39

Bab 39

Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman, maka sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.
(QS. Al Maidah: 5)

"Om Binbiiiiiin!"

"Omar." Bintang mengangkat Omar dan memutarnya di udara. Omar tertawa kegirangan. Setelah dua kali putaran, Omar diturunkan.

"I love it." Omar memberikan tembakan dengan tangannya kepada Bintang.

Bintang meremas dadanya, berpura-pura terkena tembakan cinta dari Omar. "Auw," rintih Bintang.

Omar tertawa lagi. Dia senang sekali berinteraksi dengan Bintang.

"Ini apartemen baru lo?"

Omar dan Bintang menoleh. Mereka nyaris melupakan Arsa.

"Lebih dekat ke kantor. Naik yuk." Bintang menawarkan tangannya untuk menggandeng Omar.

Bukannya menerima, Omar malah mendebat tawaran tersebut. "It's not a street. I can walk by myself without guiding." Omar menyembunyikan tangannya di balik ketiak.

"Oke deh." Bintang memutar matanya ke atas. Dia sudah hapal karakter Omar sehingga tidak termakan emosi.

Arsa mendesah. Dia mengetuk bahu Omar pelan. Omar mendongak. "I think someone should reject adult's kindness politely."

Omar mendesah pasrah. Bahunya turun. Namun anak itu menarik celana jins Bintang dan menggumamkan, "Sorry. I said it rude."

Siapa yang sanggup menolak permintaan maaf anak semanis Omar? Tentu saja bukanlah Bintang.

Bintang berjongkok. Dia menawarkan tinjunya. "Fist bump, mate?"

"Cool!" Omar merona bahagia. Dia mengadu kepalan tinjunya ke tinju Bintang penuh gaya.

Bintang merentang tangannya. "Peluk Om dong. Kangen Omar nih."

Omar memeluk Bintang. Betapa mudahnya mereka berbaikan.

Usai berpelukan, mereka bersama-sama naik ke unit apartemen Bintang. Omar senang sekali saat lift yang mengangkut mereka tiba di lantai tujuan. Dia keluar lift di depan Bintang dan Arsa yang berjalan santai.

"Find unit 19B," kata Bintang.

"B for Binbin?" Omar berbalik. Matanya membesar dipenuhi binar keusilan.

"Coincidentally I got that." Bintang mengangkat bahunya cuek.

Omar berlari. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri mencari pintu yang sesuai petunjuk Bintang.

"Sorry bikin lo ke sini," Bintang berbicara saat Omar jauh dari jangkauan mereka.

"Nggak masalah. Omar senang diajak ketemu sama lo."

"Kayaknya dia bete kalau ketemu Kiran aja." Bintang tersenyum usil. Arsa menanggapinya singkat melalui kedua alis yang naik berbarengan.

"Kayaknya Omar waspada Kiran bakal merebut lo." Bintang menirukan cakar harimau. "Dia nggak mau berbagi perhatian lo."

"Masak?" Arsa sedikit tertarik.

"Pikir aja, kenapa Omar ogah diajak ke kantor."

"Bukannya karena dia bosan di kantor?"

Bintang menyikut Arsa dengan ringan. "Jangan pura-pura nggak tahu kalo Kiran naksir lo. Omar aja peka."

Pembicaraan mereka terhenti oleh seruan Omar yang girang menemukan unit 19B. Bintang mempercepat langkahnya menyusul Omar.

-o-

"Dia tepar." Arsa menggeleng dengan kedua tangan di pinggang. Di hadapannya, Omar terlelap di atas kasur Bintang setelah puas bermain puzzle.

Bintang memegang dua mug yang mengepulkan asap. "Biarin aja tidur di situ. Kita ke beranda biar nggak ganggu dia." Bintang menunjuk beranda menggunakan mug di tangan kanan.

Arsa mengangguk, lalu mengikuti. Apartemen Bintang berbentuk studio. Tidak banyak ruang untuk duduk kecuali sofa tiga bantalan di sisi kasur. Sementara beranda adalah ruang yang cukup lapang untuk ditempatkan dua kursi dan meja kecil secara berdempetan.

"Gue nggak sangka lo bakal cepat pindah dan apartemen lo udah rapi," kata Arsa. Dia duduk di kursi yang dekat dengan pintu geser.

Bintang mendengkuskan tawa. "Gue ambil unit yang fully furnished makanya unit udah rapi. Gue cuma bawa satu koper baju dan gadget. Kayaknya gue perlu beli beberapa barang."

"Lo kabur?" Arsa bertanya dengan suara datar. Sulit mengidentifikasi pertanyaannya sebagai sesuatu yang serius, bercanda, atau basa-basi.

"Kurang lebih begitu. Pusing di rumah lama-lama dengar omelan nyokap."

"Kalau nggak bisa dengar omelannya, kangen loh."

"Pasti." Bintang tertawa kecil. Dia menyandarkan badannya dan memandang ke langit. "Kepala gue serasa mau meledak, Ar."

Arsa menyesap kopi buatan Bintang pelan-pelan. Dia menikmati kopi yang mulai hangat itu. Setelah itu meletakan mug kembali ke meja dengan hati-hati. Dia menarik napas panjang sebelum berbicara, "Kepala lo nggak akan meledak kalau lo pilih salah satunya. Dan pendapat gue tetap sama. Pilih nyokap lo, lepaskan Grace."

"Nggak semudah itu, Ar." Bintang menggosok keningnya memakai tangan kanan.

"Kalau cinta lo ke Grace mengalahkan cinta lo ke nyokap lo, semuanya balik ke lo." Arsa memutar badan menghadap ke depan, melarikan pandangan pada pemandangan pemukiman padat penduduk yang persis di belakang kompleks apartemen.

"Grace mengusulkan kita nikah secara Islam, tapi dia bakal balik ke agamanya setelah nikah. Gue-"

"Lo sampaikan ke nyokap lo?" potong Arsa. Sikap tenangnya telah berganti marah.

Bintang mengangguk singkat sambil berkata, "Gue pikir nyokap bakal terima kalau begitu caranya."

"Yang nyokap lo pinta bukannya kalian nikah secara Islam doang. Dia minta kalian hidup berumah tangga sebagai muslim dan muslimah. Astagfirullah, Bin."

"Gue tahu gue salah. Cukup salahin gue. Bantu saran deh."

"Saran yang gimana?"

"Saran soal pernikahan beda agama. Lo cukup pintar soal agama, gue yakin lo pernah dengar soal pernikahan pria muslim dan perempuan nasrani yang diperbolehkan Islam."

Arsa tertawa tanpa suara dengan mata terpejam. Dia bukannya menertawakan permohonan Bintang melainkan posisinya yang terjepit. Dia bukanlah ahli agama, malah dimintai saran soal masa depan seseorang. Seorang anak dari ibu yang shalihah dan calon kepala keluarga.

"Maksud lo Al Maidah ayat 5?" Arsa mengonfirmasi.

"Iya, kayaknya. Di situ ada dibilang cowok muslim boleh nikah sama cewek nasrani." Bintang antusias. "Mungkin gue bisa dapat alasan ke nyokap."

Arsa menatap Bintang agak lama. Pikirannya ikut carut-marut. "Kalau lo mau belajar agama, cari ustad. Bukan ke gue. Ilmu gue rendah, nggak akan membantu lo. Ilmu nyokap lo tinggi dan dia pasti lebih tahu soal ayat-ayat pernikahan."

"Bukan cuma ayat. Gue diceramahi pakai sunah Rasul. Nyokap gue benar-benar nggak ngasih kesempatan buat gue mengenalkan Grace. Gue yakin nyokap pasti bakal suka begitu mengenal Grace."

"Buat apa suka kalau izinnya tetap nggak turun, Bro." Arsa mendorong mug Bintang. "Minum dulu biar kepala lo rileks."

Bintang menurut. Dia menyesap kopinya.

"Dalam Islam, ada pendapat yang bilang pria muslim boleh menikah dengan perempuan non Islam yang ahlul kitab. Ahlul kitab ini merujuk ke mereka yang mengikuti ajaran sebelum Nabi Muhammad."

Bintang buru-buru menyudahi minumnya. Matanya membesar dipenuhi ketertartikan. "Ahlul kitab ini nasrani, kan?"

Arsa menumpukan sikunya pada paha dan menyatukan tangannya. "Ahlul kitab ini penganut ajaran Nabi Musa dan Nabi Isa."

"Penganut Nabi Isa sama aja nasrani, kan?"

Arsa tidak langsung menjawab. Dia memicing ke kejauhan. "Memang sebutan untuk penganut ajaran Nabi Musa dan Nabi Isa adalah Yahudi dan Nasrani, tapi perhatikan syaratnya. Ahlul kitab. Berarti orang-orang yang memegang teguh ajaran dari kitab Taurat dan Injil yang sebenarnya. Kesimpulannya, hampir nggak mungkin menemukan perempuan yang masih memegang ajaran Nabi Musa dan Nabi Isa yang sebenarnya."

Bintang masih berkeras. "Gimana orang bisa tahu mana ajaran Taurat dan Injil yang sebenarnya?"

"Gue ingat pernah dengan seorang ulama yang terkenal bilang, 'Manusia nggak boleh berlindung dalam jubah ketidaktahuan secara sengaja.' Karena sekarang ilmu itu mudah diraih, kenapa nggak tanya ke ahlinya?" Arsa mengeluarkan ponselnya.

"Lo mau nyuruh gue bertanya ke Kiyai Google?" ledek Bintang. Dia duduk merosot di kursi. Wajahnya lesu sekali.

"Buat apa nanya Google. Bisa-bisa lo dapat info yang nggak ada dasar agamanya. Gue kirimin nomor ustad di kompleks gue. Ustad Jamal pembawaannya serius tapi dia lumayan peka sama tren anak muda. Kalau Ustad Udin gayanya keras tapi kata-katanya mudah dipahami. Omar ngaji sama Ustad Udin."

Bintang menganga. Kemudian ponselnya mendentingkan notifikasi pesan masuk. Dia memeriksa pesan tersebut. Sesuai ucapan Arsa, dia menerima dua kontak asing.

"Kalau lo masih kurang paham setelah nanya mereka, gue masih ada nomor Iis, ustadzah muda di kompleks. Dia kuliah-"

"Lo nyuruh gue belajar sama ukhti?" Bintang membelalak.

Arsa menaikan tinjunya. "Gue bakal minta Iis cariin teman kuliahnya yang cowok yang bisa lo tanya-tanya. Enak aja gue kasih lo belajar sama Iis, bisa memancing fitnah."

"Fitnah lo aja belum kelar, ya." Bintang tertawa puas. Arsa hanya bisa berdecak.

###

14/12/2022

Assalamualaykum 😊🙏
Teteh Bebek is back!

Gimana kabarnya?
Moga sehat, tetap waras, en bahagia❤️

Aku beneran lagi sibuk di minggu ini setelah kemarin sempat sakit. Pokoknya kalian harus jaga kesehatan. Beneran ya yang namanya nikmat sehat itu berharga banget.

Selama sakit aku makan terus. Jujurly, aku tu tipe yang kalo sakit malah pengen makan ini itu. Nafsunya melonjak. Gitu kembali sehat (alhamdulillah) aku siyook lihat timbangan 😅 kayaknya aku harus menjadikan olahraga dan jaga pola makan sebagai rutinitas di sisa tahun 2022.

Doakan aku berhasil kembali mengenakan baju yang kini kesempitan ya 🐳💦

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top