15
وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
Artinya: Orang-orang yang beriman lebih kuat cintanya kepada Allah.
(QS Al Baqarah: 165)
♥
Langit telah diarsir warna jingga kekuningan. Riuh tawa anak-anak dan suara para perempuan bersahutan. Di kejauhan, sekelompok pemuda tanggung berjalan menuju kompleks masjid. Inilah tanda masjid memasuki waktu mengaji remaja. Anak-anak mulai turun dari playground sederhana pada taman samping masjid, beberapa ibu-ibu berteriak memanggil anak mereka, dan ada sebagian yang berlari menuju para pedagang kaki lima di luar pagar.
Asiyah menyisir pandangannya ke sekeliling taman. Rambut mangkok Omar biasanya terlihat di atas permainan memanjat, tetapi kali ini tidak.
Seorang anak lewat bergandengan dengan ibunya. Asiyah mengenal anak itu juga ibunya. "Mbak Ra, lihat Omar?"
"Omar?" Perempuan yang dipanggil Ra beralih ke anak laki-lakinya. "Tadi Omar bilang ke mana?"
"Omar ke WC, Tante. WC yang sono tuh. Yang di belakang." Anak kecil itu menunjuk jalan setapak masjid.
"Oh gitu. Makasih ya, Man."
"Asi." Ra menahan lengan Asiyah. Dia melepas pegangannya ke si anak dan berbisik, "Kamu jajan dulu. Ini uangnya."
Si anak yang bernama Hilman bersorak. Sejak tadi dia memang sudah gatal ingin jajan sehabis mengaji. Dia melesat cepat ke kerumunan pedagang.
"Kenapa, Mbak?" tanya Asiyah, heran.
"Kamu bantu Arsa jaga Omar?"
"Iya, Mbak. Ada apa ya?"
Ra menggeleng singkat. "Bukan apa-apa. Hanya senang saja lihat kamu punya kegiatan selain bantu-bantu Bu Atun. Mbak sempat kepikiran mau ajak kamu kerja di toko baju Mbak supaya kamu nggak kelamaan di rumah."
"Makasih Mbak udah kepikiran nawarin aku kerja, tapi aku senang bantu Ibu. Selama ini Ibu tinggal sendiri. Aku anggap kesempatan aku berbakti."
"Mbak tahu kamu nggak butuh banget sama uang, tapi Mbak mikirin kamu di rumah terus setelah kembali ke sini. Keluar sesekali itu bagus. Mbak harap kamu jangan sungkan minta tolong Mbak kalau ada masalah. Mau ajak makan baso bareng juga Mbak bisa temani."
Ra adalah anak dari sahabat ibunya sehingga bisa dikatakan Ra memiliki pengetahuan atas alasan kembalinya Asiyah ke rumah ibunya melebihi tetangga mereka yang lain. Dia memang belum sempat berbicara banyak dengan Ra begitu pindah kembali ke lingkungan ini. Ada hati yang perlu ditata, ada hidup yang harus disiapkan, dan terutama ada mental yang butuh waktu adaptasi. Asiyah bersyukur masih ada orang yang perhatian tulus padanya.
"Siap, Mbak. Nanti kalau aku ngidam makan baso, aku ajak Mbak makan bareng. Sekarang aku mau cari Omar dulu."
"Ya udah. Sana."
"Assalamualaikum, Mbak. Main ke rumah ya kapan-kapan."
"Iya, besok Mbak beli nasi uduk ibu kamu. Waalaikumsalam."
Asiyah menyusuri jalan setapak yang ditunjuk Hilman. Secara tidak sengaja dia berpapasan Iis yang baru keluar dari masjid lewat pintu samping, pintu khusus wanita.
"Kak Asi mau ke mana?" tanya Iis.
"Mau ajak Omar pulang. Kamu habis pengajian?"
Iis menggeleng. "Aku gantikan Kak Hilda mengajar ngaji remaja putri sore ini. Omar di mana?"
"Omar di WC sana. Kamu mau ke WC juga?"
"Aku mau wudhu. Ayo bareng, Kak."
Mereka berjalan beriringan.
"Omar dulu pulang ngaji bareng Kak Hilda," kata Iis.
"Kakak nggak tahu, Is. Apa karena satu arah?"
"Waktu itu Kak Hilda bantu ngaji anak-anak jadi pulangnya barengan Omar dan satu arah juga. Tiga bulan yang lalu, Kak Hilda pindah ngajar ngaji remaja. Sejak itu, Omar biasa pulang dijemput Bu Atun."
Asiyah mengangguk. Dia sudah tahu soal pekerjaan ibunya menjaga Omar, termasuk menjemput Omar mengaji.
"Kak Hilda lumayan dekat sama Omar," kata Iis lagi.
"Gara-gara kamu nih!"
"Bukan!"
Perhatian Asiyah dan Iis teralihkan oleh suara pertengkaran dua anak kecil. Mereka mempercepat langkah menuju sumber percekcokan. Kian mendekat, mereka semakin mengenali siapa pemilik suara-suara itu. Begitu sampai di tempat kejadian, Asiyah langsung mengenali salah satunya.
"Omar," panggil Asiyah.
Omar berbalik. Wajahnya memerah dan matanya berair. Asiyah panik. Dia setengah berlari mendekati Omar, lalu berjongkok di depannya.
"Ada apa?" tanya Asiyah.
Omar mengelap matanya menggunakan lengan baju kokonya. Dia menggeleng kecil. "Pulang yuk," pintanya agak terisak.
Asiyah menurunkan tangan Omar, memastikan kondisi anak itu. "Kamu bertengkar sama Harry?"
"Harry tuh yang mulai." Omar menunjuk Harry, bocah laki-laki berkepala plontos, dengan jengkel.
"Aku nggak salah. Kamu tuh yang bikin masalah. Kak Hilda jadi nggak ngajar ngaji lagi, terus Kak Hilda mau nikah sama orang tua," sahut Harry tak kalah sengit.
"Aku bilang aku nggak salah! Aku nggak tahu kenapa Kak Hilda nggak ngajar ngaji lagi!" Omar memekik frustasi. Air matanya mengalir.
Asiyah mengusap wajah Omar, lalu memeluknya. Omar menyembunyikan wajahnya pada lekuk leher Asiyah. Dia menangis tergugu.
"Harry kenapa bicara begitu? Omar nggak ada salah apa-apa dengan Kak Hilda," ucap Iis lembut. Dia memegang bahu Harry supaya anak itu menghadapnya.
"Aku nggak bohong. Orang mama aku ngobrol sama mamanya Kak Hilda. Kak Hilda dijahati sama Omar makanya pindah ngajar. Omar tuh jahat." Harry mendelik ke Omar yang masih memeluk Asiyah.
Iis menyentuh pipi Harry, mengarahkan wajahnya ke arahnya. "Harry, Omar sudah bilang dia nggak tahu kenapa Kak Hilda pindah ngaji. Kenapa Harry tetap menuduh Omar jahat karena omongan mamanya Kak Hilda? Memangnya Kak Hilda sendiri yang bicara ke Harry?"
"Iiih, Kak Iis mah nggak merhatiin. Mama aku tuh ngobrol sama mamanya Kak Hilda. Emangnya orang tua bisa bohong?"
Harry adalah anak yang cerdas dan pintar bicara. Selain itu, Harry juga anak yang jujur. Asiyah mengenal karakter Harry setelah beberapa kali menjemput Omar. Harry semudah itu didekati dan akrab. Sejujurnya, Asiyah merasa Harry hanyalah menyampaikan apa yang didengar dengan atensi baik, walau caranya kasar.
"Harry, apa mamanya Harry cerita ke Harry soal Kak Hilda?" tanya Asiyah. Dia mengangkat Omar ke gendongannya.
Harry bergerak gelisah. "Nggak sih, tapi aku ada di situ."
"Harry mencuri dengar obrolan orang tua?" Iis meninggikan suara antara kesal dan terkejut.
Harry melihat Iis takut-takut. "Aku kan cuma dengar," belanya.
"Tetap saja, mendengarkan pembicaraan orang tua tanpa izin, lalu menceritakan ulang ke orang lain seperti yang Harry lakukan itu tidak baik." Iis bertolak pinggang sembari menggumamkan istigfar.
Asiyah melihat masalah ini tidak bisa dia selesaikan sebab statusnya sebagai orang luar. Masalah ini juga tidak bisa dianggap angin lalu kalau kelak akan membesar menjadi fitnah berkaitan Omar dan Hilda.
"Iis, kamu coba bicarakan ke mamanya Harry dan Hilda," saran Asiyah.
"Kakak mau ngomongin ke Arsa?" Iis mengernyit. Ada kecemasan di wajahnya.
Asiyah menangkap kegelisahan itu dan bertanya, "Apa Kakak harus merahasiakan ini dari Arsa?"
"Bukan gitu, Kak." Iis mendesah pendek. "Aku juga bingung gimana baiknya."
"Baiknya kita jujur. Kalau nggak aku yang cerita, Omar pasti cerita." Asiyah melirik Omar yang masih meringkuk di gendongannya. "Arsa bakal tahu. Jadi, apa yang kamu cemaskan?"
Iis melirik Harry yang tengah menunduk, kemudian ke Omar. Dia kemudian mengangguk. "Kakak benar. Sebaiknya jujur. Kita nggak tahu apa yang bakal terjadi kalau merahasiakan ini."
"Ya sudah, kalau gitu kamu bicarakan ke mamanya Harry dan Hilda. Kakak pulang dulu bareng Omar." Asiyah beralih ke Harry. "Harry, lain kali hati-hati berbicara ya. Harry anak pintar dan baik, jangan sampai pertemanan Harry rusak karena emosi dan kabar yang nggak baik."
Harry tidak menyahut. Dia mengerucutkan bibirnya sambil menendang batu di dekat kaki.
Asiyah memahami emosi anak itu dan memaafkan dalam hati. Dia berpamitan dengan mereka berdua.
"Om Acha nggak suka Kak Hilda," bisik Omar. Dia masih dalam gendongan Asiyah, memeluk leher Asiyah dengan posesif.
Mereka telah meninggalkan kompleks masjid. Sepanjang trotoar sudah sepi menjelang magrib.
Asiyah menimbang untuk menurunkan Omar atau terus menggendongnya sampai rumah. Pilihan kedua agak melelahkan. Bagaimanapun Omar cukup berat.
"Kamu tahu dari mana?" Asiyah memutuskan menunda tawaran menurunkan Omar dan kembali berjalan.
"Aku tahu dong. Om Acha nggak suka Kak Hilda. Kak Hilda aja yang suka sama Om Acha. You know, love is complicated. You cannot push push people to like you." Omar mengurai pelukannya untuk melihat Asiyah saat bicara.
Ucapan Omar menggelikan. Asiyah baru pertama kali bertemu anak TK yang membahas cinta. "Kamu tahu dari mana soal love?"
"I knew that. Miss Gendis told about love, Om Acha told about love, Oscar told about love, Oliver told about love, and the girls ... they always talk about looooove." Omar memutar bola matanya.
"Who are the girls?"
"My friends at school. Mereka talk too much. Miss Gendis girl too, but she's better than the girls."
Asiyah terkikik geli. Omar selalu tahu caranya mengubah suasana hati dalam sekejap.
###
03/04/2022
Alohaaa...
Aku Miss Bek. Makasih buat kamu yang sudah mampir.
Aku mengucapkan Selamat Menjalankan Ibadah Puasa. Semoga di bulan Ramadan tahun ini segala amal ibadah kita diterima oleh Allah SWT, dilimpahkan rezeki yang halal, dan selalu bahagia. AAMIIN.
Salam hangat,
Miss Bebeklucu (•ө•)♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top