12

فَبِاَيِّ اٰلَاۤءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبٰنِ
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
(Surah Ar Rahman: 13)

"Bu."

Atun menghentikan kegiatannya merapikan bantal. Dia mendapati putrinya masuk ke kamarnya dengan wajah bimbang.

"Kenapa?" Atun duduk pada tepi kasur.

Asiyah turut duduk di sebelahnya. "Selama ini Ibu dibayar untuk menjaga Omar?"

"Iya. Siapa yang cerita ke kamu?"

"Arsa. Dia juga nawarin Asi jaga Omar."

"Kamu mau?"

"Awalnya nggak mau."

"Sekarang?"

"Masih ragu." Asiyah menggeleng kecil. "Rasanya, Asi nggak pantas dibayar untuk jaga Omar. Kita nggak pernah kerepotan menjaga Omar, malah kita senang kalau Omar main di sini."

"Kamu sudah bicarakan alasan kamu nolak dibayar?"

"Sudah. Arsa menganggap penolakan aku dibayar sebagai penolakan tawaran menjaga Omar."

"Sama dong sama Ibu. Arsa juga berkeras bayar Ibu. Kalau nggak mau dibayar, Omar nggak dititipkan di sini. Ibu nggak tega lihat Omar sedih diajak ke kantor. Akhirnya Ibu iyakan," cerita Atun. Dia tersenyum mengingat kenangan Omar yang merengek minta dijaga olehnya.

"Asi nggak ingin dibayar, Bu," desah Asiyah.

"Terima aja uangnya. Arsa sudah besar, punya penghasilan. Dia pasti gengsi bikin orang lain menjaga Omar."

"Bagiku, Arsa itu masih anak-anak."

Atun menepuk bahu Asiyah ringan. "Arsa sudah dewasa begitu masih saja kamu samakan anak-anak."

"Dia tetap adik lucu." Asiyah tertawa kecil yang diikuti Atun. Mereka telah melewati tahun-tahun yang menyenangkan sebagai tetangga. Asiyah melihat sendiri pertumbuhan Arsa dari anak kecil menggemaskan yang perlahan menjadi remaja menyebalkan. Sebenarnya, Arsa yang sekarang masih dikategorikan menyebalkan.

"Arsa lumayan keras soal pembayaran Omar. Kalo kamu tetap menolak, siap-siap saja melihat Omar ditarik Arsa ke kantor," cerita Atun lagi.

"Arsa setega itu?" Asiyah terkejut. Dia telah melihat interaksi akrab Arsa dan Omar. Sukar dipercaya Arsa bakal sekeras itu pada keponakannya.

Atun mengangguk kalem.

"Dia kelihatannya baik ke Omar."

"Asal kamu tahu, Arsa tegas sama Omar. Perhatikan, mana ada anak kecil di kompleks kita yang serajin Omar solat jamaah di masjid."

"Karena Arsa?"

Sekali lagi, Atun mengangguk. "Sayangnya, Arsa harus bekerja. Dia nggak bisa sembarangan menitipkan Omar. Dia pasti punya kekhawatiran kalau menitipkan Omar ke tempat baru."

"Arsa menawarkan aku menjaga Omar seharian. Menurut Ibu, gimana?"

"Nah, dia pasti menilai kamu bagus. Makanya dia berani menawarkan begitu. Asi, bukannya Ibu mau memihak Arsa. Sebenarnya, sudah beberapa kali ada yang menawarkan diri menjaga Omar. Tetangga-tetangga kita. Semuanya ditolak Arsa. Ibu nggak tahu alasannya. Dugaan Ibu, Arsa berhati-hati memilih orang."

"Ibu pasti dipercaya Arsa ya," goda Asiyah.

"Masakan Ibu yang dipercaya Arsa." Atun terkikik geli. "Ibu cukup memastikan Omar makan siang dan tidur siang. Lalu antar dia ngaji setelah mandi sore. Nggak perlu ditunggui karena nanti Arsa yang jemput. Kalo dia nggak sempat jemput Omar, dia biasa telepon. Pekerjaan Ibu mudah sekali."

"Tapi... aku berat nerima uangnya. Walau aku nggak punya adik, aku menganggap Arsa adikku. Gimana bisa kakak mengambil uang adik?"

"Buat jajan kamu dan Omar saja. Niatkan membantu Arsa. Bisa, kan?"

"Aku mau pikir-pikir dulu." Asiyah bangkit dari kasur. Dia ingin kembali ke kamar dan memikirkannya sendiri.

"Solat malam, Asi. Tanya sama Tuhan kamu. Dia yang lebih tahu," ucap Atun kala Asiyah mencapai ambang pintu

Asiyah terdiam. Dia tersenyum tipis, lantas berbalik. Ucapan ibunya benar. Tuhan yang Maha Mengetahui yang mana yang baik dan buruk. Namun Asiyah telah lama melupakan kebesaran Tuhannya. Sejak dia menerima surat gugatan cerai suaminya sendiri. Dia meragu pada Tuhannya. Solatnya ditunaikan karena kebiasaan. Doa yang dipanjatkannya adalah doa selamat dunia dan akhirat, serta doa untuk kedua orang tua. Dia telah lama tidak bertanya dan meminta hal lain. Nasihat Atun serasa sentilan baginya.

Masihkah Allah mendengarkan permohonannya?

♥♥♥

Kumandang azan Subuh bergema. Kesibukan pada dapur kecil itu terhenti. Atun mematikan kompor. Dia bergegas mengetuk pintu kamar putrinya.

"Asi, sudah Subuh. Solat," katanya.

Daun pintu terbuka. Asiyah muncul dengan air wajah keruh.

"Kenapa?" Atun cemas.

Asiyah menggeleng. "Baru bangun," dustanya. Dia terjaga usai solat istikoroh. Bertanya pada Allah SWT, berharap segera mendapat jawaban, dan ternyata dia tidak menerima apapun.

Asiyah merasa ditinggalkan Tuhan satu-satunya yang ia miliki.

"Segera wudhu, lalu solat. Jangan tunda-tunda. Pagi ini Ibu buat nasi kuning dan nasi uduk. Kamu mau sarapan apa?"

"Apa saja buatan Ibu."

"Ya sudah. Nanti Ibu siapkan."

Asiyah tersenyum selebar yang dia bisa supaya Atun tidak menangkap gelagatnya yang berbeda. Ibunya semakin peka sejak dia kembali ke rumah. Asiyah sungguh tidak ingin menyebabkan ibunya kepikiran masalahnya. Dia berharap memberikan masa tua bahagia dan tenang kepada orang tuanya.

Mereka menunaikan solat Subuh. Kemudian menyiapkan jualan Atun di teras rumah.

Sepanjang merapikan gorengan, Asiyah kembali memikirkan solat malamnya. Kenapa dia tidak menerima jawaban? Katanya, Tuhan akan memberi jawaban melalui mimpi atau kemantapan hati. Tak satu pun yang dia alami.

"Omar belum datang?" Atun datang bersama stoples besar kerupuk. Dia meletakannya dekat termos nasi. Pagi ini termosnya ada dua. Nasi uduk dan nasi kuning.

"Tumben ya, Bu. Coba Asi periksa."

Atun mengangguk. Asiyah meninggalkan ibunya bertepatan pelanggan pertama mereka datang. Dia melihat pagar rumah sebelah masih terkunci. Dia menekan bel rumah. Tidak ada yang menyahut.

"What are you doing here?!"

Asiyah terlonjak. Omar muncul di belakangnya. Dia digendong Arsa.

"Kamu dari mana?" tanya Asiyah.

"Solat lah. What else?" Omar melirik Arsa dengan jengkel.

"Baru pulang solat sekarang?" Asiyah bertanya pada Arsa.

"Sendal Omar hilang di masjid," jawab Arsa sembari menurunkan Omar. Dia merogoh saku kemeja kokonya dan membuka pintu pagar. Omar langsung melesat ke dalam begitu pintu pagar dibuka Arsa. Dia tidak sabar membuka pintu rumah sendiri.

"Kenapa ke sini?" tanya Arsa.

"Habis tumben banget Omar belum beli sarapan."

"Tumben juga pagi ini Omar kehilangan sandal." Arsa menggaruk pelipisnya yang tak gatal. "Sandal kesukaannya."

"Dia pasti sedih," duga Asiyah.

Arsa memutar bola mata. "Dia memanfaatkan kejadian ini untuk belanja sandal yang baru. His self relience is great. Sedih tiga detik, lalu nego."

Asiyah tertawa kecil. Dia bisa membayangkan bagaimana Omar merengek sandal baru.

"Kamu nggak datang ke sini karena mau nerima tawaran kemarin?"

Asiyah teringat hal itu lagi. Dia masih bimbang.

"Aku masih butuh waktu untuk berpikir."

"Staying in a meaningless situation," gumam Arsa.

"Apa?" Asiyah mendengar ucapan Arsa barusan.

"Gini deh." Arsa bertolak pinggang. "Stop wasting your time trying to find the answer, instead of creating it. Kamu bisa coba jaga Omar seharian. Aku nggak akan bayar. Kalo kamu merasa cocok sama Omar, kamu bisa ambil tawaran aku."

"Masalahnya, aku nggak mau dibayar sama kamu," Asiyah menegaskan.

"Kenapa nggak mau dibayar?"

Asiyah bungkam.

Ekspresi Arsa mengeras tiba-tiba. "Karena apa? Karena uangnya dari aku? Karena nggak mau mengambil keuntungan dari situasi Omar yang yatim piatu? Karena kita bertetangga? Karena ... aku dianggap adik?"

Asiyah menunduk malu. Arsa mengungkap semua alasan yang bercokol di benaknya.

"Mungkin kamu lupa, aku sudah bekerja. Penghasilanku cukup untuk membayar kamu dengan sesuai. Omar memang yatim piatu, tetapi dia punya kemewahan yang belum tentu dimiliki anak dengan keluarga lengkap. Kita memang bertetangga dan nggak akan mengurangi alasan aku nggak membayar keringat orang yang sudah bekerja buatku. Terakhir..." Arsa menarik napas panjang.

Diamnya Arsa menarik perhatian Asiyah. Dia memberanikan diri mengangkat muka untuk melihat wajah Arsa.

"Adik kecil yang bernama Arsa sudah nggak ada. Sekarang dia pria dewasa yang tahu tanggung jawab." Arsa tersenyum tipis. "Tolong hargai."

###

17/11/2021

Apakah Arsa tahu caranya bertanggung jawab pada perempuan? Harap penjelasannya, Ar!!

Tanggung jawab sama kamiii para pembaca di mari woyyy

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top