28
Bab 28
Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kami akan memberinya pahala yang besar."
(Q.S. an-Nisaa'[4]: 114).
♥
"Hilda!"
Asiyah dan Hilda tersentak oleh suara penuh amarah itu. Mereka berbalik badan kompak.
Munaroh turun dari taksi tergesa-gesa. Di belakangnya, Ifah menyusul turun.
"Mama?" Hilda berdesis dengan mata membelalak.
"Ngapain kamu di sini?" tanya Munaroh.
"A-aku, aku mau ke rumah Kak Asi." Hilda melirik Asiyah memohon bantuan.
"Iya, Bu. Hilda-"
"Alah, kamu hanya beralasan saja," sergah Munaroh. Dia mengibaskan tangannya di depan Asiyah kasar. Badannya yang tinggi dan besar membuat Asiyah yang kurus agak gentar.
"Nggak, Ma."
"Mama tahu kamu ke sini buat ketemu cowok songong itu lagi. Nggak cukup kamu dipermalukan?" Munaroh melotot.
Asiyah bingung menengahi Munaroh dan Hilda. Dia mengenal Munaroh sebagai bidan yang ramah dan ceria, bukannya seorang perempuan yang berbicara dalam intonasi tinggi.
"Ma, aku perlu minta maaf ke Arsa karena-"
"Kamu tuh tolol banget jadi cewek. Sudah dipermainkan, masih saja mengejar bocah itu. Nggak ada belajarnya. Nggak bisa mikir kamu harus jaga diri, hah? Mau bikin malu orang tua lagi?" Munaroh menunjuk-nunjuk Hilda.
Hilda menciut. Asiyah kasihan, tapi bingung.
"Mungkin diajari, makanya berani melawan. Siapa yang ajari kamu, Hilda?" Ifah, perempuan yang umurnya sama dengan Munaroh, berbicara.
"Nggak, Tante. Hilda nggak diajari siapa-siapa. Hilda ke sini karena keinginan Hilda sendiri," sahut Hilda buru-buru.
"Kamu kapan pinternya sih? Dikuliahkan, bukan tambah pintar malah tambah bego." Munaroh menggeleng. Matanya yang melotot masih diarahkan pada Hilda.
Ifah melirik Asiyah. "Benar, bukan diajari?"
Asiyah menangkap maksud Ifah. Dia marah, ingin membalas, tapi takut. Dia belum pernah dihadapkan pada kemarahan ibu-ibu.
"Kamu pulang sama Mama," putus Munaroh.
"Tapi, Ma..."
"Mau apa lagi? Ketemu cowok itu? Apa kamu mengemis perhatian ke dia lewat ponakannya lagi?"
"Ma! Stop! Aku sudah refleksi kesalahanku. Nggak usah diungkit lagi."
Asiyah terkejut melihat kemarahan Hilda.
Munaroh bertambah murka. "Berani kamu ya bentak-bentak orang tua. Sudah ngerasa besar, besar kepala juga. Jangan karena kamu mau nikah, kamu bisa bersikap kurang ajar sama orang tua."
"Hilda, jangan begitu sama ibu kamu." Ifah melirik Asiyah. "Nanti hidup kamu nggak berkah kalau kasar ke orang tua. Ada banyak contohnya."
Mengapa Asiyah merasa Ifah sedang menyindirnya?
Hilda menunduk. Dia belum ingin mengalah pada ibunya. "Mama berhenti menuduh Arsa. Aku sudah jelaskan masalahnya."
"Apa yang kamu jelaskan itu nggak benar. Kamu mau nuduh Mama sudah dibodohi? Pulang sekarang." Munaroh menoleh ke Asiyah. "Kamu jangan ikut campur urusan orang. Mentang-mentang jaga Omar, bertingkah kamu."
"Maksud Ibu apa?" Asiyah mengernyit.
"Anak kecil berantem itu wajar. Jangan dibawa ke urusan orang tua. Buat apa kamu omongin ke Arsa? Bikin ribet orang aja. Urus urusan kamu sendiri. Gimana kamu bisa punya rumah tangga bener kalau kamu saja hidupnya nggak benar. Pantas jodohmu laki-laki nggak baik. Hatimu sendiri masih busuk. Berjilbab, tapi nggak bisa jaga mulut," serang Munaroh.
"Maksud Bu Munaroh apa ya? Saya nggak ada urusan di sini. Saya orang luar, nggak mencampuri urusan orang." Asiyah mengepalkan tangannya menahan geram diserang tanpa alasan.
"Kamu pikir sendiri saja. Kamu itu yang bikin masalah anak-anak jadi membesar. Menurut kamu, apa yang saya maksud?" Munaroh melotot marah.
"Ma, Kak Asi nggak salah." Hilda memegang lengan Munaroh.
"Kamu masih kecil, Hilda. Bisa salah mengenali orang yang pura-pura baik," kata Ifah.
"Sejak tadi Bu Ifah kenapa seperti punya masalah ke saya. Memangnya salah saya apa?" Asiyah berbalik ke Munaroh. Dia takut tadi, kini pikirannya dipenuhi keinginan mempertahankan diri. "Kenapa Bu Munaroh nggak jelaskan masalah apa yang sudah saya buat?"
"Kamu itu ngadu ke Arsa soal Omar dan Harry. Dasar perempuan jahat. Mau bikin masalah anak-anak jadi membesar biar orang-orang pada ribut. Kamu ternyata jahat sekali. Atun salah didik kamu, apa kamu yang dasarnya jahat?" Munaroh menunjuk-nunjuk Asiyah.
"Bu, saya melaporkan apa yang terjadi sama Omar karena Arsa berhak tahu. Dia omnya Omar."
"Ngapain pertengkaran kecil anak-anak dilaporkan segala. Memangnya kamu yang ingin masalah membesar."
"Saya lapor karena Harry menuduh Omar menyebabkan Hilda nikah sama orang tua. Apa salahnya saya kasih tahu ke Arsa?"
"Dasar ember bocor kamu. Baru pindah ke sini lagi, bikin masalah aja. Harry itu cuma asal ceplas-ceplos, buat apa dibesar-besarkan? Mau lihat orang jadi ribut?" Ifah yang membalas.
"Saya malah nggak ingin ada salah paham di kemudian hari."
"Mulut kamu pintar sekali. Tapi orang-orang bisa lihat sendiri. Hidupmu berantakan. Kamu cerai karena jodohmu orang nggak benar. Jodoh itu cerminan diri. Lihat cermin dirimu. Cerai kamu karena dia mau nikah sama perempuan lebih muda. Kamu dibuang pasti ada alasannya," Munaroh lagi-lagi melempar kata-kata yang menyilet hati Asiyah.
Hati Asiyah bagaikan lahar panas yang meletup-letup. Panasnya membakar sampai ke ubun-ubun.
"Bu Munaroh pintar menilai hidup orang, tapi salah menilai perasaan Arsa. Dia nggak pernah suka sama anak Ibu. Selama ini Ibu hanya salah menilai," serang balik Asiyah.
"Kamu kurang ajar ya." Munaroh mengangkat tangannya cepat hingga mendarat di pipi Asiyah. "Anak kurang ajar. Nggak pernah dididik benar, hancur hidupnya. Atun pantas menyesal punya anak yang mulutnya tajam kayak kamu."
Asiyah memegang pipinya yang kena tampar. Dadanya disesaki amarah. "Ibu pikir mulut Ibu nggak tajam?"
"Dasar kamu...."
Hilda menangkap tangan Munaroh yang akan melayang lagi. "Ma, jangan begini," mohon Hilda.
"Kamu masuk mobil. Jangan urusi. Mama perlu kasih pelajaran yang nggak didapat anak ini dari orang tuanya."
"Ma, jaga tangan Mama. Kak Asi nggak pantas ditampar. Hilda yang salah. Hilda yang harusnya ditampar Mama."
"Kamu...." Munaroh menggeram. Kemudian berbalik ke taksi.
"Kak, maafin Mama," kata Hilda.
Asiyah diam, masih memegang pipi kiri. Hilda memutuskan menyusul Munaroh ke taksi.
"Kamu perbaiki diri. Jangan banyak bicara. Kamu sendiri yang kena tampar, kan?" Ifah pergi usai berbicara.
Asiyah begitu marah. Saking marahnya, dia sampai merasakan dadanya sesak. Dia ingin membentak balik, menyerang balik, menyumpah, dan mengutuk. Namun air matanya yang mengalir menggantikan segala emosi yang digodok dalam hati.
Taksi itu melenggang dari sana. Dan Asiyah merasa begitu buruk. Hidupnya dinilai hancur di mata orang lain karena pasangannya meninggalkannya untuk perempuan lain. Hingga timbul pertanyaan di benaknya.
Dia mendapatkan jodoh sesuai cerminan dirinya. Apakah dia memang pantas mendapatkan pria seperti mantan suaminya?
~~~
17/08/2022
Aku kirim semangat kemerdekaan lewat cerita Kak Asi. Semoga yang ikut lomba 17an menang :)
~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top