23

Bab 23

نِّعْمَةً مِّنْ عِندِنَا ۚ كَذَٰلِكَ نَجْزِى مَن شَكَرَ

ni'matam min 'indinā, każālika najzī man syakar

Artinya: “sebagai nikmat dari Kami. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur (QS. Al Qamar: 35)

Omar menarik tangan Asiyah ke rumahnya. Atun mengikuti pelan-pelan di belakang. Dia tidak lagi kuat mengikuti langkah anak kecil penuh semangat itu. Biarlah Asiyah yang menangani semangat Omar.

"Here you go!" seru Omar layaknya pemandu. Wajahnya dipenuhi kebahagiaan saat merentangkan tangan memamerkan city car warna merah yang parkir di carport berdampingan mobil SUV milik Arsa.

"My car," tambahnya bangga.

Asiyah melirik Arsa yang duduk di pinggir lantai teras yang terpisah tiga anak tangga dari carport. Pemuda itu terlihat santai menerima dua tetangga mereka datang berkunjung di malam hari.

"Ini mobilnya Ajeng?" Atun memerhatikan mobil itu dengan kening mengerut.

"Yes! Mobilnya my mom." Omar melompat-lompat memutar ke pintu pengemudi.

"Baru balik dari bengkel. Dicek kondisi sekalian ganti oli." Arsa bergabung dengan Asiyah dan Atun.

"Kamu benar-benar mau pakai mobil ini untuk jemput Omar?" Asiyah merasa pemborosan jika menggunakan mobil dan sopir untuk jemput Omar pulang. Dia masih sanggup menjemput Omar menggunakan taksi.

"Nggak masalah. Lebih nyaman dengan mobil sendiri. Sopirnya sudah siap. Kamu kenal Pak Jaja?"

"Pak Jaja?"

"Yang tinggal di belakang kompleks?" Atun menyahut.

Arsa mengangguk kalem. "Pak Jaja akan antar kamu ke sekolah."

"Pak Jaja terkenal di sini. Enak bawa mobilnya. Kapan kamu ngomong ke Pak Jaja, Ar?" Atun kembali berbicara.

"Saya telepon Pak Jaja. Dia langsung OK. Dia juga yang bawa mobil ke bengkel tadi pagi. Besok dia sudah mulai kerja. Nanti aku titip kunci rumah ke kamu." Arsa melirik Asiyah.

Asiyah mengiyakan tanpa gairah. Arsa sulit diajak kompromi saat dia sudah membuat keputusan. Benar-benar keras kepala, nilainya. Beberapa tahun tidak bertemu, Asiyah nyaris tidak mengenali perangai Arsa. Padahal dulu Arsa sangat penurut

"Do you wanna have a ride?" Omar melongokan kepala dari jendela pengemudi. Entah sejak kapan dia masuk ke dalam mobil.

"Kamu mau nyetir?" canda Atun.

"It's impossible. Perhaps someday I'll ride it by myself." Omar tersenyum geli. Dia tampak lebih bijak dan Asiyah terpukau. Omar menoleh ke Arsa. "Om Acha, ayo kita ke depan kompleks. Jajan!"

"Memangnya kamu masih mau makan? Sudah malam, mending tidur." Arsa menggeleng tak habis pikir.

"Just make it ecepcyen..." Omar meragu pada pelafalan kata terakhir.

"Exceptional," koreksi Arsa.

"Yes." Omar terkikik. Dia tidak malu mengakui kesalahannya, malah menertawakannya.

"Sekali ini saja ya." Arsa memperingatkan.

Omar mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi.

"Bu Atun mau ikut?" Arsa mengajak dengan sopan.

Atun menggeleng. "Mau nonton TV aja di rumah. Ada DVD Turki baru."

"Nyaik nonton drama Turki terus." Omar menepuk keningnya hiperbola, lalu menggeleng.

Atun hanya tersenyum menyikapi Omar. "Omar juga senang nonton sama Nyaik tadi sore."

"Habisnya di TV Nyaik nggak ada Paw Patrol. Can we move our TV to Nyaik's house?"

Arsa yang mendekati pintu pengemudi menggeleng. "Kalau TV kita dipindah ke sebelah, gimana kamu mau nonton di rumah."

"Yah Om pindahin lagi ke rumah kita."

"Menyusahkan, Omar. Lagian kamu dititip ke rumah Nyaik buat belajar, bukan ikutan nonton."

"Belajar melulu." Bibir Omar mengerucut.

Arsa mendengkuskan tawa. Dia membuka pintu pengemudi. Sebelum masuk, dia menoleh ke Asiyah. "Ayo ikut," katanya.

Asiyah tersentak. Omar muncul di jendela penumpang belakang. "Kak Asi, come in. Faster. Aku mau jajan mi goreng nih."

"Jajan tuh yang enteng. Kue pancong gitu."

"Mau mi goreng, Oooom."

Asiyah melirik Atun. Dia meminta izin tanpa bersuara. Atun mengangguk memberikan izin. Mendapati izin ibunya, Asiyah naik ke kursi belakang.

Atun kembali ke rumahnya. Arsa membawa mobilnya keluar, lalu balik untuk menutup gerbang rumahnya.

OoO

Mata Asiyah membesar melihat keramaian yang asing baginya. Selama ini dia sering melihat deretan ruko di seberang kompleks, tapi belum pernah ke sini pada malam hari. Siapa yang menyangka pada malam hari akan ramai oleh pedagang kaki lima yang membangun tenda. Banyak orang yang mampir untuk makan dan jajan.

"Nggak nyangka tempat ini ramai banget," kata Asiyah. Tangannya digenggam Omar. Dia tersenyum menerima sikap manis Omar.

"Sejak ruko jadi, tempat ini kadang seperti pasar malam. Ada yang berjualan barang-barang di parkiran. Bukan hanya penjual makanan," jawab Arsa. Dia berjalan di belakang mereka.

Asiyah menoleh. "Kita mau beli apa?"

"Mi goreng!" seru Omar tak sabaran.

"Mi goreng di ujung sana. Jalan saja lurus." Arsa menunjuk ke depan.

Asiyah mengangguk.

"Kamu mau makan apa?" tanya Arsa.

"Apa saja." Asiyah belum terbiasa dengan peniadaan sebutan 'Kakak' yang dilakukan Arsa. Rasa-rasanya seperti ada yang hilang dan mengganjal.

"Ar, gimana kalau kamu panggil aku Kak Asi sama kayak Omar?" usul Asiyah. "Di sekolah juga kamu mengenalkan aku begitu."

"Kalau gitu kamu panggil aku Om Acha?" Arsa mengulum senyum geli.

Asiyah malu sendiri kalau mengikuti cara kekanakan Omar memanggil Arsa. "Omar kenapa masih manggil Om Acha? Kan sudah pintar bicara, bisa panggil nama dengan baik."

Omar mendongak. Matanya yang bulat dan besar tampak berbinar. "It's my way to show my love." Dia tersenyum miring penuh gaya.

Alih-alih terkesima pada gaya Omar, Asiyah tertawa kecil. Omar mendelik tidak suka. "Maaf, maaf. Kak Asi kaget karena kamu punya alasan seperti itu."

"What's wrong? People should express their love. Miss Gendis kayak gitu."

"Gimana Miss Gendis expressed her love?" Asiyah selalu penasaran pada guru Omar itu. Perempuan yang cantik, pintar, dan sangat handal mengendalikan anak-anak.

"She's angry because she loves us. She teached us sight words because she love us more than yesterday. She shared cookies because she loves us. She asked to clean up, eat, drink, change clothes because she loves us most," oceh Omar.

"Does it mean I love you most since I ask you sholat everyday?" Arsa menggoda Omar.

Omar melirik Arsa kesal. "You love me when you buy me toys," desisnya.

"What?" Arsa membelalak.

"Ayo kabur!" Omar menarik tangan Asiyah. "Om Acha jadi buyaya galak!"

"Buyaya?" Asiyah geli pada pelafalan Omar yang tumben salah.

"Faster, Kak!" Omar terus menarik Asiyah.

Arsa tidak repot-repot berlari mengejar. Dia hanya mempercepat langkahnya. Kakinya jauh lebih panjang dari kaki Omar dan Asiyah. Bukan hal yang sulit mengejar mereka berdua.

Omar berlari sambil menoleh ke belakang. Dia takut tertangkap Arsa. Tawanya menggema saking bahagia.

"Awas-"

"Aduh!"

Omar terpental. Untung badannya ditangkap pria yang ditabrak Omar.

"Hati-hati," pesan si pria.

"Maaf ya, Pa...." Asiyah teperanjat mengetahui siapa korban Omar. "Mas Daffa?"

"Asiyah? Omar?" Daffa memandang mereka bergantian.

Omar merasa punya tanggung jawab mengenalkan satu orang lagi. "Om Acha," katanya sambil menunjuk Arsa.

Daffa mengangkat wajah. Kegembiraan yang merayapi wajahnya berganti kecanggungan kala bertemu muka dengan Arsa. "Hai, Ar," sapanya kaku.

"Kebetulan sekali ketemu Mas Daffa," balas Arsa. Dia melirik bungkusan di tangan Daffa. "Beli makan, Mas?"

"Iya nih. Kalian?"

"Mau beli mi goreng," jawab Omar. Dia suka berbicara dengan Daffa. "Om Daffa mau mi goreng juga?"

Daffa menggeleng. "Om sudah beli pecel ayam."

"Pecel ayam juga enak. I ever eaten pecel ayam. It's yummy. Om Daffa minta goreng kriuk kriuk gitu. Makannya pakai nasi uduk."

"Iya." Daffa mengelus kepala Omar dengan lembut.

Asiyah melihat kasih sayang Daffa kepada Omar. Semudah itu Omar memanen cinta orang-orang.

"Jangan ganggu Om Daffa," celetuk Arsa.

"Om Daffa likes talking with me," Omar membalas tidak terima.

Arsa beralih ke Daffa. "Kalau Omar berisik, minta diam saja, Mas. Jangan ragu."

"Nggak kok. Saya malah senang ngobrol sama Omar." Daffa tertawa kecil.

Arsa tersenyum. "Kalau gitu, kami duluan ya."

Daffa mengangguk singkat.

"Salam please," Omar mencegah.

Arsa menghela napas pendek. "Assalamualaikum, Mas Daffa."

"Assalamualaikum, Om," ucap Omar.

"Assalamualaikum, Mas." Asiyah ikut-ikutan. Dia tidak mau kena tegur Omar.

"Waalaikumsalam."

Arsa memimpin jalan. Omar kembali menggandeng Asiyah. Mereka mengikuti Arsa.

Asiyah merasa Daffa masih memandangi mereka. Dia menoleh. Benar dugaannya. Daffa tersenyum. Dia membalasnya singkat, lalu balik berjalan ke depan.

~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top