21
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. (Qs Al Araf : 26)
♥
Asiyah memanggul tasnya, memeriksa penampilannya sekali lagi pada cermin, lalu tersenyum puas. Dia cukup rapi untuk menjemput Omar, meskipun pakaian dan barang-barang yang dibawanya tidak sebanding dengan para ibu yang menjemput anak-anak mereka di sana. Paling tidak dia masih layak dipandang, nilainya merendah.
Beberapa kali menjemput Omar, Asiyah merasa takjub melihat bagaimana para ibu masih bisa tampil menawan saat menjemput anak sekolah. Timbul keinginan memperbaiki diri kemudian. Asiyah bukannya iri pada kecantikan para ibu di sekolah Omar, melainkan terinspirasi. Jika ibu-ibu itu masih sempat menjaga penampilan selain menjaga anak, mengapa dia yang sendiri malah berpenampilan sembarangan?
"Kamu wangi sekali?" Atun muncul di ambang pintu kamar.
"Wanginya di sini. Begitu naik ojek, kena polusi dan terik matahari, aku sampai di sekolah Omar sudah bau," sahut Asiyah.
Atun tertawa kecil. "Memang risikonya naik motor begitu. Hari ini bisa pesan ojek?"
"Bisa, Bu. Sudah pesan kok. Abangnya lagi jalan ke sini."
"Alhamdulillah aman."
"Bu, salonnya Mami Rika masih buka?" Asiyah keluar kamar mengikuti ibunya.
"Sudah tutup sejak Mami Rika masuk rumah sakit. Dia kena stroke. Kamu mau nyalon?" Atun melirik sekilas.
Asiyah bersemu. "Sudah lama nggak dipijat. Asi langsung ingat Mami Rika jago pijat wajah."
"Ibu dengar dari Sri ada salon baru di seberang kompleks. Kamu lihat ada ruko-ruko baru, kan?"
Asiyah mengangguk.
"Sri bilang, di situ ada salon bagus. Harganya juga murah karena baru buka."
"Bisa buat muslimah?" Asiyah kepikiran situasinya yang tidak bisa ke semua salon. Ada hijab yang mesti dia pertimbangan.
"Ibu nggak tahu. Mana Ibu pergi ke salon. Kalau pegal, Ibu biasa panggil Mak Sati. Kalau mau, nanti Ibu tanyakan bisa atau nggak Mak Sati pijat wajah."
Asiyah ingat siapa Mak Sati. Langganan pijat ibu-ibu kompleks karena kehandalannya serta tenaganya. Tapi Mak Sati biasa memijat badan, bukan wajah.
"Nggak usah, Bu. Biar Asi cari salon lain."
"Kamu kenapa tiba-tiba ingin perawatan wajah?" Atun menyipitkan matanya.
Asiyah tidak ingin berbohong. Di sisi lain, dia masih malu mengaku. "Mau perawatan saja," jawabnya. Dia memilih jawaban aman.
"Bukan karena kamu ingin cantik seperti ibu-ibu di sekolah Omar, kan?"
Masya Allah, Asiyah berseru dalam hati.
Bagaimana bisa ibunya menebak tepat sasaran?
"Gimana Ibu tahu kalau ibu-ibu di sekolah Omar cantik?"
Atun tertawa kecil. Mereka telah tiba di teras. Dia duduk di kursi kayu sebelum balas bertanya, "Menurut kamu dari mana Ibu tahu?"
"Omar," duga Asiyah.
"Anak itu banyak cerita. Ibu sampai tahu banyak tentang sekolah Omar yah dari cerita dia sendiri." Atun mendongak ke Asiyah yang berdiri di dekatnya. "Asi, Ibu nggak apa-apa kalau kamu mau tampil cantik, tapi jangan berlebihan. Penampilan mereka bisa begitu karena mereka mampu."
"Aku tahu, Bu. Aku nggak akan pergi ke salon mahal. Hanya salon biasa. Aku juga sadar diri nggak akan bisa secantik mereka." Asiyah teringat betapa mempesonanya dua ibu dari sahabat Omar. Hati kecilnya merasakan pahit karena mengakui ketidakmampuan diri untuk bersanding seujung kuku dengan mereka.
"Maksud Ibu mengingatkan kamu jangan berlebihan agar kamu nggak memaksakan diri. Bukannya Ibu bermasalah soal uang. Kalau kamu mampu membayarnya, silakan saja. Ibu nggak masalah. Tapi tetap tahu batasannya."
"Iya, Bu. Asi lihat mereka dari sisi positifnya. Mereka sudah jadi ibu, tapi masih bisa merawat diri. Lihat Asi. Di rumah saja, tapi nggak rapi."
Atun tertawa lagi. Dia menepuk lengan Asiyah lembut. "Kamu tuh kayak nggak tahu ibu-ibu kaya. Mana repot mereka urus dapur dan cucian kayak kamu. Mereka mungkin nggak perlu sibuk mengurus anak seperti ibu-ibu di sekitar kita. Waktu mereka bisa dipakai untuk merawat diri."
Asiyah pernah berpikir demikian mengenai ibu-ibu dari kalangan atas. Namun pendapatnya terkikis setelah dia beberapa kali mengobrol dengan mami Oscar dan mami Oliver. Mereka memang tidak mengurus rumah secara langsung karena memiliki usaha, tetapi mereka masih ambil bagian dalam mengasuh anak seperti menjemput sekolah dan belajar di rumah karena anak-anak mereka tidak memiliki suster khusus. Baginya, kedua ibu itu tetap hebat karena bisa membagi waktu antara anak, pekerjaan, dan kebutuhan pribadi.
"Asi mau lihat sisi positifnya mereka tetap bisa cantik sebagai ibu," kata Asiyah. Dia tidak menyalahkan pendapat ibunya. Di sisi lain, dia juga tidak ingin membela.
"Ya sudah. Wajar kok kamu mau tampil cantik. Semua perempuan begitu. Ibu saja sudah tua masih perlu gincu setiap pengajian, padahal yang lihat ibu-ibu juga."
Asiyah tertawa mendengar guyonan Atun.
"Loh ada Daffa? Tumben masih di rumah." Atun memanjangkan leher ke depan.
Asiyah menoleh. Dia melihat Daffa keluar rumah. Pria itu melambai ke arahnya yang bertepatan ojek pesanannya berhenti di depan rumah. Asiyah tidak menyadari lambaian Daffa. "Bu, Asi jalan ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
OoO
"You know this?" Omar menggoyangkan kunci di tangannya.
"Kunci apa itu?" Asiyah heran.
"My house." Omar menaikturunkan kedua alisnya dengan jenaka.
"Kenapa kunci rumah ada di kamu?"
"Om Acha not tell you?" Omar membelalak.
Asiyah menggeleng.
"He's not competent," keluh Omar bagai orang tua.
Asiyah masih sering takjub dengan kosakata Omar yang kaya. Dia baru pertama kali mengenal anak yang berbicara dua bahasa sefasih Omar.
"Mungkin Om Arsa lupa."
"He works too much. That's why he forgot easily. Kayak orang tua. Don't be like him. OK?"
Asiyah mengulum tawa. Dia penasaran bagaimana tanggapan Arsa jika tahu keponakannya sedang menjelek-jelekan dirinya di sini.
"Om Arsa kerja untuk-"
"Please! Don't say it!" Omar menyela.
"Memangnya Omar tahu apa yang mau Kak Asi bilang?" Asiyah membiasakan menyebut dirinya 'Kak Asi' dan memanggil nama ke Omar supaya terdengar sopan. Meskipun Omar lebih sering menggunakan aku dan kamu ke Asiyah.
"You wanna say gini..." Omar memutar duduknya menghadap Asiyah. "Om Acha kerja biar punya duit buat beli susu aku."
Sopir taksi nyaris menyemburkan tawa. Asiyah menoleh. Si sopir melirik. Mereka berbagi senyuman lewat spion tengah sekaligus berbagi pemahaman bahwa ucapan Omar konyol untuk ukuran anak kecil.
"Kamu dengar itu dari Om Acha?" tebak Asiyah.
"No way." Omar memutar matanya ke atas, lalu menyandarkan punggung pada jok.
"Terus kamu dengar dari siapa?"
"People keep telling me about it. They say I am lucky and else." Omar membuang pandangan ke jendela.
Asiyah mengamati suasana hati Omar yang mendadak berubah. Dia merasa bertanggung jawab untuk memperbaiki situasi ini. "Padahal Kak Asi nggak mau bilang Om Arsa kerja buat beliin susu kamu."
"Then?" Omar menantang.
Ini adalah kebohongan putih, pikir Asiyah.
"Om Arsa kerja buat punya banyak uang terus jajanin kita." Asiyah berbohong. Dia sebenarnya ingin mengatakan apa yang ditebak Omar tadi. Yang tidak disangkanya, Omar memiliki pengalaman buruk dengan analogi paling sering dipakai orang tua untuk memberi pemahaman mengenai kerja ke anak.
"Jajanin kita?" Mata Omar berbinar. Mendung di atas kepalanya menghilang.
Asiyah menunduk sedikit. "Jajan es krim?"
"Es krim." Omar mengulang kata itu dengan nada bahagia yang kentara.
"Mau makan es krim?"
"Mau!"
Asiyah lega karena dia berhasil menguasai situasi kembali. Hampir saja dia salah bicara dan membuat Omar bersedih.
Yang tersisa kini ialah rasa penasaran terhadap orang-orang yang menyebut Omar beruntung dan mengapa Omar sedih tiba-tiba. Asiyah harus bertanya ke Arsa.
~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top