5
اِنَّ اللّٰهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِيْنُ
"Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi Rizki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh." (QS. Adz-Dzaariyaat: 58)
Asiyah menyusuri gang di belakang kompleks. Telah lama waktu berlalu dan gang itu telah berubah banyak. Rumah yang dulu berwarna hijau sekarang berganti cat biru. Tanah kosong yang sempat menjadi tempat mangkal ojek sudah berganti warung sembako. Di seberang warung itu, toko kebutuhan membuat kue dan plastik berdiri lebih besar dari ingatannya. Asiyah tersenyum mendapati ingatannya masih bisa diandalkan untuk tiba ke tujuan.
"Assalamualaikum, Baba," sapa Asiyah pada seorang kakek berkaos putih dan memakai sarung kotak-kotak menutupi kaki.
"Waalaikumsalam." Kakek itu berhenti menata tumpukan styrofoam dan berbalik. Dia membenahi kacamata plus di hidungnya yang bengkok sembari mengernyit. "Lu ... Asi? Anak Atun, ya?"
Asiyah tersenyum santun. "Iya, Ba. Saya Asi, anak Atun. Ada mentega kiloan dan tepung panir, Ba?"
"Mata gue benar. Asi, kemana aja lu?" Baba Aji, panggilan kakek itu, berbicara sambil berjalan masuk tokonya yang rapi.
"Di rumah aja." Asiyah mengikuti. Dia memperhatikan barang-barang yang dijual Baba Aji.
Baba Aji meletakan sekantong tepung panir ukuran satu kilo ke atas etalase kaca. "Menteganya mau sekilo apa setengah?"
"Sekilo aja, Ba." Asiyah meletakan sebungkus permen jahe di samping kantong tepung panir. "Tambah meses seperempat ya."
"Loh!" Dua orang perempuan masuk ke toko Baba Aji. "Ini Asi?"
Keceriaan Asiyah berganti ekspresi tegang. Dia kurang suka dihadapkan Sri, tetangga satu lingkungan kompleks yang terkenal suka bergosip. Dengan status Asiyah saat ini bukan tak mungkin dia sudah masuk dalam bahan pergunjingan Sri bersama teman-teman arisannya.
"Kamu kenapa nggak kumpul sama kami?" Sri menyenggol lengan perempuan yang datang bersamanya, Gita.
Asiyah mengenal Gita. Mereka pernah satu SMA yang sama. Berbeda dengan Sri, Asiyah dan Gita lahir dan besar di lingkungan ini. Namun Sri mudah menjalin keakraban dengan para ibu-ibu melalui keahliannya bergosip. Dia menarik simpati lewat kabar burung yang dia bawa, tak jarang dia memelintir beberapa cerita demi mendapatkan perhatian lingkungan. Sudah sejak lama, Sri tidak menyukai Asiyah dan Asiyah tidak bisa terus berpura-pura tidak menyadarinya.
"Aku bantu Ibu di rumah," kilah Asiyah.
"Sesekali ikut kami arisan. Nama BU Cokro sudah dihapus dari anggota arisan. Kalau kamu mau, kamu bisa menggantikan dia. Per bulan hanya satu juta. Buat kamu yang suaminya kaya mah itu jumlah yang kecil," tutur Sri.
Gita menyenggol lengan Sri agak keras sambil berbisik, "Asi sudah cerai sama suaminya."
Usaha Gita percuma. Asiyah mendengar ucapannya dengan baik.
Sri memasang wajah iba yang dibuat-buat. "Duh, Asi, maaf ya aku nggak tahu kalo kamu udah cerai sama suami kamu," katanya. "Walau kamu udah janda, aku tetap bisa terima kamu di arisan kami. Datang aja. Nanti kita bisa ngobrol. Kamu bisa keluarin unek-unek kamu ke kami. Jangan ditanggung sendiri."
Inilah yang membuat Asiyah malas keluar rumah dan bergaul. Orang-orang seperti Sri yang menganggap urusan rumah tangga orang lain tak lebih dari bahan gosip hanya akan menambah sakit kepala.
"Aku nggak bisa ikut arisan," tolak Asiyah dengan tegas.
"Apa karena iurannya terlalu besar?" Sri hampir seperti berteriak histeris. "Jangan khawatir, Asi. Kalau uang yang menjadi masalah, aku bisa bantu kamu. Bilang aja."
"Ekhm, ekhm." Baba Aji berdehem keras-keras. "Pada mau belanja apa?" Tegurnya.
"Duh, Baba, kami udah lama nggak ketemu Asi. Jadi, lupa mau belanja ke sini." Sri tertawa kecil.
Asiyah lelah berlama-lama di sini. "Saya segini aja, Ba. Berapa totalnya?"
Baba Aji menyodorkan kalkulator kesayangannya yang menunjukkan sederet angka. Inilah kekhasan warung Baba Aji. Kakek itu suka menyodorkan kalkulatornya untuk memberi tahu nominal belanjaan pembeli.
Asiyah menyerahkan selembar uang seratus ribu. Baba Aji memberikannya kembalian sekalian menyerahkan kantong belanjaannya.
Sri mencegat jalan Asiyah. "Kamu tahu, aku pindah ke dekat rumah kamu."
"Rumahku?" Asiyah mengernyit.
"Rumah nomor lima belas. Pagar pink. Kapan-kapan main ke rumahku."
Asiyah tidak mengiyakan ataupun menolak. Dia pergi dari sana membawa kebingungan. Seingatnya, Sri tinggal dua blok dari rumahnya. Daripada bertanya pada Sri, Asiyah memilih bertanya pada Atun di rumah. Sudah cukup mendengar ocehan Sri. Jika lebih lama di situ, Asiyah bisa lupa bagaimana caranya bersikap sebagai manusia yang melek etika.
Pada muka gerbang rumah, Asiyah melihat ada mobil SUV yang terparkir. Dia tidak mengenali mobil itu, tetapi dia memang menantikan adanya tamu yang datang ke rumah ini. Seseorang yang dia nantikan. Sekaligus seseorang yang menyakitinya. Segenggam kesadarannya berkata, siapapun di mobil itu bukanlah yang dia tunggu. Namun bagian dirinya yang lain berharap sebaliknya. Langkahnya lebih cepat. Derunya meningkat mengikuti gejolak yang hadir dalam hati.
Mobil itu melesat sebelum Asiyah sempat mendekat. Dengan nanar, dia memandangi mobil yang menjauh. Kemudian akalnya kembali. Dia telah bertekad ingin melupakan masa lalunya. Sudah semestinya tekad itu dimulai dari berhenti berharap mantan suaminya akan datang menjemputnya. Mereka bukan lagi pasangan. Posisi yang dia tinggalkan telah diisi perempuan lain, perempuan yang dipercaya Wirya dapat membawa keturunan.
Asiyah menggenggam erat-erat kantong plastik di tangannya, mengalirkan rasa marah yang lagi-lagi naik. Butuh beberapa kali helaan napas untuknya meredakan kemarahan atas jalan takdirnya. Dia tidak mau pulang dengan wajah masam dan menyebabkan ibunya kesusahan. Bebannya bukan untuk dipanggul bersama, melainkan dikubur.
Asiyah pulang ke rumah. Dia dikenalkan pada Daffa, tetangga di seberang rumah. Perasaannya seketika membaik saat ibunya mengabarkan kedatangan Omar. Membayangkan wajah anak itu saja Asiyah langsung tersenyum gembira.
"You're here!" seru Omar yang menemukan Asiyah di ambang kamar.
"Kamu main ke sini?" Tanya Asiyah.
"No." Omar menggeleng dengan muka serius. "Aku mau numpang bobo siang, terus ngaji."
"Kamu ngaji sama Ustad Udin?" Asiyah duduk di sisi Omar di atas kasur ibunya.
"Iya. Kata Om Acha, aku harus ngaji. Aku ngaji melulu. Liburnya cuma tiap malam Jumat dan malam Minggu. Tapi aku lebih sebel sama solat Subuh. Solaaaaaat mulu," oceh Omar.
"Solat itu kewajiban," kata Asiyah.
"But I'm a kid. You know, Oscar and Oliver not solat everyday. They don't pray in mosque. Why I must solat everyday?" Omar melempar badannya ke atas kasur. "Om Acha bilang, aku boleh holiday solat kalo udah meninggal. His mouth is bad."
"Om Acha?" Asiyah terdiam sejenak. "Arsa?"
"Yes, he is." Omar manyun.
"Om Arsa punya alasan yang baik untuk ajak kamu solat tiap hari."
Omar tengkurap, lalu menumpang dagunya di atas kedua tangan. "Jangan kayak orang-orang," keluh Omar. "Kamu solat biar masuk sorga. Memangnya orang yang ngomong gitu pernah masuk sorga?"
Asiyah terpanah pada kecerdasan Omar. Anak kecil ini sangat kritis menyikapi perintah beribadah. Dia sampai berpikir, apakah semua anak di zaman sekarang memang seperti Omar. "Kelak, setelah kita meninggal, amal ibadah kita selama hidup akan ditimbang. Termasuk solat. Kalau sering solat dan beramal baik, timbangan pahalanya berat dan boleh masuk surga. Di surga..."
"I heard those few times." Omar bangkit dan duduk di sisi Asiyah. "Kita solat biar masuk sorga. Kita sedekah biar masuk sorga. Kita jadi anak baik biar masuk sorga. Sorga melulu. Kenapa masuk sorga ribet banget?"
Asiyah kehilangan kata-kata. Dia belum pernah diserang pernyataan seperti ini, apalagi dari anak kecil. Sejujurnya, Asiyah bukan individu yang kental akan pelajaran agama. Dia beribadah karena itu adalah perintah agama. Dia berbuat baik karena itulah yang diajarkan padanya. Sekali saja Asiyah belum pernah mendebat ajaran agamanya.
"Apa kamu pernah tanya Ustad Udin?" Asiyah balik bertanya di mana dia pun bingung menimpali sikap kritis Omar.
"Kalo nanya, ntar ditanya balik." Omar melirik Asiyah dengan sangsi. "Kayak kamu."
Senyum Asiyah terasa kecut. Bukan atas sikap blak-blakan Omar, melainkan betapa tepatnya Omar menilainya. "Maaf," gumam Asiyah. "Aku kurang punya ilmu agama."
"Kenapa kamu minta maaf?" Kepala Omar miring untuk mengintip wajah Asiyah menunduk. "Kata Om Acha, bodoh itu nggak salah kok. Nanti bisa belajar biar pintar. Ustad Udin bilang, tugas manusia itu emang belajar mulu. Kamu mau ikut aku ngaji sama Ustad Udin biar pintar?"
Asiyah tertawa kecil. Omar persis seperti air, menyegarkan dan menjernihkan.
###
19/04/2021
Nama cewek di sini itu Asiyah 😂 bukan Aisyah. Ayooo, baca baik-baik namanya ya.
Yang bingung soal Omar di sekolah, dia itu kakak kelas Kimkim. Urutannya dari kelas kecil ke besar kek gini👇
Crystal (pre nursery)
Fatih (nursery 1)
Kimkim (nursery 2)
Omar (kindergarten 1/TKA)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top