36
Bab 36
Tidakkah engkau (Muhammad) tahu bahwa kepada Allah-lah bertasbih apa yang di langit dan di bumi, dan juga burung yang mengembangkan sayapnya. Masing-masing sungguh, telah mengetahui (cara) berdoa dan bertasbih. Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan.
(QS. An Nur: 41)
♥
Daffa diam-diam menyemai bahagia. Dia tidak pernah menyangka akan mendapat kesempatan sebesar ini untuk dekat dengan Asiyah. Perempuan itu selalu memantik rasa penasarannya. Di lain pihak, Asiyah juga memberinya kenyamanan.
Barangkali semesta sedang berbaik hati memberi Daffa kesempatan mengenal Asiyah serta membayar penasarannya. Mungkin pula, Daffa diingatkan untuk sadar diri.
Siapa dia hingga berani menanam minat pada perempuan?
Jari Daffa membelai kening anak kucing pelan-pelan demi mengalihkan pikiran-pikiran yang membebani benaknya.
Kucing itu menggeliat tak nyaman. Daffa masih terbuai dalam lamunan. Terlanjur sebal, si anak kucing mencakar jarinya.
"Auw," rintih Daffa. Dia terkejut bukan main.
Asiyah berjongkok di sebelahnya. "Jarinya dicakar ya. Coba dicek, ada yang luka?"
Daffa memeriksa telunjuk kiri sebelah dalam yang kini memiliki luka gores melintang. Darah perlahan keluar.
"Duh, berdarah. Kita cari obat, Mas. Mungkin Pak Satpam punya." Asiyah bangkit, lalu berjalan cepat menuju pos satpam kompleks yang berjarak seratus meter.
"Kamu usil banget." Daffa mencolek kepala si anak kucing pelan. Luka yang diterimanya tidak mengurangi sayangnya pada hewan mungil itu. Dia berdiri dan menyusul Asiyah.
"Ada obat merah aja. Nggak bisa steril lukanya," kata Asiyah begitu Daffa tiba di pos.
"Saya cuci tangan aja." Daffa menunjuk samping pos. Terdapat kran air di situ.
"Nanti impeksi nggak kalau nggak diseteril?" tanya seorang satpam.
"Kayaknya nggak masalah. Cuma goresan dikit." Daffa membasuh tangannya. Dia membiarkan air mengenai bagian yang luka yang menyebabkan darah mengalir.
"Mau Asi bantu?" Asiyah menyerahkan botol obat merah ke Daffa yang baru selesai mencuci tangan.
"Nggak perlu. Saya bisa sendiri."
Daffa mengoleskan obat merah ke lukanya sendiri. Dia meringis saat cairan obat bertemu lukanya. Asiyah ikut meringis. Kemudian mereka saling pandang, merona, dan tertawa.
"Saya kayak anak kecil ya," aku Daffa. Dia menutup botol obat.
"Nggak kok. Asi juga ngilu lihat lukanya dioles obat merah. Sini, Mas. Biar Asi yang kembalikan."
Daffa meletakan botol obat merah ke atas telapak tangan Asiyah yang terbuka. Ada gelitik dalam hatinya yang penasaran bagaimana kulit tangan Asiyah.
Saat Asiyah berbalik ke satpam, Daffa menggeleng kuat-kuat supaya pikiran nakalnya enyah. Tidak pantas baginya memikirkan tangan seorang perempuan, apalagi tetangganya sendiri.
"Sudah, Mas. Jadi ke ruko?" Asiyah sudah kembali ke dekat Daffa.
"Iya. Jadi."
Asiyah menoleh ke pohon akasia. "Anak kucingnya nggak apa-apa di sana?"
Daffa bisa memikirkan jawabannya dengan cepat. Dia hanya perlu bersikap percaya diri dan berkata, "Anak kucing itu lahir di alam, pasti bisa ditinggal di sana." Permasalahannya ialah pikirannya sedang tidak lurus. Sehingga dia, dengan gila, menanggapi kekhawatiran Asiyah begini, "Pulang dari ruko, kalau kita ketemu anak kucing itu, saya bawa ke rumah saja. Biar ada yang jaga."
Dan respons Asiyah luar biasa gembira. "Mas Daffa mau rawat anak kucing itu?"
Melihat rona ceria di wajah Asiyah, merasakan debaran jantungnya sendiri, dan semilir angin yang berembus di sekeliling mereka, Daffa menyadari satu hal. Dia bukan hanya penasaran terhadap tetangga jelita di depannya ini. Dia memiliki rasa. Perasaan yang dikiranya telah mati, tahu-tahu hadir kembali menyapa hatinya yang lama gersang.
Daffa membuang muka. Lehernya tercekat. Dia belum siap menerima perasaan ini.
"Mas?" Asiyah menelengkan kepala. Alisnya mengernyit.
Daffa gatal ingin menyentuh kerutan di antara kedua alis Asiyah. Jari-jarinya dikepalkan ketat di sisi badan bersamaan benaknya mengumpat, jangan gila lo!
"Ayo jalan," kata Daffa kering.
-o-
"Buat apa kamu nanya Tara soal kucing? Kamu nabrak kucing di jalan?"
Suara mamanya menggema dari pengeras suara ponsel. Daffa melirik sekilas, lalu melanjutkan niatannya melepas kaos polo. Kaos itu berakhir dilempar ke keranjang laundry.
"Daffa, jawab Mama kalau ditanya. Kamu nggak apa-apa, kan?"
Astaga, Mama.
"Aku baik-baik saja, Ma. Aku nanya Tara karena dia punya 20 kucing. Dia pasti paham tentang kucing," jawab Daffa. Dia menarik kaos hitam dari lemari pakaian. Kaos hitam yang ditariknya disampirkan ke bahu.
"Tara laporan sama Mama?" tanya balik Daffa. Dia bertolak pinggang sambil menghadap ponselnya yang tergeletak di atas meja khusus nakas.
"Kebetulan Mama nelepon Tara. Dia cerita baru saja ditelepon kamu. Yah Mama tanya apa yang kalian bicarakan."
Daffa menangkap kepanikan dalam suara mamanya. Instingnya berkata kebetulan yang digambarkan mamanya itu tak lain adalah kebohongan.
Daffa mendesah. Dia menjatuhkan badannya ke tepi kasur.
Tara adalah sepupunya. Sebagai sesama sepupu, wajar jika Daffa dan Tara sesekali bertukar panggilan telepon. Begitu pula dengan Tara dan mamanya yang saling menelepon. Namun segalanya tampak janggal saat teleponnya ke Tara baru usai satu jam yang lalu dan kini mamanya sudah meneleponnya untuk topik yang sama dengan yang dia tanyakan ke Tara.
Daffa menduga mamanya menyuruh Tara melaporkan gerak-geriknya, termasuk teleponnya.
"Ma, aku nemu anak kucing yang kehilangan induknya," kata Daffa. Dia berhasil mengatur emosinya.
"Terus kamu ambil anak kucing itu?!" Suara mamanya naik beberapa oktaf.
"Kasihan, Ma. Induknya sudah mati."
"Daffa, kucing liar itu banyak penyakitnya. Buang sana. Kucing liar itu nggak terdidik, bisa berbahaya."
Memangnya kucing jenis apa yang terdidik? Tidak ada kucing yang masuk instusi pendidikan dan pantas disampirkan gelar 'terdidik'.
Daffa mendengkuskan tawa. Mamanya bisa jadi sangat lucu sekaligus menjengkelkan.
"Kalau kamu mau pelihara kucing, minta saja kucing Tara. Kucingnya sudah divaksin, sering ke dokter, dan dimandikan. Kukunya juga rutin digunting. Nggak bahaya, nggak bawa penyakit."
"Ma, aku bukannya mau rawat kucing. Aku rawat anak kucing ini karena kasihan dia sendirian. Nggak ada induknya," Daffa mencoba menjelaskan.
"Mending kamu kasih orang lain deh. Yang suka pelihara kucing. Jangan nyusahin diri kamu sendiri."
Daffa belum bisa menyetujui prediksi mamanya. Dia belum merawat si anak kucing selama 24 jam. Menyusahkan atau tidak adalah penilaian setelah dia merawat si anak kucing beberapa hari.
"Anak kucingnya baik kok. Nggak bahaya." Daffa melirik anak kucing yang masih bersembunyi di balik pintu. Dia tersenyum sembari berpikir, kucing bisa mencakar, tapi nggak bisa menyakiti sekejam manusia.
"Terserah kamu aja. Kamu yang urus, kamu yang tanggung jawab. Kalau Mama tetap mikir membuang kucing itu lebih baik. Kalau mau kasih makan, kasih aja di luar rumah. Nggak usah tinggal bareng kamu."
Suara teriakan di luar rumah menarik perhatiannya. Daffa mengintip dari jendela. Ada Omar yang melambai-lambai dari balik gerbang. Seketika Daffa tersenyum.
"Oke, Ma. Aku tutup ya." Daffa menyambar ponselnya. Dia teringat Omar. Tiba-tiba saja dia ingin mengucapkan salam dengan baik. "Assalamualaikum."
"Eh? Ah, itu, waalaikum ... salam."
Dia yakin mamanya kaget. Puas banget, pikirnya.
Daffa mengenakan kaosnya dengan cepat, lalu berlari keluar. Ada tamu yang tak sabar ingin disambutnya.
###
08/10/2022
Mumpung momennya lagi pas Maulid Nabi, kita ketemu sama Asiyah lagi. Semoga ceritanya masih memberikan kebaikan buat kamu yang baca.
Info ya, say...
Di karyakarsa, aku terbitkan bab khusus cerita Omar dan Arsa. Kalian bisa cek di Bebeklucu judulnya KEMBALI JATUH CINTA - PILLOW TALK 1, KEMBALI JATUH CINTA - PILLOW TALK 2, KEMBALI JATUH CINTA - PILLOW TALK 3, dan KEMBALI JATUH CINTA - PILLOW TALK 4. Bab2 khusus ini ga akan terbit di wattpad because the contents were too deep. Isinya tentang paman en ponakan ini aja ngobrolin agama dan laen-laen.
Silakan mampir buat yang minat baca ya 🤗
Nb: di KBM belum aku terbitkan. Insyaa Allah aku terbitkan juga dengan kondisi tertentu ❤️🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top