49

Bab 49

Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.
(QS. Al Isra: 23)

Asiyah sedang mengangkat jemuran sewaktu mobil sedan merapat ke depan rumahnya. Dia mengenali pemilik mobil dengan cepat.

Daffa turun dari mobil. Dia melambai ke Asiyah, lalu masuk melewati gerbang pendek rumah Asiyah. "Assalamualaikum. Ada Bu Atun?"

"Waalaikumsalam. Ada, Mas. Ada perlu apa?" Asiyah berhenti mengangkat jemuran. Dia meletakan baju-baju di tangannya ke keranjang rotan berukuran besar.

Daffa melirik ke dalam rumah, lalu berbalik menghadap Asiyah bersama senyuman yang lebar. "Apa Bu Atun bisa terima katering?"

"Katering, ya? Hm." Asiyah bergumam seraya berpikir. Dia ingat pernah mendengar cerita Atun soal menerima pesanan nasi kotak sewaktu dia masih tinggal di Bandung. Namun itu dulu dan belum tentu sama dengan katering yang dimaksudkan Daffa. "Asi panggil Ibu, biar Mas Daffa tanya langsung. Tunggu di teras saja, Mas. Duduk." Asiyah memutuskan menyerahkan tanggung jawab dari pertanyaan tersebut ke ibunya.

"Oh, iya, boleh, makasih."

"Tinggal sebentar ke dalam ya, Mas. Duduk saja di teras." Asiyah mengangkat keranjang rotannya.

Asiyah bergegas ke dapur. Ibunya sedang memotong buncis saat Asiyah datang. "Ada Mas Daffa. Dia mau ngomong sama Ibu."

Atun menoleh. Alis perempuan tua itu bertautan. "Mau ngomong apa?"

"Mau tanya soal katering. Asiyah nggak tahu gimana jawabnya. Coba Ibu yang dengar sendiri ada maksud apa Mas Daffa tanya soal katering ke Ibu." Asiyah meletakan keranjang rotan di dekat pintu dapur sebelah luar.

Atun meletakan pisau, mencuci tangan, lalu keluar. Asiyah harus memeriksa Omar di kamar. Sudah waktunya anak itu bangun dari tidur siang. Namun dia penasaran pada perihal yang dibawa Daffa sehingga dia menunda membangunkan Omar dan mengikuti Atun.

"Ada apa, Nak Daffa?" Atun duduk di kursi di sebelah Daffa.

Daffa tersenyum menyambut Atun. Dia duduk miring menghadap Atun. "Apa Bu Atun biasa menerima katering?"

"Katering..." Atun melirik Asiyah. Lantas menggeleng. "Ibu pernahnya beberapa kali terima order nasi kotak untuk acara syukuran, ulang tahun anak, dan penutupan pengajian. Ibu belum pernah terima katering."

"Sebenarnya katering ini nggak beda dengan nasi kotak. Hanya tidak dikemas dalam boks. Begini, Bu, di kantor saya ada acara. Bukan acara besar. Hanya kumpul karyawan dan makan bersama. Karena masakan Bu Atun enak, saya terpikir menawarkan katering acara di kantor ini untuk Bu Atun."

"Waduh, Ibu belum pernah masak katering buat orang kantor. Nanti nggak cocok sama lidah teman Nak Daffa." Atun menggeleng buru-buru.

Asiyah yang melihat reaksi ibunya dapat memahami kekhawatiran tersebut. Menjual sarapan kepada tetangga barang tentu hal yang berbeda dengan menyiapkan makanan bagi karyawan kantoran yang biasa makan di resto dan kafe. Andai ibunya sadar, langganan ibunya adalah tetangga mereka yang bekerja kantoran, contohnya Arsa, pasti kepercayaan diri ibunya akan terpompa, pikir Asiyah yang menilai masakan Atun lezat.

"Nggak kok. Mereka suka-suka saja. Masakan Bu Atun sudah sering saya makan, rasanya enak dan saya yakin mereka pasti suka. Saya dan teman-teman saya punya selera yang sama. Gimana, Bu?"

"Kalau masakan katering ini, apa saja? Ibu perlu tahu untuk dipikirkan. Takutnya Ibu nggak bisa masak." Atun tidak langsung berbesar hati oleh ucapan Daffa. Dia masih menunjukkan kewaspadaan.

"Bukan menu yang sulit, Bu. Cukup masakan rumahan saja. Waktu terima nasi kotak, kalau boleh tahu, menunya apa saja?"

"Waktu itu menunya ayam goreng bumbu kuning, telur balado, bihun goreng, sambal kentang, bakwan jagung, perkedel, sama buah. Ada jajanan pasarnya juga. Makanan yang biasa ada di nasi kotak."

Daffa mengangguk. "Biar mudah, menu yang bisa Bu Atun masak dicatat, termasuk makanan kecil dan minuman. Nanti saya pilih yang mana yang dimasak."

"Oh, kalau maunya begitu, Ibu bisa." Rona wajah Atun berubah ceria.

"Nah, tentang biayanya..." Daffa berhenti bicara. Kepalanya miring dan tatapannya jatuh ke samping bawah Asiyah.

Atun dan Asiyah kompak menoleh. Omar berdiri di sisi Asiyah bersama cengiran. "Hai," sapanya gembira.

Asiyah terkejut melihat anak asuhnya sudah bangun duluan dan berada di dekatnya tanpa disadari. Mendengarkan pembicaraan Atun dan Daffa telah membuatnya kurang peka.

Daffa tersenyum. "Omar baru bangun tidur?"

"Yup..." Omar menguap lebar-lebar. Kemudian mengucek mata menggunakan punggung tangannya. Wajahnya yang bulat, pipi kemerahan, dan gerakan imutnya membuat para orang dewasa di sekelilingnya gemas.

Asiyah teringat tugasnya menyiapkan Omar mengaji. "Omar, ayo siap-siap berangkat mengaji. Mandi dan ganti baju." Asiyah memegang bahu Omar.

Omar menepis tangan Asiyah. Dia maju menghampiri Daffa dengan sepasang mata yang dipenuhi binar-binar. "Do you wanna have a party?" tanya Omar.

"Party?" Daffa cepat mengendalikan diri. "Hm, bukan pesta. Hanya acara makan bersama. Acara sederhana."

"Ah! Kayak pas Nyaik acara di rumah Bu Aas." Omar kecil menebak-nebak.

Daffa melirik Atun sekilas, lalu mengangguk kecil. Ada keraguan di wajahnya. Pria itu jelas-jelas tidak paham acara di rumah Bu Aas yang disebutkan Omar. "Kira-kira seperti itu."

"I see." Omar berbangga hati. Tebakannya dinilai benar. "Kalo makan kayak Bu Aas, nggak seru, Om. Makan yang seru itu kayak acaranya Koko Jay. Ada badut, jugglers, pake tumpeng, ada cake tinggi terus cupcakes. People love cupcakes a loooot."

Senyum Daffa merekah. Sementara Asiyah menggeleng. Dia sudah menebak Omar bakal mengeluarkan pendapat yang tidak diminta. Asiyah memegang bahu Omar lagi. "Omar, jangan ganggu Om Daffa dan Nyaik. Mereka perlu bicara berdua. Omar ikut Kak Asi ke dalam ya."

Omar memberikan tatapan dingin ke Asiyah. "Kan ngajinya masih nanti. I have more time to talk with them."

Inilah yang sering membuat Asiyah ketar-ketir. Kecerdasan Omar membuatnya sulit menuruti ajakan orang lain kecuali ada alasan di baliknya yang menguntungkan atau dianggap seru. "Kita buat pisang goreng. Nanti bagi ke Kak Iis. Gimana?" Asiyah bakal meminta maaf ke Iis karena memanfaatkan namanya untuk membujuk Omar. Mau bagaimana lagi, Asiyah hanya dapat memikirkan ide tersebut. Iis adalah kakak kesukaan Omar di pengajian karena Iis tidak pernah mengomelinya segalak Ustad Udin.

Wajah Omar seketika cerah. "I think we can make fried banana with chocolate."

"Hah?" Asiyah tidak yakin cokelat apa yang dimaksud Omar. Sebelum dia sempat bertanya, anak berambut mangkok itu sudah berlari ke dalam rumah. Asiyah pamit pada Daffa untuk mengejar Omar.

Omar naik ke kursi meja makan. Dia menarik stoples kecil berisi cokelat meses. "Can we use this?" tanyanya bersemangat.

"Kenapa pisang gorengnya pakai meses?" Asiyah tidak ingat ada pisang goreng yang menggunakan meses.

"Itu loh ... banana wrap, twist, like croissant." Omar melafalkan croissant, kwasant.

"Kwa-kwas..." Asiyah kebingungan.

"Om Acha bought me long long time ago. It's small, sweet, and umami. But it's not croissant. It has banana and chocolate. Inside." Omar memutar kedua telunjuknya, memberikan penekanan pada bentuk makanan.

Asiyah masih belum memahami makanan yang dimaksud Omar. Dia beralih ke kamar, mengambil ponsel di meja rias, dan mengetik pesan. Kurang dari satu menit, pesan balasannya tiba.

Arsa benar-benar bisa diharapkan di saat begini, pikirnya. Dia baru saja mengirim pesan untuk bertanya apa bisa menelepon sebentar dan Arsa membolehkan. Dia segera menekan nomor Arsa.

"Halo. Assalamualaikum." Suara Arsa terdengar setelah satu kali dering.

"Waalaikumsalam. Maaf ganggu." Asiyah kembali ke Omar. Dia berujar tanpa suara ke Omar, "Ini Om Acha."

Bibir Omar membulat berbarengan matanya membesar. "Om Acha," panggil Omar.

Asiyah mengubah mode suara ke pengeras suara. "Omar mau buat makanan, tapi aku nggak ngerti."

Omar menarik tangan Asiyah supaya ponsel mendekat kepadanya. "Do you remember wrapped banana, the one's like croissant?"

"Pisang molen. Kenapa?"

"We wanna cook it!" seru Omar.

Asiyah terpana sekaligus merasa konyol. Karena pisang molen, dia sampai merepotkan Arsa. Dia menundukan kepala. Sekalipun tidak ada Arsa di situ, dia merasa sangat malu.

"Masak yang banyak, sisakan buat Om."

"Oki doki."

"Ada lagi?"

Asiyah ingin menyudahi telepon itu, tetapi kalah cepat dari Omar. "Can you bring some nactarine?"

"Kan masih ada persik di rumah."

"Nactarine is NOT peach." Omar mendengkus bagai orang tua yang lelah.

Asiyah mengulum tawa sembari membuang muka. Anak ini selalu bisa membuat suasana hatinya membaik.

"Kalau ada di supermarket, Om belikan. Tanya Kak Asi, ada perlu yang lain?"

"Nah, she's fine."

Panggilan telepon itu usai setelah Arsa mengingatkan Omar untuk menuruti Asiyah dan Atun. Asiyah mengantongi ponselnya dengan perasaan lega. Dia tahu apa yang diinginkan Omar. Tinggal memeriksa dan menyiapkan bahan-bahan untuk membuat molen.

"I wanna share some molen to Om Daffa!" Omar melompat dari kursi.

Asiyah memijat keningnya. Molen yang belum dibuat, sudah dijanjikan ke orang-orang. Asiyah yang malang dilimpahkan tugas akibat kebawelan anak kecil berambut mangkok.

###

24/04/2023

Selamat hari lebaran
\(❁´∀'❁)ノ𖤐´-
Mohon maaf lahir batin. Semoga amal ibadah kita selama bulan Ramadan yang suci menjadi ladang pahala yang tak terhingga. Aamiin. Semoga juga kita bisa melanjutkan semangat bulan Ramadan usai lebaran. Aamiin ❤️

Selamat berlebaran dan liburan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top