14
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِين
Yā ayyuhallaziina aamanusta'iinu bis-sabri was-salaah, innallaaha ma'as-saabiriin
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan salat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar."
(Al Baqarah: 153)
"Kamu mau naik apa ke sana?" Atun berhenti menggosok pakaian. Dia menepikan setrika ke sisi meja.
Asiyah menoleh sekilas, lantas balik merapikan barang-barang ke dalam tas. "Ngojek aja, Bu. Pulangnya naik taksi atau Grabcar. Kayaknya Omar nggak bisa pulang naik motor."
"Pakai jaket. Jangan sampai kamu keanginan."
Asiyah kembali masuk kamar. Dia kembali bersama jaket yang masih terlipat rapi.
Atun melirik jam dinding. "Kira-kira sejam cukup nyampe ke sekolah Omar?"
"Semoga cukup, Bu. Aku sudah pesan ojeknya. Sudah sampai gerbang kompleks. Sebentar lagi sampai. Aku nunggu di luar, ya?" Asiyah menjawab sembari mengenakan jaket.
"Iya, hati-hati."
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Asiyah tidak menyangka bahwa jarak sekolah Omar ke rumahnya bakal menguras energi. Belum lagi kemacetan di wilayah selatan Jakarta. Asiyah sampai heran mengapa orang-orang kaya dikatakan banyak bermukim di sana kalau macet adalah 'lauk' setiap hari.
Setiba di rumah, Asiyah membantu Atun mencuci bekas peralatan berjualan nasi uduk tadi pagi, sekalian membereskan meja. Setelah itu, dia makan sisa jualan ibunya. Sungguh, Asiyah merasa sudah jompo sebab dia begitu mudah kelelahan usai bepergian pagi ini.
Ojeknya datang bertepatan Asiyah keluar rumah. Dia langsung diantar ke sekolah Omar. Waktu tempuh berkurang karena mereka melanglang di jalan raya pada pukul setengah sebelas. Asiyah berzikir sepanjang jalan supaya hatinya terhindar dari waswas terlambat menjemput Omar.
Dia teringat kenangan semasa kecil. Sedihnya jika Atun menjemputnya terlambat. Sebagai anak rumahan sejak kecil, Asiyah memang paling suka waktu pulang. Dia bisa bermain boneka dan menonton TV. Dia berpikir, Omar pasti berpikir begitu pula.
Sayangnya, Omar berbeda.
"You come too early. Why sih?" Omar cemberut. Dia memanggul tasnya setengah hati.
"I think it's nice to be picked up early," sahut Gendis. Dia menyerahkan botol minum Omar sambil tersenyum.
"But Oliver and Oscar still here." Omar melirik ke dalam kelas.
"Their mothers will pick them up in no time. I can sense it." Gendis menutup mata, meletakan kedua telunjuknya di masing-masing pelipis.
Asiyah tersenyum kecil. Gendis memiliki selera humor yang baik dan Omar tertipu akting Gendis yang bergaya bak paranormal. Sementara Asiyah sudah melihat dua orang ibu-ibu cantik menuju kelas mereka.
"Woah! You're right, Miss. There. There. Oliver and Oscar's moms. Cool!" seru Omar. Dia senang melihat aksi cenayang guru kelasnya sukses.
"Hello, Miss Gendis," sapa salah satu ibu. Rambutnya pirang, mengenakan tanktop hijau lumut, dan celana jins pas badan. Wajahnya sangat cantik, terlihat setengah keturunan barat.
Asiyah menurunkan pandangannya buru-buru. Dua ibu-ibu itu memiliki penampilan rupawan, sekaligus menggoda hati. Sebagai seseorang yang besar di lingkungan bersahaja, Asiyah tidak terbiasa dengan penampilan ala barat yang mereka tunjukkan.
"Hello, Mom. Please wait here, I'll call Oliver and Oscar." Gendis berbalik ke dalam kelas. Dia menyerukan dua nama muridnya. Sahutan girang terdengar dari dalam.
"Hi, Omar. Where's your uncle?" tanya ibu yang lain yang memiliki rambut hitam bergelombang. Wajahnya lebih Asia.
"My uncle won't come. Kak Asi pick me up today." Omar menoleh ke Asiyah. Dari ekspresinya, kekesalannya terhadap Asiyah sudah luntur. Dia memang anak yang mudah melupakan masalahnya saat orang lain mengajaknya bicara.
Kedua ibu itu baru menyadari keberadaan Asiyah di lorong sekolah yang ramai oleh lalu-lalang murid dan orang-orang dewasa. Suasana pulang sekolah telah membuat mereka melewatkan Asiyah yang berdiri di dekat pintu.
"Hai, baru lihat. Sekarang Mbak yang jemput Omar?" Ibu pirang tersenyum ramah.
Perasaan Asiyah meringan yang tadinya dia sempat berkecil hati di sebelah perempuan-perempuan berparas indah. "Hari ini saja. Besok dan lain waktu belum dipastikan," jawabnya.
"Kok gitu?" celetuk Omar. Matanya membesar melihat Asiyah dari bawah.
Asiyah kesulitan menjawab. Bagaimanapun dia belum membuat kesepakatan dengan Arsa.
"Mommy!"
"Mama!"
Pekik girang dua bocah laki-laki menyela. Mereka menubruk kedua ibu. Omar tidak lagi memerhatikan Asiyah. Dia memandangi teman-temannya dengan bibir mengukir senyum.
Semestinya Asiyah turut bahagia atas senyuman Omar. Kendati dia pun merasakan kebahagiaan dua teman Omar yang kembali berkumpul bersama ibu-ibu mereka, Asiyah merasakan kepiluan tersendiri. Omar si kecil yang bawel kurang seberuntung mereka yang dijemput ibunya.
Asiyah menggenggam tangan Omar. Dia tersenyum lembut saat berkata, "Kita pulang, yuk?"
"Oke," desah Omar.
"Omar, let's play at the playground!" seru bocah berambut pirang, anak dari ibu yang rambutnya serupa.
"Oliver, aku mau go home. Tomorrow aja," tolak Omar.
"Tomorrow kita play at gym," timpal anak berambut ikal yang memiliki lesung di kedua pipi. Asiyah menebak namanya adalah Oscar.
"Ayo!"
"Asik!"
"Eh, eh, eh, who will let you play at gym tomorrow?" Gendis kembali bergabung ke kelompok kecil di depan ruang kelasnya.
"You, Miss Gendis." Oliver terkikik.
Omar dan Oscar menirukan cara tertawa Oliver. Mereka bertiga menggemaskan sekali.
OoO
Asiyah tidak menyangka bahwa acara penjemputan Omar sangaaaaaat melelahkan. Omar susah diajak pulang. Padahal acara pulang itu tampak lancar di depan kelas. Omar menolak ajakan main Oliver. Begitu mengenakan sepatu, dia malah lari ke playground dengan dalih mengucapkan bye-bye ke dua temannya, yang mana bye-bye itu tidak kunjung terucap sampai satu jam kemudian.
Playground pun sangat ramai oleh anak-anak sehingga Asiyah harus mengawasi Omar lebih teliti agar jangan sampai Omar celaka. Asiyah menyadari kapasitasnya sebagai orang yang dititipkan menjaga Omar. Dia harus memastikan Omar pulang dengan utuh.
Sepanjang perjalanan pulang, Omar terlelap di taksi. Asiyah merangkul bahu Omar, menahan kepala anak itu bersandar padanya.
Senyum Asiyah berkembang. Dia telah lama merindukan seorang anak dalam hidupnya. Pernikahannya gagal dan kerinduannya akan kehadiran seorang anak menjadi luka yang disembunyikan. Bersama Omar, kerinduannya kembali. Bukan rindu yang menyakitkan seperti dulu, saat dia masih dibawa terombang-ambing dalam proses cerai. Ini adalah perasaan yang lama dia lupakan. Perasaan meletup-letup yang menyenangkan. Kegembiraan yang hadir oleh keinginan tulus melahirkan dan membesarkan seorang anak, bukannya akibat tuntutan memperpanjang keturunan.
Tangan Asiyah menyentuh rambut Omar pelan-pelan. Lembut sekali rambutnya.
Denting notifikasi ponsel mengalihkan. Asiyah merogoh tasnya dan memeriksa pesan yang masuk.
Arsa:
Sudah berhasil masuk taksi?
Asiyah nyaris memuntahkan tawa. Arsa pasti sudah menduga ulah Omar yang malas diajak pulang.
Kamu nggak kasih tahu kalo Omar bakal main di playground.
Learning by true events is better than being taught.
Sengaja, kan? (╬ ˘̀^˘́ )
Hehehe ayo kita ngobrol sehabis Isya.
Ok.
Asiyah menarik napas dalam-dalam. Dia harus memikirkan suatu solusi agar bisa menjaga Omar tanpa dibayar Arsa. Tapi bagaimana caranya? Arsa terlalu keras kepala sebagai pria dewasa.
###
16/03/2022
Mo puasa ketiga kali dan Asiyah belum juga menemukan cinta 😫 Asiiii, maafkan aku yang sempat menghindarimu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top