3
قُلْ اِنَّ الْفَضْلَ بِيَدِ اللّٰهِ...
Katakanlah: 'Sesungguhnya karunia itu di tangan Allah...'
(QS. Ali Imran: 73)
Daffa menginjak rem perlahan. Mobilnya berhenti beberapa meter dari belakang truk yang sedang membongkar muatan. Dia memandang rumah bercat kuning gading yang ramai oleh lalu lalang orang yang mengangkut perabotan. Ada rasa penat juga bimbang yang menggantung di benaknya sejak meninggalkan apartemen. Rasanya, baru kemarin dia memiliki keluarga. Seorang istri yang cantik, seorang anak berumur dua tahun yang menggemaskan, dan rumah yang hangat.
Rumah yang dia pandangi jelas bukanlah rumah yang dapat dia gambarkan hangat. Sebab tidak ada istri yang menantikan kedatangannya maupun senyuman bayinya.
Hanya dia.
Mulai hari ini, Daffa akan memulai segalanya sendirian. Bukannya dia belum pernah hidup sendirian. Genap lima tahun dia tinggal anak dan istrinya. Lima tahun mengurung hati di apartemen dan menjauhi keramaian, Daffa hapal rasanya kesendirian. Namun dia telah berjanji pada ibunya bahwa hari ini dia akan berubah. Dia akan pindah dari apartemen, mengurangi porsi kerja, dan kembali menjadi makhluk sosial.
Aneh rasanya memulai sebuah langkah baru dari pindah rumah ke kompleks yang tidak dia kenali. Bahkan rumah yang dia beli ini pun dia dapatkan pemasarannya dari Facebook tanpa perantara.
"Lucu," gumamnya masih dengan mata memandang arus pekerja dari jasa pindahan mengangkut perabotan masuk ke rumah barunya. Kegetiran terpampang dari senyumannya.
Kaca jendela pintu sebelah pengemudi diketuk pelan. Daffa tersentak. Dia segera menurunkan kaca jendela itu.
Seorang ibu berkerudung lebar melongokan kepala dari jendela. "Permisi, Dek. Kata yang angkut barang, Adek yang pindah ke rumah bekas Pak Cokro?" tanya ibu itu.
"Iya, saya. Ada apa, Bu?" Daffa heran karena dia sudah dihampiri orang asing di awal kepindahannya.
"Ibu mau minta tolong ambilkan layangan di taman samping. Kemarin sore nyangkut."
"Layangan?" Daffa tidak bisa menahan keheranannya lagi. Dia turun dari mobil sedan dan berputar menghampiri ibu itu. "Layangan seperti apa?"
"Layangan putih ada gambarnya. Gambar Po..." Ibu itu mengernyit saat berpikir. "Ibu lupa namanya. Gambar anjing hijau gitu."
"Ibu bisa ikut saya ke pekarangan. Di mana layangannya tersangkut."
"Iya, Dek."
Daffa memimpin jalan ke pekarangan samping rumah yang berada di sisi lain carport. Ini adalah kali kedua Daffa menginjakkan kakinya di rumah ini. Pertama kali sewaktu melihat-lihat bersama ibunya.
"Nah, itu layangannya." Si ibu berseru sambil menunjuk ke pohon di pekarangan.
Air wajah Daffa keruh seketika. Jika semula dia mengira hanya satu layangan di pohon, nyatanya ada tiga layangan putih menyangkut di pohon itu. Membuatnya bertanya-tanya bagaimana bisa tiga layangan sekaligus sampai ke pekarangannya.
"Layangannya yang mana, Bu?"
"Ada gambar anjing hijaunya."
Dari tempat mereka berdiri, tidak satu pun layangan itu terlihat gambarnya. Pohon nangka itu cukup tinggi dan layangan tersangkut di sisi atas pohon.
Daffa sudah lama tidak bermain di pohon, tapi enggan mencari tangga untuk naik pohon. "Gimana cara ngambilnya?" gumamnya.
"Ibu pinjam galah sebentar di Pak Amin."
Ibu itu melesat keluar sebelum Daffa sempat mencegah. Daffa memandang si ibu yang pergi ke rumah tetangga. Kemudian dia tersenyum tipis. Barangkali ucapan ibunya benar kalau lingkungan rumah barunya nyaman.
"Ini, Dek." Si ibu telah kembali bersama galah panjang yang ujungnya ada keranjang rotan kecil seukuran mangga.
"Biar saya aja, Bu." Daffa mengambil alih galah si ibu. Dia berusaha menyodok layangan yang terdekat. Satu kali usaha dan layangan itu jatuh. Si ibu bergegas mengambil layangan jatuh.
"Bukan ini, Dek. Kayaknya ini layangan temannya. Coba yang sebelah situ."
Daffa menyodok layangan lain yang ada di ujung terjauh dari batang pohon. Perlu beberapa kali usaha untuknya sampai berhasil melepaskan layangan yang tersangkut.
"Apa yang ini, Bu?" Daffa menyerahkan layangan yang jatuh dekat kakinya.
Si ibu mengamati lama layangan itu, lalu menggeleng. "Warna anjingnya hijau, Dek."
Daffa mencoba layangan terakhir. Kali ini lumayan mudah, tapi tidak semudah yang pertama. Layangan jatuh persis di dekat kaki Daffa. Dia memungutnya. Sesaat Daffa mengamati layangan itu. "Kayaknya bukan yang ini, Bu. Hijau aja, nggak ada gambar anjingnya," kata Daffa dengan menyesal.
Si ibu mengambil layangan itu sembari tersenyum. "Justru ini yang ibu cari."
"Apa?" Daffa membelalak.
"Ini anjing yang digambar, Dek." Si ibu menunjuk gambar lingkaran agak lonjong warna hijau di tengah layangan yang diberi dua titik.
"Yang gambar anak empat tahun." Si ibu berusaha menjelaskan. "Begini deh hasil gambarnya."
Daffa hanya mengangguk sekali. Dia memandang 'anjing' di layangan sekali lagi. Senyumannya terbit, meski tipis.
"Mau mampir ke rumah Ibu? Biar Ibu siapkan minum."
"Ibu tinggal dimana?"
"Di seberang. Yang itu."
Daffa memerhatikan rumah asri di seberang rumahnya. Kesan rumah yang hangat seketika muncul di benaknya.
"Ibu ada jual sarapan juga. Kalau suka nasi uduk, nanti Ibu bawakan," kata si ibu.
"Nggak usah, Bu. Biar saya beli saja nanti."
Si ibu tersenyum lembut. "Adek sudah kenal Pak RT di sini?"
"Belum, Bu."
"Kalau mau, Ibu ajak kenalan sekalian mengembalikan galah Pak RT."
Daffa melirik galah di tangannya. "Jadi, Pak Amin itu Pak RT?" tanya Daffa mengambil kesimpulan.
"Iya. Pak Amin ketua RT sini. Rumahnya di situ. Ayo dikenalkan."
Entah angin dari mana, Daffa nyaman bersama ibu itu. "Maaf sebelumnya. Saya belum tahu nama Ibu."
Si ibu terkejut, lantas tertawa kecil. "Saya sudah ganggu Adek ternyata kita belum kenalan. Saya Bu Atun. Nama Adek siapa?"
"Saya Daffa."
"Dek Daffa, mari ikut Ibu. Sekalian kita mengembalikan galah Pak Amin."
Daffa mengikuti Atun. Dia mengembalikan galah dan berkenalan dengan Amin, seorang pria ramah. Selepas beramah tamah dengan Amin, Atun mengajak Daffa berkunjung sebentar ke rumahnya.
"Dek Daffa tunggu di sini sebentar. Biar Ibu siapkan minum. Sekalian Ibu gorengkan pisang."
"Nggak perlu merepotkan Ibu. Saya hanya sebentar sambil menunggu barang-barang saya diangkut turun," tolak Daffa.
"Jangan sungkan. Goreng pisang sebentar kok. Duduk di teras dulu."
Sekali lagi, Daffa gagal mencegah Atun pergi. Perempuan tua itu gesit sekali. Tidak tahu mau berbuat apa, dia duduk di kursi panjang yang ada di teras. Dibuat dari potongan bambu yang menambah suasana asri rumah tersebut.
"Hangat," nilai Daffa usai menyisir taman depan rumah Atun yang dipenuhi tanaman.
Sebuah mobil SUV hitam menepi ke depan rumah Atun. Dari pintu sebelah pengemudi, seorang anak laki-laki melompat turun. Daffa memerhatikan anak itu. Ada sesuatu yang memikat dari gerak-gerik si anak. Bahkan suara omelan si anak yang terdengar hingga tempatnya duduk terasa menyenangkan.
Anak itu menutup pintu mobil, berbalik membuka gerbang kecil rumah Atun, dan masuk. Daffa menantikan sosok anak itu mendekat. Sesuatu tentang anak itu memaku hatinya. Rambut berbentuk mangkok, wajah gempal kemerahan, dan ekspresi jengkel yang menggelitik untuk digoda. Daffa sadar anak itu menariknya pada rasa nyaman yang lama dia lupakan.
"Assalamualaikum- eh, siapa kamu?" Anak itu terperanjat menyadari keberadaan Daffa.
"Om namanya Daffa. Itu rumah Om Daffa," sela Atun yang datang bersama nampan berisi gelas dan teko.
"Om yang isi rumah Mbah Cokro?"
Rambut mangkok anak itu bergoyang saat dia melompat mendekati kursi Daffa. Tingkahnya diam-diam menggelitik perasaan Daffa.
"Kamu kenalan dulu dong. Siapa nama kamu." Atun kembali menegur anak itu yang ditebak Daffa belum menginjak usia SD.
"Aku Omar. Om suka English?" Omar bertanya hati-hati.
"Om bisa say sorry and thank you," goda Daffa. Dia tidak bisa lagi menahan diri untuk menggoda si anak.
"Well, I did so. I'm good at say sorry and thank you. Ustad Udin said we must say sorry if we did something wrong. It's not bad to say sorry. We don't lose anything. Allah will be happy to see us admitting our mistake. And thank you also good to appreciate people," oceh Omar.
"Wah, menarik banget," puji Daffa tulus.
"Makanya sholat ama Ustad Udin," balas Omar dengan nada bak model iklan yang persuasif.
"Sudah sana, kamu ganti baju." Atun yang teringat jadwal Omar segera memerintah.
"Siap, Nyaik!"
Omar berlari ke dalam rumah. Pandangan Daffa mengekori Omar hingga lenyap di balik pintu rumah. Bahkan setelah Omar menghilang, senyum Daffa masih melekat.
"Assalamualaikum."
Suara feminim mengalihkan perhatian Daffa. Kali ini seorang perempuan cantik berhijab. Daffa membalas salam itu dengan wajah terpanah sekejap.
"Asi, ini Dek Daffa yang pindah ke rumah depan. Dek, ini anak Ibu namanya Asiyah," Atun memperkenalkan.
"Saya biasa dipanggil Asi, Mas Daffa." Asiyah bertutur santun.
"Iya, Mbak. Sepertinya lebih muda dari saya. Apa nggak masalah saya panggil tanpa mbak?"
"Boleh, Mas."
Atun menyela, "Asi, di dalam ada Omar. Coba kamu lihat dia di kamar."
"Omar." Raut wajah Asi penuh binar. Dia pamit ke dalam rumah.
Daffa di kursinya menghela napas sembari berkata dalam hati, Asi pasti ibunya Omar.
###
17/04/2021
Aku hari ini nggak bisa update pas sahur padahal sahur soalnya aku belum selesai ngetik ;(
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top