11
اَللّٰهُمَّ حَسِّنْ فَرْجِىْ مِنَ الْفَوَاخِشِ وَظَهِّرْ قَلْبِيْ مِنَ النِّفَاقِ
Allaahumma hassin farjii minal fawaahisyi wa thahhir qolbii minan nifaaqi
Artinya : "Ya Allah bersihkanlah farjiku (kemaluan) dari keburukan dan bersihkan hatiku dari nifaq (kemunafikan)."
♥
Daffa mencuri pandang pada sosok Arsa. Dia baru saja meninggalkan masjid bersama-sama Omar dan Arsa. Atas ajakan lomba lari kecil-kecilan yang digagas Omar, mereka bertiga mendapatkan saf kedua dari depan. Sehabis solat magrib berjamaah, mereka mengikuti doa bersama hingga waktu solat isya tiba. Sungguh, suatu pengalaman baru bagi Daffa beribadah di awal waktu dan berjamaah dua waktu solat di rumah Tuhan sekaligus.
Yang menariknya kini adalah Arsa. Pemuda itu terlihat di usia dua puluh tahun, tampan, tetapi terlihat dewasa. Ingatannya berputar pada informasi Asiyah beberapa hari lalu mengenai ibu Omar yang telah meninggal. Keterlaluan jika dia ingin mengorek kisah sedih seorang anak kecil, tetapi mengenal Arsa malam ini menyadarkannya akan satu hal.
Omar tumbuh dengan baik karena Arsa.
Daffa telah jatuh cinta pada kecerdikan Omar serta bagaimana manisnya sifat anak itu. Dia pernah menjadi seorang ayah dan tahu sedikit hal mengenai tumbuh kembang anak. Seorang anak tumbuh dari becermin pada orang dewasa yang merawatnya. Dalam hal ini, Omar besar karena hasil didikan Arsa. Agak sulit dipercaya. Seorang pemuda merawat anak kecil. Kesangsiannya dipental oleh pemandangan Arsa dan Omar di masjid. Pemuda itu tahu bagaimana mengajarkan Omar. Pemuda yang sempat dia ragukan kredibilitasnya.
Setengah jam yang lalu di masjid. Daffa duduk bersila di sebelah Omar mengamini doa yang dibacakan Ustad Udin. Pada sisi kanan Omar, Arsa khusu' menyimak doa tersebut.
"Om, kebelet nih," bisik Omar dengan tangan kiri menutupi mulut dan badan condong ke Arsa.
"Pup atau pee?" tanya Arsa. Dia melirik sekilas.
Omar melirik dan Daffa buru-buru mengalihkan pandangan dan berusaha kembali menyimak doa. "Pup," jawab Omar dengan suara mendesis.
"Ayo." Arsa berdiri.
Omar berpaling pada Daffa. "Stay here, okay? I have some bussiness outside. I'll be back. Amin yang kenceng biar Allah dengar," pesannya sebelum mengikuti Arsa.
Daffa nyaris tertawa. Untung dia ingat masih berada di tengah sesi doa dan khusu adalah syaratnya.
Lewat sepuluh menit, menurut perhitungan Daffa yang terus-menerus melirik jam dinding masjid dekat serambi imam, Omar dan Arsa kembali. Bocah itu duduk bersila dengan semangat. Sebelum mulutnya sempat bercuap, Arsa sudah mencegah dan kembali mengikuti jalannya solawat. Omar jengkel, tentu saja. Anak itu senang berbicara dan dipaksa menahan ide-ide di kepalanya pasti sebuah perintah yang teramat berat.
Saat itu, Daffa tersenyum.
Kembali ke waktu sekarang, Omar telah mendapatkan kebebasannya berbicara. Dia membicarakan apa saja yang melintas di depan mereka, baik itu gerobak cireng sampai sampah plastik di tepi jalan. Berkebalikan Arsa yang diam.
Daffa merasa perlu menarik Arsa dalam percakapannya dan Omar. Dia bertanya, "Kamu ke mana pas tadi doa?"
"I told you, kan, aku ada bussiness outside," jawab Omar. Sayang sekali Daffa tidak berkesempatan melihat ekspresi Omar yang terhalang tinggi badannya dan Omar.
"Bussiness apa?" Daffa berharap Arsa yang akan nyeletuk menyebutkan kesibukan Omar. Namun pemuda itu tetap bungkam. Saat dia melirik, Arsa hanya mengulas senyum tipis.
"Universe called me." Suara Omar melirih.
"Hah?"
"Panggilan alam," desis Arsa.
Daffa merasa dungu baru menyadari pilihan kata bocah berambut mangkok itu. "Oh gitu."
Sejujurnya, Daffa bingung mau berbicara apa lagi. Beruntungnya, dia sedang bersama seorang pembicara ahli berusia muda. Omar, dengan segala kepolosannya, mengambil alih sebagai pemimpin pembicaraan.
"Om Acha wasted my time in toilet. You know why?" Omar mendongak untuk pertama kali dan Daffa dapat melihat pipi Omar yang kemerahan tersiram penerangan lampu jalan.
Daffa menggeleng sekali dengan senyum melekat di wajahnya.
"Om Acha suruh aku baca artinya doa istinja, kan udah baca doanya, harus banget pake artinya. Too tiring." Omar menoleh pada Arsa. Daffa dapat menebak wajah jengkel Omars kini. Kemudian Omar beralih pada Daffa. "Om kalo abis pup emangnya baca doa pake artinya?"
Daffa seolah mendapatkan satu tamparan keras melalui pertanyaan tersebut. Berdoa setelah buang hajat? Kapan dia pernah melakukannya?
Spontan Daffa menggeleng.
Omar berbalik menghadap Daffa dan Arsa. Dia memandang Arsa menantang. "See? Om Daffa nggak pake baca arti doa istinja. Semua orang nggak pake artinya. Om Acha bye bye nih," omelnya.
Arsa mendesah, lalu meralat, "Lebay. Bukan bye bye."
"Ya, ya itu." Omar berat mengakui kesalahan ucapnya.
Arsa memberikan tatapan yang menyiratkan permohonan maaf kepada Daffa. Tidak menunggu tanggapan Daffa, Arsa berucap ke Omar, "Belajar memang capek. Belajar terbiasa baca doa, belajar mengucapkan artinya doa. Belajar supaya menjadi anak yang akhlakul kharimah memang begitu. Kamu dibiasakan membaca doa supaya saat dewasa nanti nggak lupa sama kewajiban. Kamu dipaksa memakai artinya doa karena membaca doa tanpa tahu artinya sama saja mempunyai peta tanpa tahu tujuannya. If you keep being ignorance, live as you wish and never expect to be loved by your God."
"That's too harsh to talk to me. I am a child," serang Omar.
Arsa berjongkok. Lengan kirinya bertumpu pada lutut sementara kaki kanannya menahan bobot badan. "Don't make excuse using your age."
Mata Omar basah. Daffa dapat melihatnya dengan jelas. Dia tidak tega, tapi bingung bagaimana melerai adu mata di antara mereka.
"Bye!" pekik Omar, lalu menjauh. Tak sampai lima langkah, dia memutar badan dan berteriak, "DON'T FOLLOW ME! I'M ANGRY!"
Arsa bangkit sembari memandangi Omar yang berjalan sendirian. Daffa memandang Omar cemas dan melirik Arsa kebingungan. Bagaimana bisa ada orang dewasa sekeras Arsa mengajarkan anak kecil? Daffa menarik kembali pemikirannya tentang kemampuan Arsa merawat Omar.
"Apa nggak terlalu keras?" Daffa memberanikan diri berkomentar.
"Maksudnya?" Arsa bertanya seraya berjalan.
Mau tak mau Daffa menyamakan langkah untuk berbicara. "Omar masih kecil, apa nggak bisa sedikit melunak mengikuti kemauannya yang ingin baca doa saja?"
"Lalu kapan waktu yang tepat untuk mengajarkannya arti doa? Saat dia sudah lebih besar dan mulai berani membangkang orang tua?" Arsa tersenyum teduh saat melirik Daffa. Sama sekali tidak tersentil pertanyaan yang dia terima.
"Saat Omar lebih besar, dia akan paham dengan sendirinya kenapa harus belajar agama dan berdoa."
"Menunggu besar untuk belajar? Kenapa harus menunggu besar dan sudah paham, kalau beribadah itu bisa diajarkan lebih awal?"
Daffa kehilangan kata-kata karena sikap lawan bicaranya yang tenang membuatnya meragu untuk berdebat. Dia juga belum mengenal Arsa dengan baik.
"Mas nggak usah khawatir melihat Omar ngambek sampai nangis. Perasaannya cepat membaik. Satu dua kali mengekspresikan emosi bukan berarti jadi anak nakal, kan?"
Mereka telah tiba di dekat rumah. Omar berdiri di depan gerbang, menyilangkan tangan, dan cemberut.
"I'm gonna cry." Ucapan Omar terdengar seperti ancaman.
Arsa berjongkok, tersenyum, lalu berkata pelan-pelan, "I'm sorry for being harsh, yet I do care about you."
"I forgive you." Omar menyodorkan kepalan tangan kanannya. Dia masih membuang muka.
Daffa mengamati.
"Thank you. Then..." Arsa mengangkat kedua alisnya.
"I'm ... sorry." Kata itu terucap sangat lirih. Astaga, Omar kecil gengsian meminta maaf.
"For..." Arsa memancing.
"For angry?" Omar ragu-ragu.
Arsa menggeleng. "Marah itu nggak salah, walau baiknya jangan sering-sering marah. Nanti best friends kamu setan dan iblis."
"Iiiih." Omar bergidik ngeri.
"Kamu nggak tahu salah kamu apa, kenapa minta maaf?"
Daffa ingin sekali menyumpal mulut Arsa. Seharusnya dia terima saja permintaan maaf Omar dan masalah selesai. Bukankah begitu?
"Ah!" Omar tersenyum malu-malu. "Sorry for being ignorance."
"Thank you." Arsa menoel pipi menggemaskan Omar.
Omar menggoyangkan kepalan tangannya. Arsa menempelkan kepalan tangannya di situ, lalu bersamaan mereka membuka kepalan tangan dan menggoyangkan jari sambil menarik tangan mendekati tubuh. Omar membuat suara, "BOOM!"
Arsa segera berdiri. "Nah, kita pamitan sama Om Daffa yang sudah temani kita solat jamaah bareng."
"Bye bye, Om Daffa. Solat lagi besok yuk. Assalamualaikum," kata Omar. Dia sudah kembali ceria.
"Waalaikumsalam," balas Daffa. Dia juga berpamitan ke Arsa, lalu menyeberang jalan.
Mencapai gerbang rumah, Daffa berbalik. Dia memerhatikan keakraban Arsa dan Omar. Lantas ucapan Arsa terngiang di benaknya.
Satu dua kali mengekspresikan emosi bukan berarti jadi anak nakal, kan?
Dia tidak yakin terhadap jawabannya.
###
23/10/2021
Alohaaa ‘٩꒰。•◡•。꒱۶’
Aku Miss Bek si bebek gemes (bukan kremes) yang lama gak mampir di Wattpad.
Syapa kangen aku?
Syapa kangen Omar?
Syapa kangen Om Acha?
Syapa kangen Om Daffa?
Syapa yang nanya mana Asiyah?
Buat bab ini, sengaja aku kasih Omar yang mewek biar kamu hepi *eh?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top