56
Bab 56
Dan buatkanlah untuk mereka (manusia) perumpamaan kehidupan dunia ini, ibarat air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, sehingga menyuburkan tumbuh-tumbuhan di bumi, kemudian (tumbuh-tumbuhan) itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan Allâh Mahakuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Rabb-mu serta lebih baik untuk menjadi harapan.
(QS. Al Kahfi: 45-46)
♥
"Kak, ini sudah semua?"
Asiyah berhenti memeriksa bumbu dapur di rak dan bergegas berbalik. Ada perempuan muda di dapur rumahnya. Adik sepupunya yang bernama Endah. Senyum Asiyah melebar mengingat sigapnya Endah dan Ami, ibu sekaligus kakak ipar Atun, datang ke rumahnya tadi pagi.
"Tambah ketumbar dan kembang lawang. Kamu masih ingat jalan ke pasarnya, Ndah?"
Endah menuliskan permintaan Asiyah pada kertas yang dipegangnya. "Masih, Kak. Oya, Hilda masih tinggal di sini?"
"Masih. Kamu mau ketemuan sama Hilda?"
"Mau dong. Kangen banget sama dia. Terus Iis sudah balik tinggal di sini atau masih di rumah saudaranya?"
"Sudah di sini." Asiyah mengambil stoples kripik bawang dari salah satu rak dapur untuk dibawa keluar.
Endah mengikuti Asiyah sambil bertanya, "Aku sudah lama nggak chat Hilda. Kalau Iis masih sempat komen status WhatsApp dia pas acara makan-makan anak pengajian. Hilda baik-baik aja, Kak?"
Asiyah berhenti. Ingatannya terlempar pada kejadian tempo hari di depan rumah Arsa saat Munaroh memarahinya dan menarik pulang Hilda. Setelah itu, Asiyah tidak lagi tahu kabar Hilda. Dia juga tidak pernah bertemu Hilda di masjid.
"Kakak nggak tahu. Coba kamu tanya Iis. Nanti sore ikut Kakak aja ke masjid. Iis biasa ngajar ngaji anak-anak pas sore," Asiyah menawarkan.
"Oke deh." Ada nada kecewa dalam suara Endah yang coba disembunyikan.
Asiyah tidak berdaya. Dia tidak ingin menimbulkan masalah lagi. Dia belajar satu hal sejak itu. Kadang masalah datang di saat kita berpikir segalanya baik-baik saja. Kewaspadaan adalah solusinya. Asiyah memilih berhati-hati terhadap apa pun yang berkaitan Hilda. Bukannya dia membnci Hilda, melainkan dia menjaga supaya Hilda tidak terjebak lagi dalam situasi waktu itu. Begitu pula dengan dirinya.
"Asi, kamu belum jalan?" Mata Atun membesar menemukan Asiyah masih di rumah.
"Pak Jaja masih manasin mobil, Bu. Aku baru mau siap-siap." Asiyah meletakan stoples yang dibawanya pada meja makan. "Silakan dimakan, Wak."
"Tahu aja kamu. Ini makanan kesukaan Uwak. Makasih ya." Perempuan berhijab lebar itu tersenyum lebar. Ami memiliki sosok yang mungil dengan wajah bundar yang membuatnya tampak awet muda.
"Tahu dong." Asiyah mengerling pada Ami, lalu masuk ke dalam kamar.
Endah mengikutinya ke kamar. "Kak Asi mau ke mana?"
"Mau jemput Omar di sekolah." Asiyah menjawab sembari memeriksa isi dalam tasnya.
"Kenapa Kak Asi yang jemput Omar?"
"Kakak bantu Arsa jagain Omar selama Arsa kerja." Semua lengkap, pikir Asiyah. "Kamu mau ikut?"
"Ke sekolah TK?" Endah melotot. Kemudian menggeleng. "Aku di rumah aja. Dekat-dekat anak kecil nggak cocok buatku."
"Nanti kamu punya anak, kamu bakal tarik ucapan kamu itu," goda Asiyah.
"Ya itu masih nanti. Nggak sekarang." Endah memutar bola matanya. Dia naik ke ranjang Asiyah. "Aku numpang bobo di sini ya?"
"Kalau mau cokelat, Kakak punya dua bungkus di kotak itu. Ambil aja." Asiyah menunjuk laci teratas dari meja riasnya.
"Ambil semuanya?" goda Endah.
Asiyah meringis. "Sisakan satu untuk Omar."
"Aku sisakan sedikit buat Omar." Endah menjulurkan lidahnya dengan sengaja. Kemudian terkikik sendiri.
Asiyah menggeleng. Tak habis pikir pada perilaku Endah yang jauh lebih kekanakan dibandingkan Iis dan Hilda yang seumuran. Tiba-tiba saja sebersit pikiran konyol melintas, lalu meluncur dari bibirnya. "Kamu tahu Hilda suka sama Arsa?" Asiyah menyesali pertanyaannya. Dia memegang bibirnya.
Sebelum sempat meralat pertanyaan barusan, Endah menyahut cepat, "Tahu. Arsa nggak suka Hilda, kan?"
"Gimana..." Asiyah menjilat bibirnya, menahan diri dari pertanyaan lain yang nyaris tidak dipikirkan ulang. Beruntung dia masih bisa mengatur kegesitan mulutnya berujar. Dia melanjutkan dengan pertanyaan yang berbeda dari yang ada di kepalanya, "Kamu bisa mikir begitu?"
"Kelihatan, Kak. Arsa itu kayaknya punya selera tinggiiiii." Endah merentangkan tangannya ke atas. "Levelnya nggak mudah dijangkau cewek normal. Harus yang super duper wow amazing yang bisa menggaet Arsa. Apa cowok-cowok lulusan Australia kayak gitu semua? Atau Arsa aja yang punya kriteria bukan manusia, tapi bidadari sorga?"
"Kamu ngomong kayak gini bikin orang yang dengar bakal mikir kamu itu dekat banget sama Arsa." Pada kenyataannya, Endah tidak sedekat itu dengan Arsa. Dua tahun Endah pernah tinggal bersama Asiyah di rumah ini pasca ayah Endah meninggal dunia dan ibunya menjalani penyembuhan di kampung halaman. Saat itu Endah masih SMP. Dia sekolah di sekolah yang sama dengan Iis, Hilda, dan Arsa. Namun dua tahun sekolah yang sama, lantas berpisah di SMA hingga kini, bukankah cukup menjadi alasan Asiyah meragukan pernyataan Endah.
"Masak begitu aja nggak bisa dilihat, Kak?" Endah memiringkan tidurnya menghadap Asiyah. "Arsa gampang ditebak. Dia sukanya sama yang level queen. Ratu."
Asiyah memandang Endah keheranan dan Endah menatapnya balik penuh kepercayaan diri.
"Kalo aku kasih tahu siapa yang Arsa suka, Kakak pasti nggak akan percaya," kata Endah lagi. Dia tersenyum dengan mantap.
"Emangnya siapa?" Bohong jika Asiyah tidak penasaran. Dia ingin tahu, meski kebenaran dari jawaban Endah kelak tidak bisa mencapai lima puluh persen. Asiyah tergelitik untuk 'sedikit' bergosip.
"Aku cuma ngasih satu hint. Dia itu queen."
"Kamu tuh." Asiyah mencubit pipi Endah saking gemasnya. Memang salahnya penasaran pada Endah jika ujung-ujungnya dia tertipu.
"Kakak! Sakit! Udah sana jemput Omar. Auw." Endah mengelus pipinya yang kena cubit Asiyah. Bibirnya maju dengan wajah ditekuk. "Nanti aku adukan Arsa kalau Kak Asi kepo siapa cewek yang Arsa taksir."
"Mau Kakak cubit lagi?" ancam Asiyah becanda.
Endah memegangi pipinya posesif. "Jangan dong. Sakit nih."
"Kalau gitu, harus apa?" Asiyah mengangkat kedua alisnya, menantang nalar Endah.
"Aku nggak akan ngomong ke Arsa." Endah mendesah. Dia tampak setengah menerima.
Asiyah puas. "Nah, gitu. Pintar. Kakak pergi. Sana tidur."
"Hati-hati, Kak."
-o-
Hari favorit Omar. Asiyah dapat melihat dari betapa cerianya anak itu bermain bersama teman-temannya di playground. Tanpa sadar Asiyah tersenyum selama mengawasi Omar. Mereka masih punya waktu sampai Jaja kembali dari sholat Jumat. Asiyah memberikan kelonggaran pada Omar untuk main bersama teman-temannya.
"Kak Asi ikut field trip?" Mami Oliver bertanya.
Asiyah menggeleng. "Om Arsa yang mendampingi Omar." Asiyah terbawa kebiasaan memanggil Arsa dengan sebutan 'Om Arsa' mengikuti bagaimana orang-orang dewasa di lingkungan sekolah.
"Kenapa bukan Kak Asi?"
"Saya ada keperluan lain."
"Kak Asi wanna help Nyaik cooking next week. Nyaik's food really yum yum," Omar masuk dalam obrolan. Entah sejak kapan anak itu sudah ada di dekat mereka.
"Siapa Nyaik?" Mami Oliver memandang Asiyah dan Omar bolak-balik.
"Kak Asi's mother. She is good at cooking, cooking, and cooking." Omar mengacungkan jari telunjuk, jari tengah, dan jari manis bergiliran.
Asiyah merasa geli. Cerita Omar memberikan kesan bahwa ibunya spesialis masak saja. Hanya memasak.
"I eat Nyaik nasi uduk, bakwan, but Om Acha loves lontong sayur. You know, Nyaik sells food every morning," lanjut Omar.
"Jual sarapan?" Mami Oliver mencari persetujuan dari kesimpulannya pada Asiyah.
"Iya. Ibu biasa jualan nasi uduk dan macam-macam gorengan. Kadang ada kue basah juga," balas Asiyah.
"And lontong sayur," Omar menambahkan dengan tegas.
Asiyah hanya mengangguk kalem. Dalam hati, dia ingin sekali mencubit pipi Omar yang kemerahan akibat berlarian. Betapa menggemaskannya anak itu.
"Boleh titip beli lontong sayurnya? Aku mendadak kepengen lontong sayur."
Asiyah berpikir sejenak. Dia agak bingung dan kaget. Cerita Omar malah menarik satu calon pembeli untuk ibunya. Sungguh jalan rezeki setiap orang adalah misteri Ilahi. "Boleh." Asiyah mengingatkan dirinya untuk meminta ibunya membuat lontong sayur pada hari Senin.
"Besok jualan?" tanya Mami Oliver.
"Besok jualan, tapi..." Asiyah menggigit bibirnya. Dia mulai resah.
"Kalau gitu, besok saya beli ya."
"Kami tinggal di Kalideres. Nggak kejauhan?" Asiyah tambah panik karena kekhawatirannya benar terjadi. Maminya Oliver ingin beli makanan ibunya besok. Padahal besok sekolah libur yang berarti Omar tidak berangkat ke sekolah.
"Bisa dikirim lewat ojek. Nanti saya yang pesankan ojeknya. Kak Asi kasih tahu aja alamat ngambilnya. Selain nasi uduk dan lontong, ada apa lagi?"
"Ada macam-macam. Ibu nggak selalu masak yang sama, kecuali gorengan bakwan, tahu isi, dan tempe."
"Kalau gitu, besok foto-foto menu yang Nyaik masak. Saya WA besok, ya?"
"Boleh."
"Wow! You must try Nyai gandasturi, Aunty..." Omar mulai berceloteh. Dia mengambil alih perhatian mami dari temannya.
Asiyah bersyukur dan tidak sabar membawa kabar bahwa ibunya bakal menambah satu lagi calon pelanggan. Ada seberkas harapan bahwa perempuan jelita di sebelahnya akan jatuh cinta pada masakan ibunya. Membayangkan banyak orang yang menyukai masakan ibunya menimbulkan getar bahagia dalam dada Asiyah.
###
13/11/2023
Kalo kamu ngerasa cerita ini bermanfaat, share sebanyak-banyaknya ya :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top