57

Bab 57

Wahai orang-orang yang beriman!Janganlah harta bendamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allâh.Dan barangsiapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi.
(QS. Al Munafiqun: 9)

"Kabur terus."

Bintang berhenti berjalan dan memutar badannya pada sumber suara. Dia menemukan Mira muncul dari ruang pantri. Bibirnya berkedut melihat tampang Mira yang jutek. Untuk beberapa alasan dia bisa mengetahui sebab kejutekan Mira. Dia menebak alasan wajah ditekuk Mira sore ini adalah kekonyolan Ronny. Kebijakan baru yang ingin diterapkan Ronny berdampak besar pada beberapa departemen, termasuk di dalamnya departemen Mira.

"Yang mau lembur, semangat banget. Udah hitung-hitungan duit lembur nih," goda Bintang. Dia sengaja meledek Mira. Bukan topik baru bahwa banyak karyawan menolak kebijakan yang coba diterapkan Ronny.

"Hahaha." Mira tertawa dingin. "Gue bisa siap-siap liburan ke Amsterdam," sahutnya sarkas.

"Kalo lo butuh siraman rohani atau penyejuk jiwa, rekan kerja gue masih berkutat di ruangan. Dia selalu membuka sesi konsultasi buat mereka yang nggak kuat menjalani pekerjaan ini tapi masih takut kehilangan pendapatan." Bintang mengendikan kepalanya ke ujung lorong, ke arah ruang kerjanya bersama Arsa berada. Arsa biasa menjadi tempat curhat karyawan senior dan petinggi perusahaan karena sikapnya yang tenang dan responsnya yang bijak. Seperti tadi pagi, CEO mereka, Wahid, sengaja mendatangi Arsa bersama tiga gelas kopi dari kedai terkenal sebagai alibi. Bintang yang sadar diri menerima kopi itu lantas kabur ke meja Mira bersama laptopnya. Dia memberikan waktu berduaan kepada Wahid yang bagian bawah matanya bertambah hitam sejak Ronny menurunkan mandat.

"Lo pikir gue tega menambah beban pikiran Arsa?" Mira mendesah keras. "Setelah Pak Wahid curhat, Pak Matthew dan Kang Amin datang bergantian ke Arsa. Anak itu dengar curhatan tiga orang tua. Nggak gila mentalnya, capek jiwanya."

Bintang membelalak. "Gue nggak lihat Arsa ngobrol sama Pak Matt dan Kang Am." Dia menyebut panggilan akrab direktur HR dan manager keuangan.

"Pak Matthew ngajak Arsa makan siang bareng. Buat apa lagi kalau bukan dijadikan tempat curhat. Kang Amin papasan Arsa di musholah bawah sehabis makan siang, langsung ditarik ngobrol di smoking area LG."

"Harusnya gue ngasih Arsa saran buat pasang harga. Sehari bisa dapat berapa juta dari pasang kuping buat top management," gurau Bintang.

"Nggak ada akhlak lo," sentak Mira. "Bukannya bantu Arsa jadi pendengar yang baik, lo malah kelayapan jam segini. Kabur ke mana lagi? Grace lagi?"

"Eits, gue nggak kabur ke Grace. Gue mau mempertebal keimanan gue."

"Naik gunung?"

"Ngaji."

Mira menganga dengan kedua bola yang membesar dipenuhi binar ketidakpercayaan. "Lo ... lo apa?"

"Ngaji." Bintang mengulang ucapannya dengan bangga. Kapan lagi dia bisa memamerkan aktivitas berbau keagamaan yang dijalaninya pada Mira.

"Lo kesambet apaan?" Mira meneliti Bintang dari atas ke bawah.

"Gue mau ngaji. Udah gitu doang. Bukannya kesambet."

"Lo ngaji supaya Grace ikutan ngaji? Apa lo ngaji karena kalah ama Bu Hajah? Apa lo ngaji karena lo ketemu cewek lain? Apa lo ngaji karena mimpi masuk neraka? apa lo ngaji-"

"Hei!" potong Bintang. Dia jengah mendengar ocehan Mira yang semuanya ngaco.

"Gue ngaji karena gue mau ngaji." Bintang tidak berdusta. Dia mengaji kemarin tanpa punya alasan. Hanya ingin datang, seolah ada tekad yang tumbuh di saat tidak ada bibit yang dia tanam. Hari ini pun keinginan itu masih ada. "Nggak ada alasan lain," tambahnya.

Mira bertepuk tangan sambil menggeleng takjub. "Gue tahu lo bakal mendapatkan karma untuk perbuatan biadab yang lo lakukan selama ini, tapi gue beneran nggak nyangka semesta masih sayang sama lo. Lo masih dikasih kesempatan buat tobat. Good move, Bro. Sekali ini gue bangga ke lo. Sana kabur."

"Kesannya gue buruk banget. Harus gue didefinisikan biadab?" Bintang mengangkat kedua alisnya. Dia mengenal kemampuan verbal Mira yang setajam silet. Karena itulah dia menanggapinya dengan santai.

"Gue nggak harus mendaftar perbuatan berdosa lo. Sana ngaji." Mira memukul bahu Bintang menggunakan berkas yang dia pegang. "Gue balik ke medan perang. Bye."

"See you!" seru Bintang.

Mira melambaikan tangannya tanpa berbalik badan. Bintang menggeleng kecil. Sungguh dia tak habis pikir pada teman sekantor yang satu ini. Dan dia lebih tak habis pikir bagaimana kata 'biadab' disandingkan pada dirinya.

"Gue cuma minum dikit dan bobo bareng pacar. Segitu mah nggak biadab," gumam Bintang sebelum berbalik.

-o-

Bintang merasa peruntungannya agak jelek saat tiba di rumah Asiyah sore itu dan mendapat dirinya disambut orang yang paling ingin dia hindari. Perempuan ketus yang memandangnya dengan tatapan tajam seakan Bintang sebiadab yang dinilai Mira.

"Permisi, Mbak." Bintang memberanikan diri berbicara duluan. Dia tidak mungkin bengong di depan pintu rumah orang lain, sekalipun yang membukakan pintu itu berwajah masam. "Ada Kak Asi?"

"Ada," jawab perempuan itu datar. Kemudian matanya melirik ke kaki Bintang sembari berkata, "Tunggu di sini." Perempuan itu mundur, menutup pintu, dan meninggalkan Bintang sendirian.

Bintang tertegun. Dia belum pernah menerima perlakuan seperti ini. Datang ke rumah orang dan disuruh menunggu di teras sementara pintu rumah orang itu ditutup. Bukankah itu pertanda dia tidak diterima di rumah ini?

Ingin sekali dia menyalahkan Arsa yang menyuruhnya meminta kunci rumah ke Asiyah. Andai Arsa memiliki kunci cadangan, dia tidak perlu repot-repot datang ke rumah ini dan bertemu perempuan itu. Bintang terhenyak. Dia meralat kekesalannya pada Arsa. Sejak awal seharusnya perempuan itu tidak ada di sini. Bukan dia yang salah. Bukan pula Arsa. Melainkan perempuan bernama Iis itu yang tiba-tiba muncul di rumah Asiyah.

Daun pintu terbuka. Bintang menyiapkan mental kalau-kalau Iis yang kembali. Ternyata Asiyah. Seketika senyuman Bintang merekah. Dia lega.

"Minta kunci, kan?" Suara ceria dan ramah Asiyah merilekskan bahu Bintang.

Memang cewek mestinya kayak gini, nilai Bintang dalam hati. Dia mengangguk. "Kuncinya nggak dibuang Omar, kan?" canda Bintang.

"Nggak." Asiyah tertawa kecil. Dia merentangkan tangan.

Bintang menerima kunci dengan gantungan lima anjing. Kunci rumah itu nyaris tidak terlihat karena banyaknya gantungan yang ukurannya lebih besar. Bintang mengulum tawa geli melihat betapa meriahnya kunci rumah Arsa. Sangat khas anak TK, alih-alih milik seorang perjaka lajang.

(Ini gantungan Paw Patrol, guys.)

"Sudah makan, Bin?" tanya Asiyah.

"Sudah, Kak."

"Ngemil dikit, ya? Ibu lagi bikin keripik tempe dan peyek. Apa kamu mau banana cake?"

"Nggak usah, Kak. Jangan repot-repot."

"Nggak repot kok. Sebentar ya." Asiyah melirik kursi yang ada di teras. "Duduk di situ aja. Jangan berdiri aja. Nanti capek."

"Kak, saya nggak usah-"

"Iih, makan sedikit sebelum ngaji. Nggak boleh nolak. Kalau perut kosong, nanti ngajinya nggak fokus. Harus diisi makanan sebelum ngaji."

"Kak..." Bintang tidak bisa berkata-kata lagi sebab Asiyah telah berlari masuk ke rumah. Dia memandangi Asiyah sesaat, lalu melirik ke daun pintu yang terbuka lebar. Pikirannya melayang pada pertanyaan bagaimana daun pintu itu bisa terkesan berbeda terhadapnya bergantung pada siapa yang membuka pintu tersebut.

"Om Binbin!" Omar berlari menyongsongnya dari dalam.

"Omar lagi apa?" tanya Bintang penasaran. Dia menemukan pipi Omar yang kotor. Tangannya sigap membersihkan tepung yang menempel di wajah Omar.

"I help Nyaik cooking peyek. Ada peyek kacang, ada peyek teri, ada peyek udang. Terus ada Oma Ami sama Kak Endah. Om mau ikut bikin peyek?" Omar berceloteh dengan semangat.

"Nggak. Om mau mandi di rumah Omar terus ke masjid. Omar ngaji, nggak?"

"Aku ngaji dong."

"Mau bareng Om?"

"Oke."

Saat Bintang mengajukan tawaran itu, dia tidak pernah menyangka bakal merasakan konspirasi semesta yang sering disentil Arsa tadi pagi. Jika dia tahu lebih awal, Bintang akan menarik kembali ajakannya berangkat ke masjid bersama Omar. Sungguh.

###
17/11/2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top