa benar ada surah yang menyuruh muslim untuk berpakaian bagus.

Dia keluar dari rumah, mengunci pintu dan gerbang dengan rapat. Kemudian menghela napas akibat timbul keengganan mampir ke rumah Asiyah. Sebelum dia sempat berpikir lebih jauh, sosok Omar di seberang jalan menarik semangatnya kembali. Dia menyeberang jalan.

"Lagi apa?" tanya Bintang. Dia membungkukan badan menyamai tinggi kepala Omar.

Omar menoleh ke sebelah kanan. Kedua tangannya masih memegangi gerbang rumah tersebut. Dengan wajah sedih, anak lima tahun itu menjawab, "Momo kasihan, Om. Tuh. Liat tuh. Dia mau keluar tapi nggak bisa. Sedih dia tuh." Omar menunjuk jendela yang menghadap carport, tempat seekor kucing memandang mereka dari dalam rumah.

"Kucingnya nggak minta tolong. Mungkin Momo nyuruh kamu cepat ke masjid. Ngaji."

"Nggak. Momo sedih di rumah sendirian. Om Daffa mana sih? Momo mau main nih." Omar menengok ke jalanan seolah ucapannya akan mendatangkan seseorang.

"Momo main sama Omar?" tebak Bintang. Dia mulai paham jalan pikiran Omar.

"Iya. Momo itu best friend aku. Dia suka aku pat pat. Kayak gini." Omar menepuk-nepuk kepala Bintang yang serendah tinggi badannya.

Bintang tidak kesal. Dia tidak merasa tindakan Omar sebagai bentuk ketidaksopanan. Dia telah melihat anak itu tumbuh dan menyayangi Omar dengan tulus. Tindakan Omar ini mungkin dinilai jelek oleh orang lain yang tidak suka melihat anak kecil menyentuh apalagi menepuk kepala orang dewasa, tetapi Bintang telah belajar. Dia belajar dari memperhatikan Arsa. Temannya telah memberinya contoh bagaimana menjadi orang dewasa di depan anak kecil sekaligus menjadi teman mereka.

"Dia suka banget sama aku. Momo nggak suka sama Om Daffa. Momo scratch Om Daffa tangan. Momo nakal, tapi baik," celoteh Omar. "Nanti aku bilang Om Daffa jangan kunci pintu. Kasihan Momo sendirian."

"Kalau Om Daffa nggak kunci rumahnya, gimana kalau ada orang yang masuk rumahnya terus ambil barang-barang Om Daffa?"

"Itu maling. Kayak rumahnya Paklik. Maling ambil handphone, ambil duit."

"Nah, biar rumahnya nggak dimasuki maling pas Om Daffa pergi, rumahnya harus diapain?"

"Dikunci," jawab Omar bersemangat.

Bintang bangga pada dirinya sendiri. Dia berhasil memberikan pandangan pada Omar tanpa menasihati. Sungguh Bintang merasa tak percuma menirukan cara Arsa mendidik Omar. Dia menegakan badannya bersamaan khayalan hadir di benak. Dia membayangkan akan membesarkan anaknya sebaik Arsa membesarkan Omar. Dengan pola yang sama, dia akan mengajarkan istrinya.

Istri...

Kata itu menggetarkan hatinya. Letup bahagia dalam jiwanya menarik sudut bibirnya membentuk senyuman. Ketika pandangannya naik, dia bersitatap Iis.

Sial, umpat Bintang dalam hati.

Khayalan bahagianya seketika lenyap.

Alih-alih bayangan Grace yang tersenyum, dia malah melihat bibir ditekuk dan mata waspada Iis.

"Omar, ayo ke masjid!" seru Iis dari seberang jalan.

Sial lagi, umpat Bintang lagi.

-o-

Ada masa di mana kita bisa mengaktifkan indra keenam secara naluriah. Salah satunya adalah saat ini. Bintang bisa merasakan tatapan tajam Iis menempel pada punggungnya. Sementara tatapan perempuan di sebelah Iis lebih kalem, meskipun dipenuhi penasaran.

Bintang menarik napas dan mendesah pendek. Dia benar-benar terjebak konspirasi. Semestinya dia tidak mengajak Omar berangkat ke masjid bersama-sama kalau berakhir harus berjalan bersama perempuan yang selalu memberinya tatapan tidak suka. Tatapan yang membuatnya bertanya-tanya apa kesalahan yang sudah dia perbuat.

"Om Bintang ngajinya sama Ustad Udin aja?" Omar memecahkan kesunyian yang nyaris membunuh Bintang. Padahal mereka baru jalan beberapa meter.

"Iya. Kalau Omar ngaji sama siapa?" Bintang berbasa-basi. Dia sudah tahu jawabannya.

"Sama Kak Iis. Kak Endah ikut juga. Mau bantuin Kak Iis ngaji. Habisnya Kak Hilda nggak bantu Kak Iis. Kan lama ngajinya kalo nggak ada Kak Hilda." Omar, seperti yang diharapkan Bintang, mulai mengoceh.

"Ngajinya bisa cepat kalau semua anak mendengarkan Kak Iis," Iis masuk dalam obrolan.

Bintang menoleh. Dia menunggu momen ini. "Susah ya ngajar ngaji anak-anak?" tanyanya sambil tersenyum. Dia ingin mencairkan kecanggungan di antara mereka.

Iis membuang muka. "Ya," jawabnya tanpa gairah.

Senyum Bintang seketika kaku. Dia tidak tahu bagaimana mengatasi perempuan yang satu ini. Walau agak kesal, Bintang masih terus mencoba. "Sejak kapan ngajar ngaji anak-anak?"

"Udah lama," jawab Iis dengan muka menengok ke samping.

Sumpah, jika dia tidak ingat jilbab lebar yang dikenakan Iis, ingin sekali Bintang merangkum wajah Iis dan memaksanya menatap muka Bintang saat berbicara. Dia yakin dia nggak jelek. Skor wajahnya sering dinilai oke buat diajak kondangan menurut teman-teman perempuannya, lantas apa masalah Iis dengan wajahnya? Apa karena dia bukan selera Iis? Atau dia menyukai wajah Arab? Yah, maaf. Bintang memiliki hidung mancung, tapi bukan hidung ala orang Arab.

Endah bertemu pandang dengan Bintang. Perempuan itu tersenyum tipis. Seakan memahami situasi canggung yang disebabkan Iis, perempuan itu berbicara, "Iis udah ngajar ngaji sejak SMA. Dari awal memang ngajar anak kecil. Kalo Mas ngaji sama Ustad Udin sejak kapan?"

"Saya baru mulai ngaji sejak kemarin. Ini yang kedua."

"Masya Allah. Semoga ngajinya lancar ya, Mas. Eh kita belum kenalan ya? Nama saya Endah."

"Bintang." Bintang mengulurkan tangan.

Endah tersenyum. Sinar matanya memberikan kesan usil. Dia menangkup kedua tangannya di depan dada. "Saya Endah. Maaf nggak salaman. Takut jodoh saya lewat terus cemburu sama Mas Bintang."

Bintang menarik tangannya. Dia tertawa kecil. Endah memiliki kesan supel dan itu menenangkan. Bintang tidak perlu khawatir bakal membatu di sepanjang jalan. "Nggak apa-apa, Mbak Endah. Saya yang nanti nggak enak kalau jodoh Mbak cemburu sama saya."

"Mas Bintang temannya Arsa?" Endah mengganti topik.

"Iya. Kami kerja bareng. Sebelumnya kuliah bareng."

"Satu angkatan sama Arsa?"

"Iya, seangkatan. Kami juga seumuran."

"Loh seumuran. Kalau gitu nggak usah panggil Mbak. Saya dan Iis seumuran Arsa. Dulu kami satu sekolah bareng pas SMP. Arsa dan Iis satu sekolah SMA."

"Kalau gitu nggak usah panggil saya Mas Bintang juga."

"Siap. Panggil Bintang aja nih?"

"Panggil Om Binbin," sela Omar. Anak itu sudah tidak tahan ingin mengoceh.

"Emangnya Om Acha dipanggil Acha sama Kak Endah dan Kak Iis?" sahut Endah.

Omar posesif menggenggam tangan kanan Bintang. Padahal sejak tadi dia berjalan tanpa dituntun. "Kalo Om Binbin panggilnya Binbin aja."

"Nggak ah. Om Binbin buat Omar aja. Kak Endah manggilnya Bintang aja. Kan sama kayak Kak Endah manggil Arsa. Nggak songong."

"Aku manggil Om Binbin."

"Aku manggil Bintang."

Bintang geli sekaligus pusing mendengar pertengkaran Omar dan Endah yang bagaikan pertengkaran dua anak kecil. Kebetulan sekali dia mengangkat pandangannya. Kurang dari sedetik dia melihat Iis tersenyum menontoni Endah yang meledek Omar, lalu senyuman itu luntur saat dia sadar sedang diperhatikan.

Cantikan kalo senyum, nilai Bintang.

###

22/11/2023
Selain jalan cerita yang santuy tapi ditaburi pengingat soal agama, satu tokoh menjadi magnet aku buat ngorek dalamnya ilmu dia. Yang nebak Arsa, kamu betul.
Arsa adalah black hole yang aku ketik. Dia kayak hidup dengan kemampuan narik aku ke lubang yang misterius and its quite difficult to control him. Kalian mungkin mikir elah miss ntu cuma karakter bikinan lo. Giniin aja. Gituin aja. Kelar. Well, it's easy to be said. Masalahnya adalah Arsa itu kayak karakter yang berdiri di dua dunia. Dia yang menjalani kehidupan pemuda zaman now, sekaligus pemuda yang kenal Tuhan. Singkatnya gini, kalo aku gak ati-ati menggambarkan Arsa, dia bisa tampil sebagai pria super duper perfect. Arsa yang baik, sabar, smart, kaya, ganteng, dan rajin ibadah. Itu nggak boleh! Arsa tetap manusia. Dia bukan malaikat. Dia harus salah, terluka, kecewa, dan cemburu. Dari situ dia belajar, aku belajar, dan orang-orang yang membaca cerita ini belajar bahwa setiap orang punya emosi yang kadang mengantar pada kesalahan. Dan kesalahan adalah proses belajar, bukannya kegagalan hidup lantas bikin orang yang berbuat salah jadi tercela.
Eh, ini kok kayak gue spill plot ya? Hahaha...
Di akhir curhatan ini, aku ucapkan makasih ke pembaca yang selalu mendampingi aku. We're gonna blast to chapter 60. Wow... Dan kisah ini baru mau masuk konflik. Betapa panjangnya proses pemanasan yang udah kita lalui.
Have you ever noticed I love writing looooong story?

Makasih sekali lagi. I love you.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top