53
Bab 53
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri.
(QS. Al Ahqaf: 15)
Sore itu, suasana rumah berdinding hijau pucat tampak berbeda. Biasanya rumah itu terkenal sepi karena penghuninya lebih sering beraktifitas di luar rumah. Untuk kali ini agak berbeda sebab Iis, anak perempuan yang tinggal di rumah tersebut, sibuk berkutat di dapur. Senyum melekat, menghiasi bibirnya, sepanjang dia menuangkan adonan ke wajan cetakan. Sore ini akan ada acara makan bersama murid-murid pengajian anak. Dia berinisiatif membuat kue tradisional yang disukai anak-anak. Dia sudah membuat kue ape. Kini dia melanjutkan membuat kue pancong.
Tampah besar dialas daun pisang yang ada di meja di sebelahnya diisi kue ape yang masih hangat. Aroma manis memenuhi dapur mengantarkan suasana menyenangkan. Iis menyukai waktu yang dia habiskan untuk menyiapkan makanan lezat kepada anak-anak di masjid nanti.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Iis menoleh ke pintu. Masuk seorang perempuan di awal enam puluh tahun dalam balutan gamis yang senada jilbab. Perempuan itu adalah ibu Iis, Hanifah.
"Kamu belum selesai?" Hanifah masuk ke dapur. Jilbabnya yang lebar menutup badan bergoyang kala dia meletakan dua kantung plastik hitam besar ke meja yang merapat ke dinding di seberang kompor.
Iis mengangkat bahu singkat. Wajahnya yang tersenyum mirip Hanifah. "Tinggal kue pancong aja. Kue ape sudah selesai," jawab Iis bersemangat.
"Kamu buat kuenya dilebihkan? Bagi Ayah dan Ustad Udin. Sekalian Mama titip teh, kopi, dan gula buat Ayah dan teman-temannya minum di saung." Hanifah segera membongkar barang-barang yang dia bawa.
"Mama dari mana? Kok lama?" Iis berbalik mengurus kue yang matang. Memindahkannya dari wajan ke tampah.
"Mama ke warung Baba setelah dari Mamake."
"Mama nggak berlama-lama di warung Mamake untuk bergosip, kan?" Iis mengatur suaranya supaya terdengar santai, walau hatinya agak berdebar. Warung Mamake terkenal sebagai markas penggosip kompleks. Meskipun dia memercayai ibunya dapat menjaga diri dari ajakan bergosip, bukan berarti ibunya tidak memiliki peluang tergoda untuk mendengarkan kabar-kabar tak sedap yang berputar di warung itu.
"Mama nggak ngegosip. Mamake hanya memberikan undangan buat datang ke pengajian di rumah Bu Munaroh."
"Pengajian ... dalam rangka apa?" Iis bertanya tanpa berbalik karena tengah menuang adonan ke wajan.
"Hilda," jawab Hanifah santai.
Tangan Iis bergetar. Dia sudah lama tidak berhubungan dengan Hilda. Temannya itu menarik diri usai peristiwa Munaroh melabrak Asiyah. Dia mencoba menelepon, mengirim pesan, hingga mendatangi rumah Hilda. Namun penolakan halus yang dia terima. Entah berdalih mau pergi atau tidak ada di rumah. Rasanya berat mengetahui seorang teman yang mendadak menjauh.
"Hilda ngadain pengajian apa, Ma?" Iis menutup wajan dan mendekati Hanifah.
"Pengajian Hilda mau nikah." Hanifah berhenti membongkar barang-barang dan memerhatikan Iis. "Kamu tahu siapa calon suami Hilda?"
Iis menggeleng kecil. "Belum pernah ketemu. Hanya sekali Hilda cerita."
Hanifah mendesah pendek. "Anak itu apa nggak tergesa-gesa menikah? Katanya, Hilda baru kenal pria ini. Apa nggak coba kenalan agak lamaan? Kalau saja dulu-"
"Ma," Iis memperingatkan. "Itu urusan Hilda."
"Bukannya Mama mau mengurusi urusan Hilda. Mama hanya nggak habis pikir. Iya, iya, Mama berhenti ngomongin orang. Kamu tuh." Hanifah menggeleng. "Bahas kamu saja. Ada rencana menyusul Hilda kapan?"
"Menyusul apa?"
"Apa lagi? Menikah."
"Mama nih. Ayah sudah bilang buat nggak memaksa aku terburu-buru soal pernikahan."
"Itu kan maunya Ayah. Maunya Mama, kamu segera menikah."
"Ma, nanya kapan aku menikah seperti mempertanyakan kekuasaan Allah. Tolong berhenti ya." Iis kehilangan minat mengobrol.
"Kalau gitu, ada nggak cowok yang kamu suka?"
Iis terdiam. Benaknya seketika teringat pada seorang pemuda asing yang dia temui di masjid. Pemuda yang memakai kacamata dan canggung. Buru-buru dia menggeleng.
"Nggak ada?" Suara Hanifah dipenuhi nada kecewa.
Timbul rasa bersalah di hati Iis. Dia berdusta pada ibunya. Sebab perasaan yang bersemi di hatinya, barangkali, bakal gugur. Iis tak ingin mengembangkan harapan semu kepada orang tuanya di saat dia menyukai pria yang tidak dikenalnya dengan baik.
"Kamu nggak suka sama Arsa?"
Celetukan Hanifah sontak membuat Iis terkejut. Iis berbalik ke Hanifah dengan wajah memerah dan gelisah. "Kenapa Arsa?"
"Loh?" Hanifah membelalak. "Kamu suka Arsa?"
"Bu-bukan." Iis menggeleng kuat-kuat. "Iis nggak suka sama Arsa."
Hanifah tertawa. "Ya ampun, kamu ngapain malu-malu gitu. Bilang dong kalau kamu suka sama Arsa. Mama nggak jadi cemas kalau hati kamu kebal cowok."
"Ma, aku nggak suka sama Arsa," tegas Iis. Dia semakin panik.
"Kalau suka juga nggak apa-apa. Mama yakin Ayah bakal senang. Dia suka banget sama Arsa."
"Aku yang nggak suka sama Arsa dalam konteks cewek ke cowok."
"Oh gitu. Oke. Oke."
Iis bisa melihat Hanifah tidak mempercayai ucapannya. Senyum meledek Hanifah menjelaskan itu dan membuatnya semakin gelisah. Dia tidak berbohong soal Arsa. Yang membuatnya memerah bukan karena dia menyukai Arsa, melainkan...
Iis mendesah. Dia menahan diri. Berbicara pun percuma. Dia memilih memusatkan perhatiannya pada masakannya.
"Ma, jangan sampai Mama seperti Bu Munaroh yang salah paham," pesan Iis serius.
"Iya. Mama tahu harus bagaimana. Lagian Mama ngerasa Arsa suka sama seseorang."
Iis batal membuka tutup wajan untuk memeriksa kue. Badannya berputar pada Hanifah dengan cepat. "Gimana Mama bisa tahu Arsa suka sama seseorang?" tanyanya setengah berseru.
"Insting Mama saja. Sebenarnya Mama nggak tahu siapa cewek yang disukai Arsa."
Iis menghela napas. Ketertarikannya meletus bagai gelembung sabun yang ditusuk jarum. Pop! Ucapan Hanifah mematahkan keingintahuannya.
Cepat-cepat Iis beristigfar dalam hati. Hampir saja dia bergosip ria dengan ibunya.
Iis mengusir pikiran-pikiran aneh di kepalanya dan berusaha fokus pada wajan dan adonan. Dia harus lekas menyelesaikan membuat kue supaya bisa segera bersiap ke masjid.
"Is, kamu beneran nggak suka siapa-siapa?" tanya Hanifah lagi.
"Ma!" seru Iis jengkel.
Hanifah keluar dari dapur sembari tertawa puas. Iis menyesal meninggikan suara. Ibunya tak lain hanya menggodanya. Andai Hanifah tahu bahwa putrinya telah menyimpan satu sosok di hatinya.
-O-
Bintang menurunkan kacamata hitam dari hidungnya yang ramping, melipatnya, lalu melemparnya ke dashboard. Helaan napasnya memecah keheningan dalam mobil. Dia sudah gila, menurutnya. Jelas-jelas dia ingin mencari jalan supaya dapat melenggang ke pernikahan, malah membuang waktu mendatangi masjid ini lagi.
"Lo butuh ke konsultan pernikahan, Bro," gumamnya pada diri sendiri.
Dia menyesali keputusannya. Seharusnya dia tidak membuang waktu hingga sampai ke sebelah barat Jakarta ini. Dia menegakan badan, menarik sabuk pengaman, dan ... matanya terpaku pada sosok yang lewat di depan mobilnya. Perempuan ketus yang dia temui di masjid.
Kemudian pikiran gila itu datang. Bakal lebih mudah kalau Grace seperti cewek itu.
"Lo gila, Bin." Dia menggetok kepalanya agak keras. Lalu mengaduh, menyesali perbuatannya.
Tuk tuk!
Bintang menoleh ke jendela di sebelah kiri. Ada pria di balik pintu yang mengetuk jendela mobilnya. Dia menurunkan kaca jendela. Ustad Udin membungkuk.
"Baru datang?" tanya Ustad Udin. Dengan cengiran lebar dia melanjutkan, "Mau ngaji mulai hari ini?"
Bintang mengulum bibir. Dia kehabisan kata-kata karena dia pun tidak tahu ketololan macam apa yang menggiringnya kembali ke masjid ini.
-o-
"Jadi lo mulai ngaji hari ini?" Arsa menyerahkan segelas minuman soda.
Bintang menerima gelas itu tanpa gairah. "Kayaknya gue perlu ritual pengusiran setan. Gue kayak dihipnotis, Ar."
Arsa tertawa kecil sembari duduk di seberang Bintang. Dia membuka kotak pizza dan membalas, "Pencipta lo lagi menuntun lo ke arah kebaikan."
"Ngapain gue ngaji sampe ke Kalideres?" Bintang membelalak. "Kayak nggak ada pengajian aja di dekat apartemen gue."
"Pengajian di dekat lo tinggal memang ada, tapi nggak memikat hati lo bergabung. Bareng Ustad Udin, lo malah langsung ngaji." Arsa mengambil sepotong pizza, meletakan ke piring, lalu diletakan ke sebelah.
Omar memanjat kursi makan di sebelah Arsa. "Ustad Udin mah galak. Yang baik tuh Kak Iis. Nggak ngomel kalau salah-salah," celetuknya. Dia mencomot pizza di piring di hadapannya.
Bintang berdecak. "Baik dari mana?" gumamnya jengkel.
Tadi sore, Bintang terpaksa mengaji bersama Ustad Udin. Setelah mengaji, Ustad Udin tidak mau melepaskannya pulang. Dia dipaksa ke saung samping masjid untuk dikenalkan pada bapak-bapak di situ. Sambutan mereka hangat. Bintang diterima, walau dia agak kikuk dengan ekspresi Ustad Jamal yang keras. Kemudian Iis datang ke saung. Perempuan itu ramah pada para orang tua dan langsung berwajah masam begitu menyadari keberadaan Bintang. Mereka tidak bertegur sapa, tetapi kesan yang Bintang tangkap ialah perempuan itu tidak menyukainya.
Apa impression gue jelek banget pas pertama ketemu? pikir Bintang sore itu.
-o-
Arsa pulang lewat Isya. Dia agak terkejut mendapati Bintang datang ke rumahnya. Dan lebih terkejut mengetahui keputusan Bintang untuk mengaji bersama Ustad Udin. Meskipun Bintang menunjukkan penyesalan atas keputusannya, Arsa tetap bersyukur. Bintang mau mencoba saran yang ditawarkan Ustad Udin.
Dia teringat pada pembicaraannya dengan Ustad Udin selepas Magrib beberapa hari yang lalu.
"Temen lu, si Bintang, baik-baik aja?" tanya Ustad. Pria tua itu sengaja menghampiri Arsa di teras masjid saat Arsa menunggui Omar yang memakai sandal.
"Saya ketemu Bintang di kantor, dia baik-baik saja. Ada apa, ya?"
"Temen lu pengen nikah sama cewek beda agama, ntu gimana kelanjutannya?"
Arsa mengenal Ustad Udin. Dia belajar mengaji dari alif sampai bisa khatam Al Quran di bawah bimbingan sang ustad. Dia tahu Ustad Udin bukanlah pribadi yang usil yang ingin mengurusi kehidupan orang lain. Namun Ustad Udin adalah sosok yang sangat memerhatikan pemuda muslim dan muslimah. Dia perhatian dengan tulus dan sangat percaya bahwa agama terletak di genggaman anak muda. Sehingga Arsa bisa memahami perhatian yang Ustad Udin curahkan kepada Bintang.
"Mereka masih terhalang restu dari ibunya Bintang," jawab Arsa jujur.
"Alhamdulillah," gumam Ustad Udin. "Bukannya gue ngelarang ntu anak nikah, tapi kalau bisa sama yang seagama aja. Susah nikah beda agama itu. Lu ada pernah omongin ke dia gimana kalau nikah beda agama?"
"Sudah, Tad." Sudah bertahun-tahun, lanjut Arsa dalam hati.
"Bagus. Menghimbau kebaikan itu tugasnya sesama sodara muslim. Jangan dipaksa, apalagi pake ditakutin ama neraka. Bukan kita yang nentuin orang berdosa ato beriman." Ustad Udin mengangguk dengan senyum diliputi kebanggaan. "Gua minta Bintang ngaji sama gua, sekalian belajar makna dari Quran. Kalo dia ada tanya-tanya ama lu, bantu kasih pemahaman ngaji itu baik."
Arsa penasaran pada tawaran Ustad Udin yang nyeleneh di matanya. "Kenapa Ustad menawarkan Bintang mengaji saat dia memiliki masalah dengan izin menikah dari orang tuanya?"
"Setiap masalah itu ada solusinya di Quran. Lagian baca Quran itu bagus. Mempertebal iman. Kalo iman lu tebal, Insya Allah, lu nggak akan tergoda kenikmatan duniawi. Buat gua, Bintang lagi terjebak sama kenikmatan duniawi. Cinta sama cewek, tergoda berbuat keburukan, mulai nunjukin pembangkangan ke ibunya. Cuma Allah yang bisa mengubah hatinya. Kita nggak ada kuasa, Ar. Yang kita bisa cuma ngajak dia ingat Allah. Makin dia ingat Allah, makin dia jauh dari keburukan," jawab sang Ustad.
Kembali ke saat ini, Arsa merasa sangat bersyukur bahwa temannya dipertemukan dengan Ustad Udin. Jika ustad lain yang Bintang datangi, belum tentu sikap 'adem' seperti ini yang akan dia dapati. Yang dapat Arsa lakukan hanyalah berdoa semoga Bintang terbuka hatinya untuk memilih Allah di atas cinta kepada manusia.
Bintang melahap pizza malas-malasan. Di depan Bintang, Omar melontarkan teori pizza versinya. "Kayaknya kue pepe itu pizza. Kan dia bentuknya round. Terus dipanggang. Kue pepe itu sweet pizza from Indonesia. Terus..."
Arsa membiarkan Omar terus berbicara. Sebab ada Bintang yang menanggapi teori-teori Omar. Anak itu tidak membutuhkan pembuktian soal teorinya ini. Yang dia butuhkan adalah lawan bicara yang tertarik pada topik obrolannya.
+++
Intip KEMBALI JATUH CINTA PILLOW TALK 2 Cerita khusus Omar
Apa yang paling menyenangkan dari datang ke sekolah?
Menurut Omar, yang pertama adalah teman-temannya. Yang kedua adalah menu makan siang apa yang akan dia dapatkan.
###
22/09/2023
Guys, jujur ya, guys... bab ini lebih berat daripada si babi yang dibahas Arsa dan Omar. Kisah cinta Bintang itu ribet tapi kita perlu angkat karena ini tuh bagiannya plot. What else?
Kalau aku kayaknya kelamaan update, mohon dimengerti ya. I tried to do my best for us.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top