52

Bab 52

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.
(QS. Luqman: 12)

♡'・ᴗ・'♡

"Ini semua?" Daffa membelalak pada dua rantang di tangannya. Dia berpaling ke Atun, berharap apa yang ada di kepalanya salah.

"Buat tester. Dicoba dulu. Ibu siapkan sedikit saja," balas Atun. Wajahnya dipenuhi antuasiasme.

Daffa menimbang berat kedua rantang tersebut dan yakin isinya tidak sedikit. Dia menyukai semangat Atun. Tawarannya sampai ke orang yang tepat, orang yang bersungguh-sungguh dengan pekerjaannya. "Saya sudah tandai makanan apa saja yang saya mau untuk katering. Kebetulan Bu Atun datang ke sini duluan jadi, bisa langsung saya berikan. Sebentar." Daffa membuka pintu belakang sedan di carport, memasukan kedua rantang ke dalam, lantas kembali bersama selembar kertas.

"Ini. Bu Atun bisa cek dulu." Daffa menyerahkan kertas tersebut.

Atun memeriksa kertas yang diterima. Alisnya menikuk. Dia menyodorkan kertas ke Daffa. "Kenapa semuanya ditandai centang?" tanyanya.

"Karena semua menu itu yang saya mau. Gimana?" Daffa tersenyum lembut.

"Ya-yakin? Nggak kebanyakan?" Wajah Atun campur aduk antara terkejut, sangsi, dan bahagia.

"Nggak. Kebetulan teman sekantor saya suka makan. Kalau tidak habis, bisa dibawa pulang sama mereka. Kira-kira Ibu bisa sediakan untuk porsi 60 karyawan?" Daffa turut senang melihat respons Atun.

"Bisa. Buat tanggal berapa?"

"Minggu depan. Hari Rabu. Acaranya setelah jam kerja. Kami selesai kerja jam lima. Apa bisa diantar jam tiga atau jam empat paling telat?"

"Bisa." Atun meremas kertas ringan. "Soal pembayarannya gimana ya, Nak?"

"Ibu biasa dibayar di muka setengah atau bayar penuh? Saya ikut Ibu saja. Saya juga cocok sama harga makanan yang ditawarkan." Daffa akui harga yang ditawarkan Atun jauh lebih murah dari katering hotel langganan kantornya. Secara budget, dia menghemat banyak. Selain itu, ada keuntungan lain yang dia peroleh. Yakni, menolong tetangganya sendiri.

"Kalau bisa setengah di muka, sisanya setelahnya."

"Bisa, Bu. Nanti kasih saya nomor rekening Ibu biar saya transfer."

"Boleh. Nanti Ibu minta Asi yang kasih tahu. Nak Daffa mau berangkat kerja?"

Jantung Daffa berdetak cepat seakan nama panggilan Asiyah adalah tombol di organ dalamnya. Daffa berusaha mengendalikan diri. Dia tidak boleh terlihat mencurigakan karena Asiyah disebut Atun. "Iya, Bu," respons Daffa kalem.

"Kalau gitu, Ibu pulang. Cobain masakan Ibu. Kalau ada yang kurang, kasih tahu. Assalamualaikum." Atun yang tidak tahu apa-apa berpamitan.

"Wa-alaikumsalam." Suara Daffa bergetar sedikit. Dia akui bahwa mengendalikan diri bukanlah hal yang mudah saat dia menyadari dirinya mulai tertarik pada anak perempuan Atun yang jelita.

Daffa memerhatikan Atun yang berjalan cepat kembali ke rumahnya di seberang. Kemudian senyumnya diulas lembut. Dia sungguh beruntung pindah ke kompleks itu.

-o-

Hendra menerobos masuk ruang kerja Daffa. Wajahnya sumringah. Namun yang menarik perhatian Daffa adalah sebutir nasi di tepi bibir Hendra.

"L-lo..."

"Pilihan lo tepat, Bro," potong Hendra bersemangat.

Daffa mngernyit. "Pilihan apa?"

"Katering yang lo ambil. Gue baru coba masakannya di pantri. Walau bukan masakan internasional, gue berasa nostalgia masakan pas gue sama nenek gue." Hendra menarik kursi ergonomis di seberang meja Daffa.

"Mirip masakan nenek lo?" Daffa tertarik. Dua rantang makanan yang diberikan Atun kembali dibawa ke kantor untuk dimakan bersama-sama karyawan lain. Tampaknya dia sudah mendapati respons serupa seperti lauk pertama yang dia bawa. Dia menepikan pekerjaannya. Saat fokusnya penuh pada Hendra, dia teralihkan oleh sebutir nasi. "Ehm, He-"

"Nggak lah. Nenek gue mana pernah masak seenak itu. Siapa yang bikin kutipan 'seenak masakan nenek'? Bohong. Nenek gue salah satu contoh pengecualian dari kutipan itu." Hendra menarik napas. Daffa membuka mulut ingin bicara soal sebutir nasi, tetapi kembali disela. "Waktu itu gue diajak nenek gue ke pesta pernikahan tetangga. Kebetulan gue liburan di kampung. Senang lah gue diajak ke sana. Pas coba makanannya, enak banget. Sampai tiap gue pulang kampung, gue titip nenek gue pesankan masakan dari juru masak pesta pernikahan itu. Nenek gue semangat pesan makanan di situ. Dia nggak kerepotan kalau anak dan cucunya datang ke rumahnya. Makanan siap sedia. Lo kenapa melongo gitu?"

"Itu ... nasi. Dekat bibir. Bukan yang kanan. Sebelah kiri. Agak ke atas. Ah, sini gue yang ambil."

Hendra menepuk tangan Daffa yang terentang ke wajahnya. "Nggak usah sok romantis. Gue bisa cari sendiri." Hendra mengeluarkan ponsel, menyalakan kamera depan, mencomot sebutir nasi di wajah, lalu memakannya. "Mubazir," gumamnya.

Daffa tersenyum miris. Dia menduga alasan Hendra menolak bantuannya ialah karena dia ingin memakan nasi itu.

"Pesan rada banyak. Mau gue bungkus sekalian," kata Hendra lagi.

"Dibungkus? Tumben ingat istri," goda Daffa.

"Gue bungkus buat gue makan sendiri. Omong-omong, lo dapat dari mana katering ini?"

"Tetangga depan rumah gue biasa jualan nasi buat sarapan. Gue sering beli dan masakannya memang enak. Jadi, lo nggak cemas soal katering ini. Ya, kan?" Daffa berbesar hati melihat senyum Hendra. Pilihannya tepat.

"Proses deh." Hendra bangkit dari kursi. Kakinya urung hengkang dari ruangan itu. Dia berbalik ke Daffa. "Tante nelepon gue. Nanya soal acara minggu depan. Dia sempat nyebut nama cewek. Kayaknya lo harus siap-siap."

Daffa sontak mengerang, "Mau apa lagi sih?!"

"Kayak biasa, Daf. Cewek baru atau yang kemarin nih?" Hendra tersenyum prihatin.

"Nggak tahu. Nyokap gue punya banyak cewek untuk disodorkan. Peribahasa mati satu tumbuh seribu benar-benar bekerja dalam prinsip nyokap."

"Gue perlu siapkan tambahan kursi buat Tante dan, mungkin, cewek yang mau dijodohkan ke lo?" Hendra bertanya hati-hati.

"Siapkan saja," desah Daffa. Semangat yang tadi terpompa sirna saat ibunya yang dibicarakan. Aneh sekali, pikirnya, ibu orang lain membuatnya senang dan ibu sendiri malah menimbulkan kecemasan.

"Lo tahu caranya bebas dari perjodohan nyokap lo." Hendra memandang Daffa agak lama dan serius, lantas dia benar-benar meninggalkan ruang kerja itu dengan pintu tertutup rapat.

Siku Daffa bertopang pada meja dengan tangan terkepal menjadi sandaran keningnya. Dia tahu, sangat tahu, bagaimana caranya menghentikan usaha mamanya mendorongnya ke pertemuan-pertemuan dengan perempuan asing. Hanya saja, solusi itu bukanlah hal mudah di saat dia belum memiliki keberanian memulai hubungan yang baru.

-o-

Asiyah memerhatikan dari belakang kesibukan Atun di meja makan. Dia baru pulang setelah menjemput Omar dan ibunya sama sekali tidak menyahuti salam yang dia dan Omar serukan.

"Bu," panggilnya. Dia memegang bahu Atun.

Atun terkesiap. "Loh? Kamu sudah pulang?"

"Asi dan Omar salam, Ibu nggak dengar?" Asiyah memilih duduk di kursi sebelah Atun.

"Ibu lagi bikin ini. Coba kamu lihat." Atun dengan bangga menyodorkan buku yang sejak tadi menguras perhatiannya.

"Banyak banget. Ini..." Asiyah berpaling ke Atun. Ada takjub di binar matanya. "Mas Daffa pesan sebanyak ini?"

Atun mengangguk. Senyumnya merekah. "Dia mau semua. Untuk 60 porsi."

"Hah? 60 porsi? Banyak banget. Terus Ibu bisa ngerjain sendiri?" Asiyah bertanya bukan sebab dia tidak bisa membantu, melainkan dia menghawatirkan kemampuan mereka berdua menyelesaikan permintaan ini.

"Ibu sudah nelepon Wak Ami. Dia mau bantu masak-masak. Endah juga bisa bantu. Nanti Ibu minta tolong Pak Jaja buat bantu belanja. Dia dan istrinya biasa dimintai tolong ibu-ibu yang butuh belanja banyak ke pasar. Ibu juga sudah ke warung Baba Haji. Katanya, dia siap bantu buat bahan-bahan kue. Kebetulan dia baru belanja banyak. Komplit warungnya jadi, Ibu nggak perlu repot ke pasar beli bahan-bahan kue. Ibu sudah buat catatan barang yang mau Ibu beli di Baba. Nanti dia yang siapkan, anaknya yang antar ke sini. Kalau kamu antar Omar ngaji, titip muter ke warung Baba buat antar catatan ini," jawab Atun dengan semangat.

Asiyah terpukau pada kesigapan Atun mengorganisir pekerjaan. Kemudian dia teringat hal yang penting yang harus dicermati. "Memang acaranya kapan, Bu?"

"Minggu depan. Hari Rabu." Atun mengambil kembali buku catatannya.

"Minggu depan?" Asiyah membelalak.

Atun yang hendak melanjutkan catatan belanjanya berpaling keheranan. "Acaranya mepet banget, ya?" tebak Atun.

Asiyah menggeleng dengan lesu. "Hari itu Omar field trip."

"Yang acara jalan-jalan sekolahnya itu?"

"Iya. Aku dengar, orang tua lain bakal mendampingi anak-anak mereka."

"Bukannya Omar cerita kalau di bus hanya ada guru dan anak murid saja?"

"Orang tua memang nggak boleh ikut bus, tetapi mereka mau bawa mobil sendiri-sendiri." Asiyah memijat pelipisnya. "Ada orang tua dari teman sekelas Omar yang menawarkan aku ikut mobilnya."

"Kalau gitu, temani saja Omar," respons Atun santai.

"Banyak yang Ibu kerjakan. Aku nggak mungkin nggak bantu Ibu, Wak Ami, dan Endah. Bertiga saja loh." Asiyah sungguh-sungguh khawatir.

Atun menepuk lengan Asiyah ringan. "Kamu mau bilang nggak tega ngelihat Ibu dan Wak Ami yang sudah tua bekerja? Kamu kasihan sama Endah?"

"Bukan gitu, Bu."

"Sudah. Kamu temani Omar saja. Dia sudah girang banget mau field trip. Kasihan kalau nggak ada yang dampingi. Arsa belum tentu bisa menemani Omar."

Sekalipun Atun sudah berbicara demikian, Asiyah masih merasa waswas meninggalkan ibunya dengan segunung pekerjaan. Apalagi dia tahu betapa Atun mengharapkan hasil yang sempurna untuk katering ini.

"Asi, tolong kirim nomor rekening Ibu ke Mas Daffa. Dia mau bayar setengah." Atun kembali menulis daftar belanjaan.

Asiyah memandangi Atun, menimbang apa yang sebaiknya dia pilih. Menemani Omar atau membantu Atun.

###
01/08/2023
Kamu milih mana?

Asiyah nemenin Omar atau bantu Atun?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top