43
Bab 43
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.
(QS. Ar Rad: 28)
♥
[Khusus Penggemar Omar]
Dijemput Daffa ternyata sangat seru. Mereka mampir ke supermarket karena Omar kebelet pipis. Anak berambut mangkok itu kebanyakan minum air demi mengembalikan suaranya. Alhasil, mereka belanja. Omar senang belanja bersama Daffa dan Asiyah, walau dia sempat bete karena Daffa menawarkan Omar duduk di troli.
Memangnya Omar anak kecil yang bakal senang duduk di troli?
Mereka belanja di situ karena Asiyah membutuhkan beberapa barang untuk membuat sandwich. Omar membagikan pengalamannya membuat sandwich bersama teman-temannya. Itu adalah kegiatan belajar yang menyenangkan karena mereka membuat sandwich dengan beragam isian yang dibawa dari rumah.
"Oliver brought permessan, cheddar, and blue cheese. He said it's yummy. And Tere showed us how open tuna can. You need blue cheese and tuna can. It's really really surprisingly yummy. Then Oscar add some peanut butter. We can toast it if you want. Miss Gendis helped us toast sandwich. And you know ... Valen brought green vegetables. Cucumber, shishito, and iceberg. I like cucumber a LOT. It's good for your body. Then we cut vegetables," cerita Omar. Suaranya telah kembali setelah menandaskan dua botol air.
Daffa yang mendorong troli di belakang Asiyah dan Omar bertanya, "Kalau Omar bawa apa?"
"I brought the most yummy yummy." Omar menoleh dan memberikan ekspresi usil. "Can you guess?"
"Hm, roti?" tebak Daffa.
"No dong. Miss Gendis brought bread. I brought ketchup, mayo, mustard, and thousand island." Omar bangga pada banyaknya saos yang dia bawa waktu itu.
"Jadi kita perlu beli keju yang mana?" Mereka telah tiba di rak keju. Asiyah mengarsir pandangannya dari rak bagian atas ke bawah. Ada banyak ragam keju.
"I'd love cheddar." Omar meneliti rak. Dia mengambil satu keju berbentuk segitiga yang bagian luarnya bewarna merah dan menyerahkan ke Asiyah. "Can I have this?"
Asiyah membelalak. Kemudian dengan cepat mengendalikan diri. "Omar mau makan keju ini?"
"Not for me. Om Acha suka keju edam. Aku suka keju camembert."
"Oke." Asiyah memasukan keju pilihan Omar ke troli. Dia juga mengambil keju slice dan keju cheddar dari rak.
"Can we have spread cheese?" tanya Omar. Dia melihat toples kaca berisi selai keju kesukaannya.
"Kalau kamu mau, boleh kok," jawab Daffa.
Omar mengambil botol keju. Dia memberikannya ke Daffa karena badannya tidak menjangkau ke dalam troli. "Put it carefully please," pesan Omar.
Seorang nenek yang sedang memilih susu di sebelah rak keju menoleh. "Anaknya pintar sekali," pujinya. "Belanja sama Mama dan Papa, ya?"
Omar, Asiyah, dan Daffa menoleh ke si nenek. Omar mengangkat kedua alisnya. Dia merasa bukan dia yang diajak bicara sebab dia di situ bersama Asiyah dan Daffa.
"Maaf, Bu, bukan anak kami," sahut Asiyah. Wajahnya kentara tidak nyaman.
Omar memandang Asiyah heran.
Si nenek kembali berbicara, "Loh padahal terlihat seperti keluarga. Maaf ya, Dek. Anaknya pintar. Saya jadi teringat cucu."
"Makasih, Bu."
"Kalau kalian ini..." Si nenek menunjuk Asiyah dan Daffa bergantian. "Pasangan?"
Asiyah dan Daffa kompak panik. "Bu, bukan. Kami tetangga."
"Oh, tetangga." Si nenek tertawa kecil.
"Aku juga tetangga," tambah Omar. Dia merasa perlu menjelaskan.
"Sama-sama tetangga? Kalian akrab sekali sampai-sampai saya salah sangka. Padahal si mbak cocok sama si mas."
Omar memerhatikan Asiyah dan Daffa. Dia terpengaruh ucapan si nenek sekaligus bingung. Jadi, dia bertanya, "Cocok apa?"
"Cocok jadi pacar," jawab si nenek sambil tersenyum usil.
Asiyah dan Daffa panik menjelaskan bahwa mereka tetangga yang menjemput Omar karena wali Omar bekerja. Berkebalikan mereka, Omar mengamati Asiyah dan Daffa dengan serius. Dunia orang dewasa yang menarik untuk ditelaah. Hingga dia sampai ke satu kesimpulan.
"Kak Asi sama Om Daffa mau pacaran?" tanya Omar usai mereka selesai belanja dan berjalan ke pelataran supermarket.
Wajah Asiyah dan Daffa bagai diserang sekoloni gagak. Mereka bersamaan menatap Omar dengan muka ngeri.
"Kan kalo udah gede boleh pacaran," kata Omar dengan polos.
Pembicaraan pacaran itu dialihkan ajakan Daffa membeli churros. Omar melupakan ide tentang pacaran dan sepenuhnya tenggelam dalam kerenyahan churros. Saat itu, Omar tak tahu dan tak pernah tahu bahwa ocehannya yang asal-asalan akan menyebabkan Asiyah serta Daffa kepikiran.
-o-
"Edam?" Arsa mengernyit.
Omar membuka kotak makan sambil menjawab, "Aku beliin Om Acha. Om suka edam cheese, right?"
Arsa menghela napas. Kemudian menarik kursi di sebelah Omar. Dia baru pulang dan Omar menyambutnya setengah berlari dari rumah Asiyah. Akhirnya mereka masuk rumah bersama setelah berterima kasih pada Asiyah dan Atun. Sekarang Omar menerjangnya dengan sekantong belanjaan dan satu kotak makan.
"Om nggak pernah bilang Om suka edam cheese," sanggah Arsa.
Mata Omar membesar sepersekian detik, lalu menyipit. Dia menarik keju di tangan Arsa. "Kalo gitu buat aku aja."
"Omar, kita perlu membicarakan soal belanjaan ini." Arsa menunjuk kantong dari bahan spunbound berlogo nama supermarket. "Kapan kamu belanja?"
"Abis pulang sekolah. You know, Om Daffa pick me up."
"Om Daffa?" Arsa mengubah duduknya miring menghadap Omar yang masih sibuk mencari cara membuka kotak makan. "Kenapa Om Daffa jemput kamu?"
"Soalnya dia nggak pernah sekolah TK. Poor him. Kan, TK itu seru banget. You have friends, eat lunch, go picnic, paint, dance, sing, play monkey bar, build sand castle. Yang nggak seru kalo Miss Gendis teach sight words," oceh Omar. Daffa bercerita tentang pengalamannya yang langsung masuk SD saat kecil dan diartikan Omar sebagai alasan Daffa datang ke sekolahnya. Tentu saja, Daffa tidak memiliki pemikiran datang ke sekolah Omar seperti bayangan anak itu.
"Oke. Terus kenapa kamu belanja?" Arsa kembali mengintrogasi. Dia belum sempat bertanya soal belanjaan ini karena Asiyah buru-buru pergi untuk ikut pengajian perempuan yang digelar di salah satu rumah tetangga yang merayakan syukuran.
"Suara aku hilang." Omar kembali terkenang peristiwa mengerikan saat suaranya serak dan tenggorokannya sakit. Dia senang berbicara dan merasa sangat buruk saat kesusahan bicara. "Terus aku minum air. Katanya suara aku bagus lagi kalo minum air. Eh aku pengen pipis. Kak Asi ajak aku pipis di supermarket sekalian Kak Asi belanja buat bikin sandwich. Di sini nih sandwich bikinan aku. Aku bikin buat Om loh."
"Sebentar." Arsa mengeluarkan jus jeruk dalam botol ukuran setengah liter. "Kalau buat sandwich, kenapa kamu bawa pulang jus sebesar ini?"
"We need juice to drink. What else?" Omar kesal.
"Buat apa marshmallow ini?"
"Side dish."
"Keripik ini?"
"We dip chips to salsa."
"Kita nggak punya saus salsa," tukas Arsa.
Omar mengerang, "I should buy one there! I forgot!"
Arsa memijat pelipisnya. "Kalau kalian mau membuat sandwich, biarkan Kak Asi yang memilih bahan-bahan yang dibutuhkan. Kamu nggak usah ikut milih. Kamu nggak punya uang, Omar."
"Aku bantu Kak Asi. Dia itu bingung," protes Omar.
"Dari mana kamu tahu dia bingung?" Arsa menurunkan tangannya untuk memperhatikan reaksi Omar.
"Kak Asi bingung milih cheese. Aku bantu Kak Asi milih cheese. Terus aku kasih tahu Kak Asi pakai tuna."
"Kak Asi pasti sudah memikirkan bahan-bahan yang dia butuhkan. Buat apa kamu ikut belanja?"
"I buy what we need."
"Tapi kamu nggak punya uang untuk bayar belanjaan kamu."
"Nanti Om yang ganti."
"Apa?" Arsa melotot.
Omar buru-buru membekap mulutnya. Dia kelepasan membongkar dalihnya untuk belanja. Daffa dan Asiyah sudah menawarkan membayarkan belanjaan Omar, tapi Omar berkeras berjanji akan mengembalikan uang tersebut lewat Arsa. Permasalahannya ialah Omar belum meminta izin Arsa soal belanja dan meminjam uang orang lain. Dan Omar menyadari kesalahannya.
"Maaf," desis Omar. Dia menunduk. Tangannya tak lagi semangat membuka kotak makan.
Arsa menghela napas panjang. "Kamu belum minta izin Om dan sudah meminjam uang orang lain. Apa menurut kamu itu baik?"
Omar menggeleng. Kepalanya menunduk. Bibir bawahnya mencuat menahan air mata yang menggenang.
Tangan Arsa menepuk puncak kepala Omar dengan sayang. "Lain kali kamu harus ngomong sama Om sebelum beli barang menggunakan uang orang lain."
Omar mengangguk. Badannya bergetar menahan tangis. Wajahnya memerah oleh malu.
Arsa menarik Omar dalam pelukannya dan membisikan, "It's OK. Sometimes we made some mistakes. What you need to do is..."
Omar mengusap air matanya menggunakan lengan. Dia menarik ingusnya. Baru menjawab, "To correct it."
"Good." Arsa melepas pelukannya. Omar lebih tenang dan dia tersenyum.
"You know what is funny when we're in supermarket?" Omar kembali ceria. Dia sudah mengoceh lagi.
Arsa membuka kotak makan yang sejak tadi gagal dibuka Omar. "Tell me."
"Someone think I am Kak Asi and Om Daffa child." Omar terbahak.
-o-
Tangan Arsa membeku. Senyuman yang melekat di bibirnya surut. Dia melirik Omar mencari tahu kebenaran cerita barusan. Dan dia benci mengakui bahwa Omar berkata jujur.
Omar kembali berceloteh, "That old lady think Kak Asi and Om Daffa pacaran. Oh my GOOOOD! I'm surprised. You think Kak Asi and Om Daffa are couple?"
Lidah Arsa kelu. Kepalanya mendadak pusing. Namun dia tidak mungkin membagikan perasaannya pada anak yang berumur empat setengah tahun.
"Ini sandwich yang kamu buat?" Arsa mengalihkan. Omar termakan dan mengganti topik pembicaraan. Saat itu Arsa bersyukur masih dapat mengendalikan diri.
Di lain waktu, masihkah dia dapat menjaga diri dan hati?
###
22/02/2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top