46

Bab 46

Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.
(QS. An Nisa: 80)

Bagaimana mulainya?

Bintang mendongak, mengamati atap masjid yang dimahkotai kubah warna emas. Basa-basi kepada klien baru adalah hal yang mudah karena baik dia dan klien tahu tujuan perkenalan tersebut untuk urusan bisnis. Sementara berkenalan dengan seorang ustad dalam urusan personal adalah sesuatu yang baru. Dia pernah mengaji, dulu saat SD. Itu pun hanya mengaji iqro dan baca Al Quran. Bukannya berkonsultasi hubungan anak dan ibu kepada ahli agama.

Pesan masuk di ponsel mengusir kebimbangannya. Pesan dari Arsa.

Kalau Omar sudah dijemput dari masjid, lo mampir ke sebelah rumah gue buat jemput dia. Sekalian minta kunci rumah gue di Bu Atun atau Asiyah. Kalau Omar lapar, kasih sereal aja.

Bintang berdecak. Bisa-bisanya Arsa memanfaatkan kedatangannya ke masjid untuk mengasuh Omar menggantikannya yang terpaksa lembur. Memang dia menyukai Omar, tapi merawat anak kecil adalah hal yang berbeda.

Ponselnya masuk ke saku celana. Dia menarik napas panjang, lalu mengambil langkah pertama. Membulatkan tekad, dia melewati gerbang masjid.

Suara tawa anak-anak terdengar dari sisi kiri. Ada playground kecil di sana. Bintang menyusuri jalan setapak menuju pusat keramaian anak-anak. Matanya menyisir sekeliling, mencari-cari sosok Omar. Hatinya bergumam, 'Yang rambut mangkok. Yang banyak ngomong. Yang putih kecil minta disentil.'

Ibu-ibu yang menunggu anak-anak mereka bermain saling lirik, berbagi curiga, dan waspada. Seorang pria asing tiba-tiba datang ke area bermain anak yang letaknya dekat bangunan sayap masjid yang diperuntukan bagi jamaah perempuan.

Bintang yang terlalu fokus menemukan keberadaan Omar tidak menyadari tatapan tajam para ibu. Dia berjalan ke seorang anak yang sedang menunggu giliran bermain jungkat-jungkit.

"Dek, lihat Omar?" tanya Bintang.

Anak laki-laki itu mendongak, menyedot ingusnya, baru menjawab, "Lagi gangguin cewek."

Bintang keheranan. "Di-dimana?"

Anak itu menunjuk ke pintu samping masjid. "Noh. Lagi gangguin cewek cantik."

Bintang menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Dia meragu pada pengetahuannya soal Omar. Dia tidak pernah tahu Omar senang menggoda perempuan. Omar itu anak laki-laki yang belum disunat, bagaimana bisa anak itu memiliki keinginan mengganggu perempuan? Atau anak laki-laki yang dia tanya berdusta?

Bintang mengikuti arahan anak itu menuju bangunan masjid. Bintang yang malang-malang, dia belum juga menyadari tiap gerak-geriknya diawasi para ibu. Bahkan saat dia melongok ke dalam masjid, para ibu membuat kesepakatan untuk menegur ketidaksopanannya sudah menginjak area ibadah akhwat.

"Ada perlu apa?" Seorang perempuan muncul dari balik pintu. Dia agak terkejut menemukan pria dewasa di ruang ibadah perempuan.

"Anu, saya cari Omar." Bintang mendapati dirinya segan terhadap perempuan itu. Si perempuan berpakaian longgar dan kerudung lebar khas ukhti.

"Maaf, siapanya Omar ya?"

"Saya Bintang. Temannya Arsa. Omar pasti kenal." Bintang berusaha tersenyum, meski bibirnya kering. Sikap waspada perempuan itu sangat kentara.

"Sebentar ya." Sang perempuan melongok ke belakang Bintang sekilas, lalu melanjutkan, "Di sini khusus perempuan, Pak. Silakan tunggu di taman. Ada tempat duduk di sebelah sana."

Bintang menoleh ke arah yang ditunjuk si perempuan. Itu adalah kursi-kursi kayu panjang tanpa lengan dan sandaran di bawah naungan pohon besar yang dikuasai ibu-ibu.

Gue disuruh ngumpul bareng emak-emak? pikir Bintang miris.

"Apa ada Omar di dalam?" tanya Bintang, memastikan usahanya tidak sia-sia.

"Ada, tapi saya perlu manggil Omar dulu. Silakan ke sana ya."

Melihat sikap perempuan di depannya, Bintang tahu dia sedang (secara blak-blakan) diragukan kedekatannya dengan Omar. "Saya diminta Arsa jemput Omar," Bintang menjelaskan lagi.

"Biasanya Omar dijemput orang lain. Bukannya saya mau curiga sama Pak Bintang. Saya hanya menghindari salah paham."

Iya, iya, paham, sahut Bintang sinis dalam hati. Dia tersenyum, lalu berbalik.

Para ibu memberinya tatapan 'siap melahap'. Bintang memutar kakinya dan batal bergabung dengan mereka. Dia lebih memilih berdiri sendirian beberapa meter di luar masjid. Rasanya dia sudah membuat salah dan bakal kena introgasi dari sekelompok ibu-ibu di sana. Akhirnya Bintang menyadari eksistensinya yang mencurigakan di masjid itu.

Kepala Omar muncul dari balik pintu masjid. Matanya yang bulat membesar. Dia melompat sambil berseru, "Om Binbin!"

Bintang tersenyum. Dia segera menangkap Omar ke dalam pelukannya. "Hi, Big Boy. Udah selesai ngaji?"

"Udah. Om ngapain di sini?"

"Om mau main sama kamu. Boleh?"

Omar mengernyitkan hidung. "Om Binbin bau orang kerja. Ogah ah."

"Hei!" Bintang menoel ujung hidung Omar gemas. "Nanti Om mandi di rumah kamu."

"Om Acha mana?"

"Om Acha masih kerja. Om Binbin yang jemput Omar."

"Assalamualaikum."

Bintang dan Omar berbalik. Seorang perempuan menatap mereka ragu dan bingung. Kesan pertama yang Bintang dapat dari perempuan ini adalah kucing putih yang ketakutan, berkebalikan perempuan pertama yang menyerupai macan dan masih mengawasi mereka dari pintu masjid.

"Kak Asiiiii!" Omar melompat dari pelukan Bintang. Dia memegang tangan perempuan itu.

Asi? Apa Asiyah? pikir Bintang.

"Mas Bintang ya? Saya Asiyah." tanya Asiyah.

"Oh, iya. Saya Bintang. Sudah di-WA sama Arsa?"

"Sudah. Tapi saya sudah di jalan ke sini. Makanya mastiin lagi Mas Bintang sudah jemput Omar atau belum."

"Iya, nggak apa-apa. Kalau mau bawa Omar pulang duluan, boleh kok. Saya masih mau bertemu Ustad Udin."

"Om Binbin mau ngaji?" Omar memandang Bintang dengan ngeri.

Bintang terbahak sambil menggeleng. "Nggak. Om ada perlu ngomong sama Ustad Udin. Kamu mau pulang bareng Om atau duluan sama Kak Asi?"

"Nungguin Om sama Kak Asi." Omar mendongak ke Asiyah. "Boleh, ya? Kasihan Om Binbin, nanti kesasar."

"Om hapal jalan ke rumah kamu," tukas Bintang tidak terima.

"Rumah aku bagusan. Om kan belum lihat. Nanti bingung deh."

Bintang ingin menyanggah bahwa dia sudah ke rumah Omar beberapa kali saat renovasi, tapi obrolan ini akan memanjang mengingat bakat ngoceh Omar.

"Ya udah, Om cari Ustad Udin dulu. Kamu tunggu di sini sebentar."

"Siap."

"Ustad Udin biasanya di pendopo sehabis pengajian anak," celetuk perempuan tadi. "Bapak bisa jalan ke depan masjid, ikuti jalan ke tempat wudhu. Di belakang tempat wudhu ada pendopo."

Bintang mengangguk ke perempuan yang pertama dia temui. "Makasih, Mbak," ucapnya.

"Sama-sama," jawab perempuan itu.

Begitu Bintang menjauh, dia melihat si perempuan bergabung dengan Omar dan Asiyah. Dia sempat mendengar Omar memanggil perempuan itu, Iis. Bintang berbalik dan melanjutkan langkahnya.

Masjid kompleks itu luas lagi asri. Bintang merasakan suasana yang lama tak dijumpai saat sekelompok remaja tanggung beramai-ramai masuk masjid, anak-anak yang jajan di depan pagar masjid, bapak-bapak bersarung yang wudhu, dan sore yang tenang. Berkutat dalam pekerjaan sejak pagi sampai malam, lalu tinggal di apartemen membuatnya nyaris melupakan keramaian bermasyarakat.

Tanpa terasa dia telah tiba di pendopo. Ada tiga bapak-bapak duduk di situ. Bintang tidak mengenali yang mana Ustad Udin.

"Permisi." Bintang maju dengan berhati-hati.

"Ada apa, Dek?" Seorang pria berwajah sangar menjawabnya dengan lembut. Sungguh Bintang merasa bersalah sudah menilainya sebatas figur.

"Saya cari Ustad Udin." Bintang mengamati satu per satu orang di situ.

"Ntu, di sono. Liat nggak? Yang pake serebet ijo. Baru keluar wudhu," pria lain yang menjawab.

Bintang mengingat pria tua yang wudhu itu. Dia berterima kasih kepada mereka. Kemudian bergegas mengejar si pria tua.

"Assalamualaikum," sapa Bintang.

"Waalaikumsalam. Napa?" Ustad Udin berhenti, menatap Bintang dari atas ke bawah.

"Saya Bintang yang WA Ustad."

"Oh, Bintang. Iya, iya. Mau ngobrol ya. Boleh, boleh. Abis magrib ya. Tanggung jam segini. Enaknya kita ngaji bareng sambil nunggu magrib apa mau zikiran nih?"

Itu adalah tawaran yang terdengar bagai serangan di telinga Bintang. Sekarang masih pukul lima. Apa susahnya mengobrol sebentar sebelum Magrib?

"Saya-"

"Om Binbin!" Omar berlari menerjangnya.

"Kenapa?" Bintang panik terjadi sesuatu ke anak ini.

"Udah belum ngomong sama Ustad Udin?"

"Belum."

"Lama banget."

Bintang mengingatkan dirinya bersabar. "Om belum ngomong sama Ustad. Omar pulang duluan sama Kak Asi, ya?"

"Emangnya Om Binbin nggak mandi dulu mau sholat Magrib?" Omar memandangnya curiga. Sebelum Bintang sempat menyahut, Omar kembali bicara, "Masak ketemu Allah bau gini. Malu ama malaikat. Udah kotor, bau, nggak rapi. Nanti nggak dapat bonus pahala loh. Mau?"

Bintang ingin mencekik leher Arsa yang mengajarkan terlalu banyak ke Omar. Anak lima tahun mana yang sebawel Omar?

Ustad Udin tertawa. "Udah deh lu pulang dulu. Mandi, siap-siap. Nanti abis sholat jamaah, kita baru ngomong. Sayang banget kalo nggak dapat bonus pahala."

Bintang tersenyum sungkan. "Kalau gitu, saya ketemu Ustad setelah sholat Magrib."

Ustad Udin mengangguk. Bintang dan Omar berpamitan. Asiyah menunggu mereka waswas di depan masjid.

"Omar ganggu ya?" tanya Asiyah.

"Nggak kok." Malah menyelamatkan Bintang dari baca Quran dan zikir sebelum Magrib.

"Maaf saya nggak bisa menghalangi Omar ke sana. Saya agak sungkan ke pendopo."

"Kenapa?"

"Soalnya ada Ustad Jamal. Kan Ustad Jamal mukanya serem," celetuk Omar.

"Omar, nggak boleh bicara begitu. Ustad Jamal baik kok," Asiyah memperingatkan.

"Kan anak-anak takut sama yang mukanya serem. Aku sukanya sama Atok Hadi. Kak Iis nggak takut sama Ustad Jamal ya?"

Bintang yang semula cuek pada ghibah Omar mendadak tertarik. "Kak Iis yang di masjid tadi?"

Omar mengangguk.

"Kenapa Kak Iis takut sama Ustad Jamal?" Oke, Bintang akui dia penasaran.

"Ustad Jamal kan bapaknya Kak Iis."

###

28/03/2023

Menemani kamu sahur nanti malam, aku datangkan Omar lucu 🌼🌼

Selamat membaca dan selamat menikmati bulan Ramadan ❤️ moga di tahun ini, puasa kita tambah berkah serta bisa memanen kebaikan sebanyak-banyaknya. Aamiin.

Jangan lupa mampir ke Grapefruit & Rosemary ya. Baca keseruan kakak kelas Omar, si Abang Akbar.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top