22

Bab 22

بَلِ اللَّهَ فَاعْبُدْ وَكُنْ مِنَ الشَّاكِرِينَ

“Karena itu, maka hendaklah Allah saja kamu sembah dan hendaklah kamu termasuk orang-orang yang bersyukur.” (QS Az-Zumar: 66)

Sebuah jam tangan di dalam laci khusus ditarik dari tempatnya. Kemudian jam itu dipasang melingkar pada pergelangan tangan.

Daffa tersenyum puas melihat sentuhan terakhir penampilannya. Dia memutar lengannya, melihat jarum jam menunjuk angka sepuluh. Seperti kemarin, pikirnya.

Hari ini dia sengaja bekerja dari rumah, menepikan omelan Hendra yang kesal karena dia mendadak mengabarkan ingin datang ke kantor siang. Daffa bukannya bersikap seenaknya. Dia telah lebih dahulu memastikan jadwalnya bersih dari rapat dan hal-hal yang berkenan kehadiran fisiknya di sana.

Sekarang dia tinggal merapikan laptop dan bersiap ke luar rumah. Dia berharap keberuntungannya sebaik kemarin. Berangkat kerja bersama Asiyah.

Daffa meringis saat kakinya terantuk ujung lemari baru yang ada di luar kamar. Seharusnya dia merapikan lemari pendek itu ke suatu tempat, tetapi dia selalu lupa. Dia tidak membutuhkan lemari kayu itu. Hanya mamanya yang berkeras mengirim lemari tersebut.

"Harus pindahin ke kamar kosong nih," gumamnya. Telunjuknya mengetuk lemari itu.

Dia teringat laptop yang masih teronggok di atas meja dapur. Dia segera ke sana, menutup laptop, lalu memasukan dalam tas.

Ponsel di atas meja menarik perhatian. Dia belum mengabarkan Asiyah kalau hari ini dia memiliki waktu luang untuk mengantarnya ke sekolah Omar. Bagaimana bisa dia lupa sudah menyimpan nomor ponsel perempuan itu?

Dasar tua, ejeknya pada diri sendiri.

Dia menyambar ponsel. Sebelum sempat mengetik, layar ponselnya berubah. Bibirnya mendesiskan kejengkelan. Mau tak mau dia menggeser ikon hijau, menempelkan ponsel ke telinga kanan, dan berujar, "Halo, Ma. Kenapa?"

"Kamu masih di rumah?"

Daffa terdiam saking kagetnya.

"Mama ke kantor kamu bareng Gina. Malah kamu nggak ada. Hendra bilang kamu masih di rumah. Ngapain?"

Daffa mengusap wajahnya gemas. Ibunya masih melanjutkan aksi mak comblang dengan perempuan kemarin. Padahal Daffa sudah menolak pedekate yang ibunya lancarkan begitu tahu berapa umur perempuan itu. Dua puluh lima tahun terlalu belia baginya.

"Aku ingin istirahat agak lama di rumah, baru berangkat ke kantor. Hendra tahu kok." Daffa kembali melanjutkan kegiatan beres-beres berkas kantor ke tas ransel.

"Mama kaget karena kamu nggak bilang akan masuk siang. Tahu gitu Mama ajak Gina ke rumah kamu sekalian lihat-lihat rumah baru kamu itu. Apa kamu sudah rapikan lemari yang Mama kirim?"

Daffa melirik lemari pendek penyebab kaki kanannya nyeri. "Mama beli furnitur buat rumah Mama saja. Nggak usah kirim ke rumahku. Lemari yang Mama kasih mencolok sekali di sini."

Lemari itu beraksen ukir dengan warna cokelat muda yang berbeda dari perabotan Daffa yang sebagian besar berwarna cokelat tua dan hitam dengan aksen tegas berupa siku. Rasanya seperti ada yang salah kostum di pesta.

"Rumah kamu itu monoton banget. Dinding putih, furnitur gelap-gelap. Mama ingin kasih kesan cerah dengan lemari itu."

Daffa malas beradu pendapat dengan ibunya. Dia menyampir tali ranselnya, lalu berjalan kembali ke kamar untuk mengambil kunci mobil. "Mama sudah pulang?" Daffa mengganti topik pembicaraan.

"Mama dan Gina berencana makan siang di restoran dekat kantor kamu. Sebaiknya kamu menyusul biar Gina nggak kelamaan nunggu kamu."

"Aku nggak punya janji makan sama dia." Daffa mengambil kunci di nakas dekat kasur.

"Kamu tuh gimana sih? Memangnya satu kali ketemu bisa bikin kamu tahu kamu cocok atau nggak sama Gina? Kamu harus bertemu beberapa kali biar kenal dan akrab."

"Ma, aku sudah bilang alasan aku nggak bisa sama dia. Lagian Mama nggak cek umurnya dulu?"

"Apa masalahnya kalau Gina lebih muda? Dia cantik, dewasa, dan keibuan. Mama yakin dia akan jadi pasangan yang sempurna buat kamu."

Mamanya terlalu sering yakin dengan perempuan-perempuan yang dilempar ke kencan buta sehingga Daffa semakin ragu pada penilaian mamanya sendiri. Seringkali perempuan-perempuan itu jauh dari deskripsi yang mamanya promosikan. Misalnya soal rajin masak. Daffa meragu pada penilaian itu saat melihat kuku bermanikur si perempuan. Dia tidak bisa membayangkan kuku yang dilapis cat itu mengolah masakan yang akan dimakannya. 

"Aku yang nggak yakin bisa jadi pasangan yang baik buatnya." Daffa mengubah taktik penolakan. Dia keluar kamar menuju ruang tamu.

"Memang apa kurangnya kamu?"

Betapa mengharukannya kasih sayang ibu, nilai Daffa dengan sinis.

"Ma, aku duda dan umurku jauh lebih tua," Daffa menjawab dengan sabar. Dia menyibak tirai untuk mengintip. Di seberang, Asiyah dan Atun berada di teras rumah mereka. Senyum Daffa merekah menemukan apa yang dicari persis di depan mata.

"Pria lajang dan duda nggak banyak bedanya. Umur kamu malah nilai tambah kamu. Oh, Gina sudah kembali dari toilet. Mama tutup dulu. Jangan lupa datang ke restoran ya."

Daffa baru membuka mulut dan mamanya sudah mematikan telepon. Dia mendengkuskan tawa. Mamanya sungguh ajaib. Bagaimana Daffa bisa tahu restoran yang dimaksud jika mamanya tidak menyebut nama restoran itu?

Dia masih bisa mengurus mamanya nanti. Dia menyimpan ponsel ke saku celana.

Atun dan Asiyah masih berbicara. Atun yang pertama menyadari kemunculan Daffa.

Daffa senang karena salah satu dari dua tetangganya menoleh. Asiyah ikut menoleh. Daffa mengangkat tangan. Dia bisa mengajak Asiyah pergi bersama dan meminta izin Atun sekaligus.

Yang mengejutkan, Asiyah tiba-tiba berlari ke arahnya. Daffa buru-buru mengunci rumahnya. Ketika dia berbalik, senyumnya layu menemukan Asiyah naik ke boncengan ojek online.

"Telat," desisnya.

-o-

"Aman?" Hendra menyambut kedatangan Daffa dengan pertanyaan.

Daffa menurunkan ransel ke meja kerjanya, lalu mendesah. "Nyokap gue bikin resek pas ke kantor?"

"Nggak sih." Suara Hendra menurun dan matanya menghindari Daffa. Dua indikasi bahwa Hendra tengah berbohong.

"Nyokap ngapain pas ke sini?"

Hendra mendesah, lalu menarik kursi di seberang meja Daffa untuk diduduki. "Tante mengenalkan cewek yang datang bareng dia. Namanya Gina, calon istri lo."

"Gosh." Daffa menepuk keningnya. "Ahli banget bikin masalah."

"Lo nggak bisa menyalahkan Tante juga. Dia ngomong ke gue alasan mengenalkan Gina ke karyawan kita."

"She tried to set boundaries between me and female workers. Ketara banget, Dra." Daffa melemparkan bokongnya ke kursi ergonomis. "Mau bikin malu."

"Tante bilang ada cewek sini yang dekati lo." Hendra tersenyum miris.

"Lo tahu siapa cewek itu?" Daffa menaikan sebelah alisnya. Hendra menggeleng. "Tania, Dra. Tania sekretaris gue."

Hendra memasang senyum kalem. "Kasih pengertian ke Tante biar nggak salah paham."

"Sudah dan ditolak. Katanya, firasat ibu. Dia nggak suka Tania dan nggak mau gue dekat-dekat Tania."

"Terus lo gimana?"

"Gue cueki. Mau gimana lagi? Kalau omongan nyokap diikuti, gue pasti diminta ganti Tania sama orang lain."

Hendra mengangguk. "Susah cari sekretaris yang bisa klop dan gesit kayak Tania."

"Bagi nyokap, masih ada banyak orang yang bisa gantikan Tania as if it's easy to find the perfect one. Nggak pernah kerja makanya menggampangkan semua." Daffa menggigit bibir bawahnya, menyesali ucapannya sendiri yang merendahkan mamanya. Dia merasa bersalah dan berharap mamanya tidak pernah tahu ucapan ini pernah terujar darinya.

"Gue nggak punya saran buat Tante. Yang penting lo selalu perhatiin Tante. Dia kepikiran lo terus. Tadi sempat ngobrol sebentar. Dia tanya gimana kerjaan lo dan lain-lain."

"Jawab sekenanya aja. Jangan lapor yang aneh-aneh," pinta Daffa serius.

Hendra mengangguk, lalu pergi dari ruangan itu.

Daffa menyandarkan kepalanya pada tangan yang menyatu di meja. Dia gagal pergi bersama Asiyah, diteror mamanya soal pasangan, dan dikenal orang-orang kantor sudah memiliki calon istri. Betapa gila hari yang dimilikinya.

###

08/05/2022

Aku mau ngasih tahu yang pengen baca duluan di Karyakarsa. Kalian bisa cek di profil Bebeklucu, terus klik KARYA abis itu klik kategori KEMBALI JATUH CINTA. Kalian bakal liat daftar bab yang tersedia kayak gini 👇 dan urutannya dari atas ke bawah itu dari bab yang terbaru ke yang terlama.

Semoga membantu ya 😊🙏

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top