17


مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

"Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir." (QS. Qaaf [50]: 18)

Arsa pulang sesuai pesannya di WhatsApp. Dia tiba di rumahnya pukul setengah delapan malam. Hari ini dia memiliki meeting dengan klien pada sore hari. Sesuai dugaannya, meeting itu usai menjelang Maghrib. Terlalu sembrono jika dia memaksakan diri untuk pulang di kala Maghrib, tetapi lokasi meeting di dekat Central Park membantunya untuk tiba di rumah lebih cepat.

Dia memarkir mobilnya pada carport. Kemudian bergegas turun untuk menjemput Omar. Niatannya batal saat Asiyah muncul di balik gerbang sembari menggandeng Omar. Di tangan Asiyah yang lain, dia membawa tas sekolah Omar.

"Gimana hari ini?" Arsa tersenyum sembari mengambil alih tas Omar dari Asiyah. Dia menghindari kontak fisik dengan menarik bagian samping tas.

"You come late. Agaiiin." Omar menadahkan tangan.

"Om sudah ngasih tahu kamu tadi pagi. Sebelum kita berangkat. Hari ini Om punya pekerjaan lebih banyak." Arsa berjongkok. Dia merogoh saku celananya, lantas meletakan sebutir cokelat Ferrero.

Omar membelalak. "Only one?" protesnya.

Arsa mendengkuskan tawa kecil. Omar selalu menjadi penghapus letihnya tiap pulang ke rumah. "Kamu nggak mau?"

Omar memicing. Tangannya menggenggam cokelat bulat itu merapat ke dadanya dengan posesif. "Aku nggak mau sharing cokelat. Don't try to nebotate ya."

"Negotiate." Arsa menepuk puncak kepala Omar lembut. "Makannya baca doa biar lebih nikmat dan nggak dicolek sama setan."

"Of course dong. Cuma satu masa dibagi-bagi ke setan juga. Aku nggak mau." Omar menggeleng kuat-kuat. "Sini kunci rumah. Aku yang bukain."

Arsa menyerahkan kunci rumah pada Omar. Anak itu paling suka memutar anak kunci.

"Aku bisa loh buka pintu rumah," pamer Omar ke Asiyah.

"Wah, hebat banget," puji Asiyah tulus.

Omar berlari duluan ke pintu. Arsa menegakan badan. Dia telah menunggu kesempatan untuk berbicara dengan Asiyah mengenai Omar sepanjang hari. Kali ini dia harus sukses membuat Asiyah mengiyakan tawarannya.

"Kita ngobrol bentar di dalam." Arsa mempersilakan.

Asiyah melirik Omar yang menyerukan keberhasilannya membuka pintu yang terkunci. Asiyah mengangkat ibu jari sambil tersenyum. Anak berambut mangkok itu masuk duluan. Sepasang sepatunya dilempar asal-asalan di teras.

"Ck, kebiasaan," gumam Arsa. Sudah berkali-kali dia mengingatkan Omar untuk rapi dan menjaga barang-barang pribadinya.

"Biar aku yang rapikan. Sesekali."

"Jangan. Nanti jadi kebiasaan." Arsa menghalau Asiyah yang hendak memungut sepatu Omar.

"Kamu nggak bisa sesekali ngasih kelonggaran ke Omar? Dia capek hari ini."

Arsa menggeleng kecil. "Kelonggaran untuk crucial event and it ain't the one. Sesekali yang kamu pikir nggak apa-apa itu bisa dijadikan serangan balik ke kamu sendiri."

"Kenapa aku ngerasa kamu seperti menilai Omar sebagai anak yang manipulatif?" Asiyah bertolak pinggang. Kepalanya miring ke kiri dengan mata memicing.

Arsa tersenyum simpul. Bukan sekali ini gaya mendidiknya kena dikomentari orang lain. Sewaktu dia membawa Omar ke kantor, banyak rekan kerjanya yang mengomentari bahkan memprotes disiplin yang Arsa terapkan ke Omar. Bagi mereka, Arsa kurang fleksibel dan terlalu keras ke anak kecil. Bagi Arsa, dia mempunyai alasannya sendiri.

"Aku nggak menganggap Omar manipulatif. Buatku, Omar itu pintar dan kepintarannya harus diarahkan pada hal-hal baik. Bukannya diberi kesempatan untuk memanfaatkan situasi." Arsa menoleh ke dalam rumah. "Omar, rapikan sepatu kamu!"

Omar berlari ke luar. Dia mengambil sepatunya cepat, meletakan pada rak sepatu, lalu berlari kembali ke dalam.

Arsa menemukan kejanggalan. Dia bergegas menyusul Omar. Anak itu tidak ditemukan di kamar, melainkan di kamar Arsa.

"Kamu sedang apa?"

Omar berbalik. Matanya yang bulat dan besar berkilat-kilat. "You hide my treasure," ucapnya misterius.

"Om menyembunyikan apa?" Arsa melongok pada apa yang memikat Omar di laci nakasnya. Saat dia melihat isi nakas itu, dia terkejut. Dia lupa dengan mainan action figure Gundam Barbatos baru tersebut.

Omar mengangkat kotak Gundam. "Is it mine?" tanyanya penuh harap.

It should be mine, ucap Arsa dalam hati. Dia telah menahan diri cukup lama untuk memenuhi koleksinya.

"Gimana kalau kita beli mainan Paw Patrol untuk kamu? Yang ini...." Arsa berusaha mengambil kotak itu, tapi ditahan Omar. "Paw Patrol," nego Arsa.

"Aku boleh beli dancing hero?"

"Apa itu?"

"Yang dancing itu, Om."

Meskipun Arsa tidak tahu apa itu dancing hero, dia mengiyakan. Asal koleksinya tidak berpindah tangan.

"Yippie YEAH!" Omar melepaskan kotak itu. Dia melompat-lompat.

"Ganti baju, cuci muka, terus tidur," pesan Arsa sebelum Omar sampai ke pintu.

"Siap, Kapten!" Omar memberi hormat ala tentara. Dia berbalik, lalu lenyap di balik dinding.

Arsa mendesah lega. Koleksinya terselamatkan.

Dia segera keluar kamar. Asiyah sedang memerhatikan foto-foto di ruang tengah.

"Omar lucu banget pas masih bayi," ucap Asiyah begitu menyadari kedatangan Arsa.

"Dia memang paling lucu pas bayi. Belum sebawel sekarang. Kamu bisa tebak kapan Omar pertama kali bicara?" Ruang tengah di rumah Arsa adalah ruang terbuka yang menghubungkan area keluarga, area makan, dan tangga. Di ruangan itu juga terdapat rumah-rumahan kecil dengan perosotan dan mainan kitchen set serta rak panjang yang dipenuhi keranjang rotan berisi mainan. Di atas rak, masih terdapat mainan Omar. Arsa menuangkan segelas air putih dari gelas dan teko yang disimpan di meja makan.

"Setahun?" tebak Asiyah.

Arsa menggeleng, masih fokus dengan kegiatan menuang air. "Sepuluh bulan."

"Beneran?" Asiyah mendekat. Dia berdiri di seberang Arsa. "Bayi sepuluh bulan sudah ngomong?"

Arsa meletakan gelas berisi air itu ke depan Asiyah. Dia mengambil gelas lain untuknya. "Dia memang bakat ngoceh sejak bayi." Arsa tersenyum mengenang masa kecil Omar.

"Pasti kamu dan Kak Ajeng senang banget." Asiyah duduk, lalu meminum air pemberian Arsa.

Senyum Arsa luntur. Dia berhenti menuang air. Kegetiran tersirat di matanya. Selain kenangan indah, selalu ada kenangan pahit yang melekat. Salah satunya adalah apa yang melintas di benak Arsa. Kenangan saat dia terpaksa melepas kakaknya.

"Senang banget," jawab Arsa. Dia memulihkan ekspresinya. Bukan salah Asiyah jika dia kembali teringat kenangan pahit itu. Arsa duduk di kursi. Dia harus menguasai perasaannya dengan baik dan salah satunya adalah dengan minum air. Arsa menyukai air putih dan air putih dipercaya dapat mengurangi ketegangan.

"Ar, aku mau ngomong soal kejadian di masjid." Cara bicara Asiyah berubah. Nadanya serius.

Arsa menegakan duduk. Dia menurunkan gelasnya ke meja. "Ada apa di masjid?" Bukankah mereka seharusnya membahas tawaran kerja dari Arsa?

"Omar bertengkar sama Harry. Dan pertengkaran mereka karena Harry mendengar mamanya membicarakan soal Hilda dengan Bidan Munaroh."

Mata Arsa terpejam. Dia menggumamkan istigfar. Sungguh, ada saja masalah yang kembali.

"Aku meminta Iis bicarakan ke mamanya Harry dan Hilda. Aku ngasih tahu kamu," lanjut Asiyah. "Aku nggak tahu dengan baik urusan kamu, Omar, dan Hilda."

"Apa yang Omar dengar dari Harry?" Arsa berbicara serius.

Asiyah menceritakan pengalaman di masjid sore itu. Arsa menyimak dalam diam. Perasaannya campur aduk dan terasa buruk. Dia memikirkan dampak pertengkaran itu terhadap Omar. Dia tidak terlalu peduli dengan situasinya. Omar masih kecil dan butuh perhatian detail untuk urusan psikologisnya. Arsa tidak mau satu kesembronoan kecil ini mengacaukan mental Omar.

###

11/04/2022

Alohaaa

Aku kasih Asiyah dan Arsa buat nemenin kamu memulai Senin yang Insya Allah dipenuhi berkah. AAMIIN~

Cerita dikit, tiap aku ngetik cerita ini, aku suka pasang ngaji juz amma yang dibaca sama bocah laki hahaha gini nih kalo mendalami karakter, bahasa jadi ngikut gaya ngomong Bu Atun dan tetangganya. Lanjut soal ngaji itu, kadang aku ngebayangin Omar yang ngaji walau suaranya si bocah ini kayak udah gedean dari Omar. Tapi enak aja gitu. Suasananya dapat banget pas ngetik.

Yuk kita nikmati bulan puasa ini. Semoga puasa tahun ini kita mendapati diri kita lebih baik dalam ibadah, keluarga, bermasyarakat, dan kepada diri kita sendiri.

Semangat ibadahnya. Ingat bersyukurnya. Sampai jumpa di bab berikutnya.

Salam hangat,

Miss Bebeklucu (•ө•)♡

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top