18

Bab 18

هُوَ الْحَيُّ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ فَادْعُوْهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ۗ اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعٰلَمِيْنَ

Dialah yang hidup kekal, tidak ada tuhan selain Dia; maka sembahlah Dia dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya. Segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam.
(QS. Ghafir: 65)

Daffa baru saja keluar dari mobilnya untuk mengunci gerbang rumahnya dari luar saat dia melihat Asiyah keluar dari rumah. Dia berseru, "Asi!"

Asiyah berhenti, memutar wajahnya dari trotoar ke Daffa. "Baru berangkat, Mas?"

"Iya. Kamu mau ke mana?" Daff buru-buru mengunci gerbang rumahnya.

Asiyah yang santun yang sesuai penilaian Daffa menyeberang jalan supaya pembicaraan mereka tidak terhalang jalanan. Wajah Asiyah diselimuti senyum lembut. Daffa tertular senyuman itu.

"Mau jemput Omar," jawabnya.

"Jemput Omar?" Daffa telah lama tidak bertemu Omar. Pekerjaan mengambil alih waktunya sampai-sampai beberapa hari ini Daffa menginap di hotel dekat kantor.

"Iya, Mas."

"Apa kamu bantu Arsa jaga Omar?" Daffa bertanya hati-hati.

"Iya. Mulai hari ini aku yang jemput Omar pulang. Dia berangkat bareng Arsa."

Daffa menoleh ke belakang Asiyah. Kemudian kembali melihat Asiyah dengan ekspresi heran. "Mau naik apa ke sana?"

"Mau ke depan kompleks. Habis hujan, aplikasi ojek online aku bermasalah. Kayaknya mau naik ojek pangkalan saja."

"Daripada naik ojek, bareng saya saja. Dimana sekolah Omar?"

Asiyah tersenyum geli sambil menggeleng kecil. "Jauh, Mas. Di Jakarta Selatan. Dekat Blok M."

"Sejauh itu?" Daffa terang-terangan terkejut.

"Begitu deh." Asiyah mengangkat bahunya singkat, masih mengurai senyum yang sedap dilihat.

"Sekalian saja, Asi. Saya ada pekerjaan ke arah sana."

"Sungguh?"

Daffa mengangguk. Sebenarnya dia tidak mempunyai pekerjaan sampai ke daerah yang dituju Asiyah. Dia hanya perlu mampir ke daerah Simprug. Memutar agak jauh bukanlah masalah sebab occasion yang hendak dia datangi bukanlah atas kehendaknya, melainkan titah mamanya yang berkeras ingin menjodohkannya lewat makan siang bersama anak gadis kenalannya. Jika diberi pilihan, Daffa akan suka rela mengambil pekerjaan Asiyah menjemput Omar dibandingkan makan bersama perempuan asing dan harus bermanis sikap.

"Mas Daffa mau ke mana?" tanya Asiyah.

Daffa bisa melihat kesangsian di mata Asiyah. Dia belajar bahwa orang-orang seperti Asiyah akan menghargai kejujuran dibandingkan kebohongan putih. "Saya mau ke Simprug. Dekat ke Blok M," jawab Daffa.

"Kalau begitu, turunkan Asi di Simprug saja. Dari situ saya bisa naik ojek online."

"Kamu yakin? Saya bisa antar kamu sampai ke sekolah Omar. Jam segini jalanan pasti lancar."

"Nggak usah, Mas. Diantar sampai Simprug saja. Boleh, ya?"

Daffa mengalah. Dia mempersilakan Asiyah masuk ke mobilnya. Ketika perempuan itu membuka pintu penumpang di sisi pengemudi, Daffa teringat kenangan lama. Dia tersenyum sendiri, lalu menggeleng kecil. Hatinya sungguh lemah, nilainya. Lantas dia turut masuk ke mobil itu.

Kendaraan mereka telah menyatu dalam lalu lintas meninggalkan Jakarta Barat menuju ke Simprug. Perjalanan mereka dipenuhi ketenangan dan basa-basi mengenai cuaca, nama-nama tetangga, serta ramainya masjid kompleks.

"Ustad Udin gencar mengajarkan ngaji ke anak-anak kompleks. Bayar seikhlasnya. Kadang ada remaja putri dan putra yang bantu Ustad mengajar," cerita Asiyah.

"Ustad Udin ini yang sering pakai kopiah, baju kokonya nggak dikancing, dan sarungan, kan?" Daffa belum banyak mengingat nama tetangganya.

"Iya. Itu Ustad Udin. Dia sering bawa golok diselip di sarungnya. Sebelah sini." Asiyah menunjuk pinggang kirinya.

"Buat nakutin anak-anak?" duga Daffa.

Asiyah tertawa. Daffa melirik. Diam-diam wajahnya merona. Daffa kembali memerhatikan jalan. Jangan sampai penumpangnya melihat respons kekanakan itu.

"Ustad Udin punya kebun di belakang kompleks. Dia biasa pakai goloknya untuk bertani, seperti memotong batang singkong dan panen pisang."

"Duh, saya sudah negative thinking saja."

"Nggak juga sih. Kadang ada ibu-ibu yang marahi anaknya dengan menyebut golok Ustad Udin. Dibilang lah kalau nggak ngaji nanti dibawain golok Ustad."

Daffa menggeleng tak habis pikir terhadap orang tua yang tega menakuti anaknya.

"Pas Ustad tahu, Ustad marah. Katanya, goloknya buat ngebon, bukannya gorok anak orang. Lucu sih omelannya Ustad," lanjut Asiyah.

Daffa tertawa kecil. Barangkali mamanya telah memilihkan rumah yang tepat untuknya tinggal. Tetangga yang menyenangkan, berwarna, dan cantik. Dia melirik ke sebelah. Salah satunya di sini. Syukurnya diarahkan pada kebaikan Tuhan mengenalkan Asiyah ke hidupnya. Perempuan yang santun dan solehah. Sungguh berlian yang sulit ditemukan.

"Ngomong-ngomong soal bayaran ngaji. Ustad Udin nggak bermasalah dengan konsep bayar seikhlasnya?" Daffa masih sulit memahami eksistensi sistem semacam ini di kota besar yang mana penduduknya memiliki pendapatan yang mumpuni, apalagi di kompleks mereka yang bisa digolongkan menengah.

"Dari jaman dulu memang gitu. Ustad Udin nggak pernah patok harga. Yang penting anaknya ngaji. Bayaran nunggak atau kurang dari sebelumnya nggak pernah dipermasalahkan sama Ustad."

"Baik sekali," puji Daffa.

"Ustad selalu bilang urusan agama biar Lillahi Taala. Allah yang hitung. Nggak usah pikir-pikir mau semana diterima yang terpenting ikhlasnya."

"Pahalanya," tambah Daffa.

Asiyah menggeleng. Dia menoleh. "Dulu sempat ngaji sama Ustad pas SMA. Ustad bahas soal berbuat baik itu yang penting ikhlasnya, bukan mengharapkan pahalanya. Pahala itu urusan Allah, kita dikasih tahu soal pahala bukan berarti kita hidup untuk mengejar pahala. Kita hidup sebagai hamba yang ikhlas berbuat baik. Ada perumpamaan Ustad yang masih aku ingat sampai sekarang. Eh, nggak jadi deh."

"Loh? Kenapa nggak mau berbagi? Perumpamaannya kenapa?" Daffa melirik sekilas.

"Takut Mas Daffa jijik. Perumpamaannya agak ... ehm, nggak enak deh disebut. Nanti Mas terbayang-bayang." Asiyah masih menolak.

"Saya bukan orang yang gampang jijik." Daffa kadung penasaran pada perumpamaan tersebut.

Asiyah masih ragu. "Mas Daffa pernah bersihkan daging ayam?"

"Pernah. Tapi nggak sering."

"Sebelumnya, maaf, apa Mas Daffa pernah membersihkan popok bayi? Atau memandikan anak kecil?"

Daffa agak kaget dengan pertanyaan Asiyah. Namun dia berusaha tenang saat menjawab, "Saya pernah menggantikan popok anak kecil dan memandikan anak kecil."

"Kalau gitu, kayaknya aman." Asiyah tersenyum lebar.

"Memangnya apa korelasi pertanyaan-pertanyaan kamu ke perumpamaan Ustad Udin?"

"Jadi, Ustad pernah bilang, sedekah, berbuat baik, tersenyum, dan berkurban itu jangan dipikirkan pahalanya kelak. Ikhlas saja seperti kita tiap pagi buang air besar." Suara Asiyah mengecil. Dia menunduk, merona, tetapi terus melanjutkan, "Orang pasti rela membuang hajatnya ke WC. Kayak gitu juga konsep yang sepatutnya dipakai untuk sedekah, berbuat baik, dan tersenyum. Jangan dipikir-pikir gimana nantinya. Lepas saja seperti buang hajat. Nanti lega hati kita."

Daffa membelalak. Dia tidak menyangka perumpamaan itu dipakai guru agama untuk memberikan pemahaman yang dekat ke kehidupan. Anehnya dia tidak merasa jijik, malah menemukan pencerahan.

"Perumpamaannya bagus. Saya malah nggak pernah terpikir ada cara mudah supaya ikhlas berbuat baik," kata Daffa.

"Ustad Udin sering pakai pendekatan yang unik. Ingat banget dulu Ustad bahas tentang sholat. Katanya, biar sholat khusu' kita bisa bayangkan itu adalah sholat terakhir sebelum kita meninggal."

"Apa Ustad Udin nggak khawatir ada yang akan mengkritik dakwahnya? Mohon maaf, Asi, bukannya saya menganggap pengajaran Ustad buruk. Tapi ada saja orang-orang yang sensitif."

Asi menggeleng. "Sejauh ini sih belum ada yang mengkritik Ustad Udin. Lagian guru ngaji selain Ustad juga masih banyak. Ada abinya Iis. Ustad Jamal. Dia lulusan universitas di Kairo. Cara penyampaiannya seperti dosen. Serius, sedikit becanda. Ada juga Atok Hadi. Tapi Atok sudah jarang ceramah, selain sholat Jumat sejak kakinya sakit. Tapi Atok masih rajin ke masjid buat sholat jamaah. Menurutnya, kaki sakit masih bisa duduk, tapi dia punya tugas untuk memberikan tuntunan lewat tindakan ke warga supaya rajin ke masjid."

"Kayaknya saya pernah lihat Atok. Waktu itu belum tahu siapa namanya."

"Kita keasikan ngobrol terus. Nggak sangka sudah sampai ke Permata Hijau. Bisa turunkan Asi di depan saja, Mas. Ojek online sudah lancar nih." Asiyah menggoyangkan ponselnya yang menampilkan aplikasi ojek online.

"Ngobrolnya seru. Sampai nggak terasa sudah sampai di sini. Kamu yakin nggak mau diantar sampai sekolah Omar?" Daffa masih ingin berlama-lama dengan Asiyah.

"Nggak usah merepotkan begitu. Sampai sini saja."

"Oke."

Mobil Daffa merapat ke halte. Situasi halte yang ramai membuat Daffa tenang menurunkan Asiyah di situ, walau dia akan lebih tenang mengantar Asiyah sampai tujuan.

"Makasih, Mas Daffa."

"Hati-hati, Asi. Sebentar." Daffa mengeluarkan selembar kartu nama dari dashboard mobilnya sebelum Asiyah keluar. "Ini nomor ponsel saya. WA kalau sudah sampai. Jangan bikin saya waswas meninggalkan anak Bu Atun langganan nasi uduk saya."

Asiyah tertawa kecil sembari menerima kartu tersebut. Dia berucap terima kasih sekali lagi, lalu turun.

Daffa menarik napas. Dia telah mengambil langkah nekat untuk akrab dengan tetangganya. Siapa yang peduli. Wajar jika sesama tetangga bertukar nomor ponsel. Lagipula dia mempunyai kesempatan dekat dengan Omar. Mendekati Omar melalui Arsa itu canggung. Jika lewat Asiyah, Daffa tebak lebih menyenangkan.

Dia mengamati Asiyah yang berdiri di halte sambil mengutak-atik ponsel. Perasaannya meringan. Dia mengemudikan mobilnya kembali ke jalanan.

Tak sampai setengah jam kemudian, saat Daffa sedang gusar mencari jalan untuk hengkang dari kencan buta, sebuah pesan datang ke ponselnya.

08*****553**
Assalamualaikum, Mas Daffa. Ini Asi. Saya sudah tiba di sekolah Omar dengan selamat. Makasih untuk tumpangannya :)

Daffa tersenyum tipis penuh. Dia menyimpan nomor tersebut.

~~~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top