30

Jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu.
(QS. Al Baqarah: 45)

"Ditampar?" Arsa segera berpindah duduk ke sisi Asiyah. "Merah ini bekas ditampar?"

"Bukan itu yang penting." Asiyah menepis tangan Arsa yang mencoba menyentuh pipinya.

"Gimana bisa nggak penting? Kamu ditampar." Arsa berbicara dengan serius.

Asiyah melengos. Dia belum biasa melihat Arsa yang bersikap serius. Ada banyak hal dalam diri Arsa yang tampak asing bagi Asiyah. "Apa kamu tahu alasan Bu Munaroh marah sama aku?"

"Alasan dia marah yah karena dia memiliki masalah dengan anger management. Coba lihat ke sini, aku mau periksa pipi kamu."

"Arsa." Asiyah lagi-lagi menepis tangan Arsa. "Kamu ngomong sesuatu ke Bu Munaroh sampai dia bisa bilang aku ngadu ke kamu?"

"Aku nggak ngomong apapun ke Bu Munaroh. Tapi aku bertanya ke Pak Dimas."

"Ya ampuun pantas saja." Asiyah berbalik dan melotot. "Dia pasti berprasangka jelek kalau kamu mau ngadu domba dia dan suaminya."

"Kenapa bisa kamu mikir begitu?" Arsa berdiri dari situ untuk membantu Atun yang datang membawa nampan. "Sini, Bu. Saya saja."

"Segini aja, Ar. Ibu bisa."

"Nggak apa-apa." Arsa mengambil alih nampan tersebut, lalu meletakannya di meja. Dia juga yang mengatur cangkir-cangkir teh untuk Asiyah, Atun, dan dirinya. Dia mengernyit melihat sisa satu cangkir lagi. "Ini buat siapa, Bu?"

"Persiapan saja. Mungkin kamu mau tambah." Atun duduk di kursi tunggal bersebelahan Asiyah. "Kalau boleh tahu, kamu itu nanya apa ke Pak Dimas?"

"Saya tanya, 'Apa Hilda akan segera menikah?' Pak Dimas jawab, 'Ya. Bagaimana Arsa bisa tahu?'. Karena nggak ingin bohong, saya jawab, 'Omar dengar dari Harry.' Sudah begitu saja. Pak Dimas nggak balas lagi. Saya juga nggak tanya-tanya lagi," jawab Arsa tenang.

"Pak Dimas pintar. Pasti dia langsung mikir kok anak-anak ini ngobrolin pernikahan Hilda." Atun menoleh ke Asiyah. "Tapi Ibu tetap mau ngomong sama Pak Dimas. Biar dia mengajarkan istrinya, jangan sembarangan melakukan kekerasan ke anak orang. Memangnya Munaroh mau kalau Hilda ditampar orang lain?"

"Bu, aku nggak mau perpanjang masalah ini."

"Lain waktu perempuan lain yang dianggap jelekin dia, ditampar lagi perempuan itu karena kamu bersikap lembek."

"Tapi Asi nggak mau kalau Bu Munaroh dan Pak Dimas bertengkar-"

"Bukan karena kamu," potong Arsa cepat. "Yang bermasalah di sini adalah kemampuan menalar Bu Munaroh."

Asiyah merasa terjepit. Dua orang di sisinya sama sekali tidak memahami maksudnya. Asiyah tertekan oleh Munaroh. Ucapan perempuan itu masih terngiang di benak.

"Mulut kamu pintar sekali. Tapi orang-orang bisa lihat sendiri. Hidupmu berantakan. Kamu cerai karena jodohmu orang nggak benar. Jodoh itu cerminan diri. Lihat cermin dirimu. Cerai kamu karena dia mau nikah sama perempuan lebih muda. Kamu dibuang pasti ada alasannya."

"Hidupmu berantakan."

"Jodoh itu cerminan diri."

"Cerai kamu."

Benak Asiyah terus mengulang kalimat-kalimat itu. Dan jantungnya serasa diremas.

"Asi," panggil Arsa.

Asiyah terhenyak dari lamunan. Dia menoleh kaget. "Ya?"

"Kamu sedang memikirkan apa?" Mata Arsa menelitinya.

Asiyah menggeleng. Dia sudah meniadakan bagian Munaroh menghujat perceraiannya dari ceritanya ke sang ibu dan Iis. Mana mungkin dia menjawab jujur bahwa dia kepikiran ucapan Munaroh. Arsa sangat peka dan Asiyah tidak ingin berhadapan kepekaan Arsa.

"Aku kepikiran Hilda." Jawaban Asiyah tidak sepenuhnya dusta. Dia memikirkan nasib Hilda bersama Munaroh.

Arsa mengambil cangkir tehnya sambil menjawab, "Hilda akan baik-baik saja. Dia bersama ibunya. Bu Munaroh menyayangi anaknya. Dia nggak akan menyakiti Hilda."

"Tetap saja aku cemas. Gimana kalau Hilda bertengkar lagi sama Bu Munaroh di rumahnya?"

"Ada Pak Dimas yang bisa menengahi pertengkaran itu."

"Bisa saja Pak Dimas berpihak ke Bu Munaroh."

Arsa mengurai senyum di balik cangkir. Dia menyesap sedikit tehnya, baru menjawab, "Kalau pertengkarannya besar, tetangga mereka akan datang memisahkan."

"Kamu nggak merasa terlalu santai?" Asiyah mengernyit. Dia paham Arsa bermasalah terhadap Hilda dan Munaroh, akan tetapi sikap cuek Arsa terlihat menyebalkan.

"Lalu aku harus bagaimana? Datang ke sana berbekal niat menyelamatkan Hilda dari orang tuanya? Siapa yang bisa menjamin aku nggak tersandung fitnah lagi?" Arsa tersenyum miring. Dia menggoda Asiyah dengan sengaja.

Asiyah manyun. "Kamu bisa ditemani sama aku."

"Sebaiknya kamu mengatasi pikiran-pikiran buruk yang menumpuk di kepala kamu. Hilda baik-baik saja. Yang harus dikhawatirkan itu kamu. Kita cek di dokter yuk." Arsa mengembalikan cangkir ke meja.

"Nggak mau. Sakitnya sudah hilang." Asiyah menggeleng untuk menekankan ucapannya.

"Sakitnya hilang? Sungguh?"

"Auw!" Asiyah menjerit kala telunjuk Arsa menekan bagian pipinya yang terkena tamparan. Dia mendelik yang dibalas Arsa lewat senyum meremehkan.

"Sakitnya sudah hilang?" tantang Arsa.

Asiyah menggigit bibir bawahnya untuk menahan kesal. Dia mulai menduga sifat usil Omar menurun dari Arsa.

"Jangan gigit bibir kamu. Bisa-bisa bibir kamu ikutan bengkak," kata Arsa. Tangannya naik, lalu menggantung di udara. Dia menjilat bibir bawahnya sebelum menurunkan tangannya kembali ke pangkuan.

"Pipiku bengkak?" Asiyah yang tidak menyadari perubahan ekspresi Arsa memegang pipinya dengan khawatir.

Arsa membuang muka sembari membalas, "Karena sudah chubby, bengkak sedikit nggak akan terlalu kelihatan."

"Kamu lagi membesarkan hatiku atau meledek sih?"

"Mungkin keduanya."

Asiyah berdecak. Dia menoleh dan baru menyadari lenyapnya Atun dari sisinya. Lamunannya tadi telah membuatnya lupa situasi sekitar.

"Om Acha!" Omar muncul sambil melompat-lompat. Dia sibuk membereskan mainannya di kamar Asiyah, juga sengaja berlama-lama di situ karena enggan diajak pulang.

"Can you guess who I am?" tanya Omar. Matanya yang bulat berbinar-binar dipenuhi antusiasme.

Arsa memicing. "Hm, kayaknya sih gorila."

"Incorrect. Try again. Look here. Look my hands." Tangan Omar yang mengepal di depan dada bergoyang. "Come on. It's easy peasy lemon squishy."

Arsa melipat tangannya dengan serius. "A crocodile?"

"OOOOOM!" Omar melolong dengan kaki menghentak kesal. Arsa tertawa.

Asiyah tahu Arsa sengaja menjawab salah untuk mengerjai Omar. Dia menggeleng nggak habis pikir.

"Eh, kenapa?" Atun datang kembali. Dia membawa rantang tiga susun.

"Om Acha tuh nggak smart. Kayak gini dibilang gorila, dibilang crocodile." Omar mengulang lompatan-lompatan yang dibuatnya.

"Kamu jadi kelinci?" tebak Atun.

"Nyaik hampir betul." Omar mengacungkan telunjuk dan ibu jarinya pada Atun dengan bangga. Kemudian dia menoleh ke Arsa dengan sinis. "Nyaik aja bisa guessing almost correct."

Arsa menyandarkan siku pada lengan kursi. Dia masih menyimpan senyum geli di wajahnya. "Nyaik lebih smart dari Om dong."

"Nyaik is smarter than you." Omar bertolak pinggang penuh gaya.

"Kalau Kak Asi bisa jawab, Kak Asi juga smarter than Om Acha?" Asiyah tergelitik ingin masuk dalam kelucuan Omar.

"Sure." Omar membelalak penuh semangat. "Guess what it is." Omar lagi-lagi melompat-lompat.

"Kangaroo," tebak Asiyah.

"You got it!" Omar bertepuk tangan bagaikan pembawa acara kuis.

Asiyah terbawa suasana. Dia turut bertepuk tangan dan tertawa.

Arsa tersenyum melihat mereka.

"Ini ada lauk untuk makan malam." Atun menyerahkan rantang yang dibawanya.

"Nggak usah repot-repot, Bu."

"Jangan nolak. Nanti Nyaik marah," sela Omar. Dia yang ambil rantang dari Atun. "Thank you, Nyaik. Assalamualaikum."

Omar pergi duluan meninggalkan mereka yang termangu. Tumben Omar mudah diajak pulang. Arsa berdiri hendak mengejar Omar. Asiyah sigap mencegah.

Kurang semenit kemudian, Arsa paham alasan Omar ingin pulang buru-buru. Anak berambut mangkok itu menghindari tanggung jawab membawa tas dan bingkisan ulang tahun.

"Dasar," desis Arsa saat mengambil alih bingkisan.

"Masih ada kotak lego. Biar aku bantu bawa." Asiyah masuk kamar dan kembali bersama kotak berisi lego besar.

Arsa mendesah. "Omar benar-benar mengerjai kita."

~~~
9/9/2022

Aku pernah ditanya, kapan nulis kakak kelas kimkim selain Omar. Waktu itu aku ga kepikiran siapa yang jadi kakak kelas Kimkim lagi. Dan ide itu datang. Kayaknya doa yang nanya kenceng banget sampai dikabulkan then semesta mengirimkan ide itu sebagai jawabannya. Aku bikin cerita kakak kelasnya Omar, Kimkim, Fatih, n si bayi supernya Gemintang.

Buat yang penasaran siapa tokoh bocil baru ini, kalian bisa mulai baca ceritanya di Grapefruit & Rosemary. Bocah ini tipikal anak yang jaooooh lebih ribet (di mataku) tapi super (di mata orang dewasa lain).

Mungkin rada heran sama penggambaran si anak. 😌 jawabanku, tunggulah anak ini muncul dan kenalan. Kalo Omar bikin aku harus bolak-balik baca terjemahan quran, hadist, dan sirah. Anak ini insya Allah bakal bikin aku (dan mungkin kamu) tahu something unrelated to my daily activities 🤯

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top