41
Bab 41
Dan (ingatlah juga), takala Rabbmu memaklumkan:"Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.
(QS. Ibrahim: 7)
♥
Apakah ini kebetulan? pikir Daffa.
Dia baru saja menyelesaikan peninjauan ke site. Kemudian mengambil jalan yang sedikit memutar untuk membeli sepotong sandwich tuna dari toko langganan. Tak disangka, dia malah melihat Asiyah. Perempuan itu sedang duduk di halte. Jika bukan karena laju kendaraan yang lambat, dia tahu dia akan melewatkan kecantikan tersebut.
Mobilnya diarahkan merapat ke halte. Jendela diturunkan. Asiyah dan seorang pedagang di situ menurunkan kepala mereka untuk melihat si pengendara mobil. Daffa tersenyum. Sesuai dugaan, Asiyah terkejut.
"Mas Daffa?"
"Bareng yuk," ajak Daffa.
Asiyah menggeleng buru-buru. "Saya mau pulang, Mas. Nggak usah merepotkan."
"Nggak kok. Saya juga mau pulang. Yuk masuk."
Asiyah ragu sejenak, lalu berpamitan ke si pedagang yang duduk di sebelahnya. Pedagang itu melambai dan berpesan hati-hati.
Asiyah masuk ke mobil. Dia segera menarik sabuk pengaman dan memasangnya. Daffa bersyukur dalam hati. Dia mempunyai teman pulang. Bukan teman pulang biasa, melainkan Asiyah yang enak diajak mengobrol.
"Masih pagi, Mas Daffa sudah mau pulang?" tanya Asiyah setelah Daffa membawa mobilnya kembali ke jalan.
"Saya kerja dari semalam. Pagi ini ada urusan ke tempat klien. Gitu selesai, daripada balik ke kantor, mending pulang. Gerah banget di sana." Daffa melirik sambil tersenyum geli. "Kalau ada bau-bau keringat, pura-pura nggak nyium ya."
Asiyah tertawa kecil. Suaranya merdu dan gesturnya lembut. Daffa betah berlama-lama melihatnya, tetapi fokusnya harus berada di jalan.
"Tenang, Mas. Asi bisa tahan napas," Asiyah balas bercanda.
"Waduh, jangan dong. Kalau kamu tahan napas kelamaan bisa-bisa saya diomeli Bu Atun."
"Asi nggak akan ngadu-ngadu ke Ibu." Asiyah mengerling jenaka.
Astaga, seseorang harus memberi tahu Asiyah bahwa gerak-gerik kecilnya telah menghadirkan letupan dalam dada Daffa. Haruskah Daffa yang menjadi seseorang itu? Tidak. Daffa menyukai tingkah kekanakan Asiyah. Dia akan menjaga kenyamanan mereka. "Kamu nggak ngadu ke Bu, tapi cerita ke Omar."
"Kalau cerita ke Omar sama aja memberi tahu Ibu dan seluruh warga yang datang ke masjid." Asiyah memandang Daffa horor.
Daffa tertawa geli. Asiyah sangat ekspresif. Dia juga menyukai wajah ketakutan Asiyah.
"Omong-omong, kenapa kamu ada di halte itu?" Daffa mengganti topik obrolan.
"Asi habis mengantar Omar. Pulangnya, Asi diantar Arsa sampai halte itu. Niatnya mau coba naik angkot sampai ke rumah. Mau cicip pengalaman jadi pengguna transportasi umum. Tadi ngobrol sama Pak Yayan rute buat angkotnya. Lagi nunggu angkot, Mas Daffa datang," cerita Asiyah.
"Gagal dong jadi Asiyah The Adventurer," ledek Daffa. Dia menyukai atmosfer santai di antara mereka.
"Masih bisa lain kali." Asiyah menanggapi dengan bijak.
Daffa mengangguk. Dia memutar kemudi ke kiri. "Boleh kita mampir ke bakery sebentar? Nggak akan sampai setengah jam."
"Boleh. Mas Daffa mau beli roti?"
"Mau beli sandwich. Ada langganan di dekat sini."
-o-
Sedan Daffa berhenti di parkiran sebuah toko roti yang bangunannya tampak elegan. Bergaya ala Eropa, Asiyah menyukai jendela-jendela besar warna putih yang senada cat dinding. Dia turun mengikuti Daffa.
Aroma manis dan mentega menggoda hidung saat mereka membuka pintu kaca berdaun ganda. Sapaan selamat datang menyambut mereka.
"Aku ke sebelah sana. Kamu mau lihat?" Daffa menunjuk counter kaca di dekat kasir.
Asiyah memperhatikan rak-rak roti di sisi kanan yang merapat ke dinding. Matanya tertarik pada jajaran roti yang dipajang di sana. "Asi ke sana, Mas. Mau lihat-lihat."
"Oke."
Mereka berpisah. Asiyah berbelok ke rak roti yang menarik perhatiannya. Dia menarik roti panjang bertekstur lembut dari tumpukan. Roti itu dikemas dalam kemasan plastik. Sudah lama sekali dia tidak makan roti ciabatta. Sebuah ide muncul. Dia ingin mengajak Omar membuat subsandwich menggunakan roti itu. Pasti anak itu senang sekali.
Dia dikagetkan keberadaan flat bread dalam keranjang yang dikemas cantik. Dia mengambil sebuah. Dengan satu ciabatta panjang dan flat bread besar, Asiyah kewalahan.
"Taruh sini." Tahu-tahu Daffa muncul bersama keranjang kecil.
Asiyah meletakan kedua roti itu dalam keranjang. Dia mengambil dua flat bread lagi.
"Belanja kamu unik juga," komentar Daffa.
"Kangen makan roti-roti itu." Asiyah mengambil satu ciabatta lagi. "Sekalian mau bikin sub sandwich bareng Omar."
"Kalau bikin sandwich, apa saya dapat bagian?" Daffa mengangkat kedua alisnya yang tebal.
Asiyah memicing. "Boleh sih, tapi Mas Daffa dapat sandwich dari bageutte. Mau?"
"Saya nggak terlalu pilih-pilih kalau diberikan gratis."
"Kayaknya Mas Daffa bisa jadi kesayangan Ibu nih. Ibu paling suka sama orang yang nggak pilih-pilih makanan. Tolong bageutte di rak atas."
Daffa mengambil dua roti bageutte, lalu dimasukan dalam keranjang.
"Nggak kebanyakan?" Alis Asiyah mengerut heran.
"Mungkin Omar suka sama roti yang ini. Persiapan saja."
Daffa berpindah ke rak yang lain. Asiyah membuntuti sambil melihat-lihat.
"Nanti siang kamu mau jemput Omar lagi?" tanya Daffa. Dia berhenti di rak yang memajang berbagai cupcake, swiss roll, dan muffin.
"Iya. Insya Allah." Asiyah mengambil sekantong croissant mini.
Daffa mengambil alih kantong di tangan Asiyah untuk dimasukan dalam keranjang. "Saya boleh antar kamu?"
"Asi diantar sama Pak Jaja." Asiyah diam sebentar. Dia berpikir. "Gimana kalau Mas Daffa ikut mobil Omar?"
Daffa membelalak. "Nggak masalah?"
"Nggak dong. Asi mau ajak Ibu juga. Rame, kan?" Asiyah tersenyum lebar.
Daffa tertawa kecil. Dia mengangguk. "Boleh. Terdengar seperti kita akan jalan-jalan pakai mobil orang."
"Arsa yang minta mobil itu dipakai dan Omar senang bisa pakai mobil mamanya." Asiyah mendesah. "Kasihan Omar, dia masih bayi sewaktu ditinggal Mbak Ajeng."
"Ajeng itu nama ibunya Omar?"
Asiyah mengangguk. Dia mendekati Daffa. Tangannya terulur melewati depan Daffa untuk mengambil cupcake cokelat dengan chocochips. Dia bisa membayangkan betapa senangnya Omar mendapatkan cupcake ini. Tapi Asiyah mengingatkan dirinya untuk membeli sebuah saja. Jangan karena memberi terlalu banyak kue cokelat ke Omar, dia kena omel Arsa.
Asiyah meletakan kue itu ke keranjang yang dipegang Daffa. Matanya naik melihat Daffa. Entah kenapa, pipi pria itu memerah. Asiyah ingin bertanya, tapi Daffa sudah berputar ke kasir.
Mereka menyelesaikan pembayaran dengan cepat, meski Asiyah agak jengkel karena Daffa membayar semua belanjaannya. Padahal Asiyah sudah menolak berkali-kali, tapi Daffa tetap memaksa.
"Pokoknya, lain kali Asi yang bayarin Mas Daffa," Asiyah menegaskan begitu mereka masuk ke mobil.
Daffa tertawa kecil. "Saya nggak minta diganti."
"Tetap aja Asi nggak nyaman. Pokoknya Asi mau ganti traktir Mas Daffa."
"Nggak perlu, Asi. Saya cuma belikan segitu aja."
Segitu aja versi Daffa mungkin sama dengan biaya makan seseorang selama seminggu. Asiyah tidak bisa menerima kebaikan seseorang dengan cuma-cuma. Dia sudah diajarkan sejak kecil untuk membalas kebaikan orang lain. Misalnya saat ada yang mengantar makanan ke rumah, ibunya selalu mengembalikan piring bekas antar makanan yang sudah dicuci beserta makanan.
Asiyah masih ingin mendebat, tetapi dia kalah cepat. Daffa sudah berbicara duluan. "Yang saudara sama Arsa itu ibu atau ayahnya Omar?"
"Ibunya Omar. Mbak Ajeng."
"Kata kamu, Omar yatim piatu." Asiyah mengangguk terhadap pernyataan Daffa. "Kalau ayah Omar meninggal duluan atau belakangan dari ibunya?"
"Ayahnya Omar meninggal dua tahun kemudian," jawab Asiyah.
"Berat sekali tanggung jawab Arsa. Dia membesarkan sendirian Omar setelah ayah Omar meninggal."
Asiyah menunduk. Dia teringat peristiwa di masa lalu. Kisah tragis yang mesti dilalui Arsa sebagai pemuda yang baru kembali dari belajar di negara orang. Ada ragu di hatinya membagikan kisah Arsa. Lantas sebagian dirinya memberikan pendapat yang berbeda. Bukan lagi rahasia bagaimana Arsa membesarkan Omar.
"Arsa sudah mengasuh Omar sejak bayi," kata Asiyah. Suaranya mengecil akibat serangan simpati terhadap Arsa dan Omar.
"Loh, ayahnya Omar ke mana?"
"Mbak Ajeng dan ayah Omar cerai sebelum Mbak Ajeng meninggal."
###
18/01/2023
😭 Bikin mewek...
Omar's story brought tears to my eyes
Walau lewat obrolan Asiyah dan Daffa doang, aku nggak bisa bayangin gimana perasaan Omar dan Arsa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top