1
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ . . .
Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allahlah (datangnya). . .
(QS. An-Nahl: 53)
Asiyah terbangun dengan kepala yang terasa baru saja dihantam palu. Dia meremas rambutnya sebagai usaha melenyapkan sakit. Matanya kembali terpejam, tak kuasa menahan nyeri yang menerjang. Namun dia harus bergegas bangun dan menunaikan sholat Subuh.
Susah payah Asiyah bangkit dari kasur dan berjalan perlahan ke luar kamar. Ruang tamu dan dapur sudah terang oleh lampu. Pasti ibunya yang menyalakan penerangan. Ibunya biasa bangun di sepertiga malam untuk sholat dan menyiapkan dagangan.
"Ibu." Asiyah menemukan ibunya sedang mengangkat bakwan dari penggorengan sewaktu masuk ke dapur.
"Asi bantu setelah sholat, ya," lanjut Asiyah.
"Iya. Kamu tenang saja. Sholat yang khusu'. Ibu cuma dagang sedikit pagi ini."
Ibu Asiyah biasa berdagang nasi uduk, gorengan, dan kue basah di teras rumah. Tanpa warung, ibu Asiyah menjajakan dagangannya di atas meja yang dilapis taplak plastik. Usaha ini telah dijalani sang ibu semenjak ayahnya meninggal. Asiyah tidak melarang karena bagaimana pun ibunya butuh aktivitas baru. Ibunya tidak kekurangan uang walau ayahnya sudah wafat. Ayahnya mewariskan tiga rumah kontrakan dan dua warung yang disewakan. Penghasilan yang didapat dari kontrakan dan menyewakan warung lebih dari cukup untuk membayar kebutuhan hidup.
Asiyah segera berwudhu di kamar mandi dan kembali ke kamar tidurnya untuk sholat. Begitu kembali ke dapur, ibunya telah selesai menggoreng.
"Mau menyiapkan apa lagi, Bu? Biar Asi bantu," kata Asiyah.
"Kamu sudah sholat?" Ibunya bertanya.
"Sudah, Bu."
"Kalau gitu, bantu Ibu bawa ini ke meja depan. Sekalian kamu lap mejanya dan siapkan kursi." Sang ibu mengangsurkan satu keranjang plastik berisi kertas pembungkus warna cokelat, kantong plastik, dan barang-barang lain untuk berjualan.
Asiyah membawa keranjang itu dan bergegas ke teras. Meja yang biasa dipakai ibunya masih merapat ke dinding. Asiyah mengangkat meja itu perlahan. Beratnya lumayan karena terbuat dari kayu. Asiyah yakin dia ngos-ngosan akibat mengangkat meja tersebut yang membuatnya bertanya-tanya bagaimana ibunya selama ini menyiapkan meja itu kalau seberat ini.
Seorang anak berseragam biru berteriak dari balik gerbang kecil rumah sewaktu Asiyah tengah mengelap meja. Asiyah belum pernah melihat anak itu. Dia meninggalkan pekerjaannya untuk menghampiri si anak sembari membayangkan orang tua macam apa yang membiarkan anak kecil itu berkeliaran di pukul setengah lima pagi.
"Kamu siapa?" tanya anak itu, bocah laki-laki yang semula diduga perempuan oleh Asiyah karena potongan rambutnya yang menutup telinga dan berbentuk seperti kepala jamur.
"Aku?" Asiyah kikuk ditanya demikian, apalagi si penanya adalah anak kecil, sementara dia sendiri anak pemilik rumah ini. "Aku Asiyah. Adik kecil siapa?"
"You're Nyai's daughter!" seru anak itu tiba-tiba.
Asiyah terkejut hingga tangannya menggantung di kunci gerbang. Baru sekali ini dia bertemu anak yang memiliki senyum menggemaskan. Asiyah memang menyukai anak kecil, tapi dia telah lama tidak menghabiskan waktu bersama keponakan dari adik Wirya akibat kisruh perceraian. Nyaris dua bulan dia berdiam di rumah mereka di Bandung dan lupa kegembiraan yang timbul sewaktu melihat senyuman anak kecil.
"Kamu buka pintu dong," kata anak itu lagi.
"Oh, ya." Asiyah tergagap sesaat, lantas membukakan gerbang kecil rumahnya yang terbuat dari jajaran besi seukuran kelingking orang dewasa. Asiyah membuka lebar gerbang itu dan membiarkan si anak melewatinya.
"Nyai! Assalamualaikum!" Anak itu berteriak sembari berjalan melintasi jalan setapak yang mengarah ke teras.
Asiyah tak habis pikir betapa banyak energi yang dimiliki si anak. Astagfirullah. Asiyah sampai lupa menanyakan nama si anak dan ada perlu apa anak itu datang ke rumahnya saat ini.
"Omar." Ibu Asiyah terkejut melihat anak itu sudah berdiri di teras saat dia membawa satu termos besar berisi nasi uduk.
"Nyai nggak jawab salam aku. Allah may be angry to you." Anak itu bertolak pinggang.
"Ya, Allah, maaf. Waalaikumsalam, Omar."
Anak yang dipanggil Omar itu mencium punggung tangan ibu Asiyah, lalu menyerahkan tas bekal bergambar Paw Patrol.
"Om mau lontong sayur. Aku mau tempe goreng," kata Omar.
Asiyah memperhatikan Omar kebingungan. Dia menduga Omar biasa berlangganan sarapan dengan ibunya, tapi kemana orang tuanya.
"Hari ini Nyai nggak masak lontong sayur. Ganti nasi uduk, ya? Aduh, gorengannya masih di dapur. Asi, tolong ambilkan gorengan di atas meja ya."
"Iya."
Asiyah mengambil nampan yang diisi gorengan tempe di dapur. Omar langsung memandang bahagia gorengan yang Asiyah taruh di atas meja. Asiyah tersenyum tipis, lalu kembali ke dapur untuk mengangkut dagangan lain ibunya. Setelah dua atau tiga kali bolak-balik, semua dagangan ibunya sudah komplit tersaji di atas meja. Asiyah pun menaruh kursi plastik untuk pelanggan yang capek berdiri saat menunggu.
"Omar mau putu ayu juga?" Sepenggal ucapan ibunya mengalihkan Asiyah dari kesibukan. Dia memandang keakraban Omar dan ibunya.
"Aku nggak ingin putu ayu. Kasih aku dua aja. Aku mau sharing ke best friends aku. Nyai tau Oscar dan Oliver best friends aku. First letter our name sama-sama dari O." Omar terus bercuap di sisi ibunya, sementara perempuan itu menyimpan makanan ke kotak bekal yang dibawa.
"Omar punya banyak teman di sekolah?" tanya Asiyah yang tergelitik ingin mengobrol dengan Omar.
"I do," jawab Omar sembari mengendikan bahu seolah orang dewasa.
Asiyah tersenyum, menahan geli melihat anak laki-laki yang ditebak masih sekolah TK itu bergaya menirukan orang-orang dewasa di sekelilingnya.
"What is your school?" Asiyah sengaja berbicara dalam bahasa Inggris karena ingin mendengar Omar berbicara dalam bahasa Inggris lagi.
"Magical Rainbow Preschool. It's quite far, but it's okay. You know, I like my school. I have one teacher in the class. Only Miss Gendis. She's good. And I have five friends. Oscar dan Oliver, they are my best friends."
Celotehan Omar membuat baik Asiyah dan ibunya tersenyum. Memang keluguan seorang anak yang belum memahami seluruh isi dunia adalah mata air yang menjernihkan pikiran orang-orang dewasa.
"Where is your school?" Asiyah tertarik mencari tahu lebih banyak mengenai Omar.
"You know, my school is in South Jakarta. We need thirty minutes by car every morning," jawab Omar bersemangat.
Asiyah tercengang mengetahui letak sekolah Omar berada di belahan lain Jakarta. "Kamu nggak capek?" Asiyah pun lupa niatannya berbicara dalam bahasa Inggris.
"Don't mind. I'm okay." Omar membalas sambil lalu. Dia kembali memerhatikan tas bekalnya yang baru saja dirapikan ibu Asiyah.
"Nyai masukan nasi uduk untuk Om. Kamu punya dua kotak isi gorengan dan kue basah," kata ibu Asiyah.
"Makasih, Nyai." Omar menerima tas bekalnya dan mengucapkan salam.
"Dia pulang sendiri?" Asiyah bertanya ragu-ragu saat melihat Omar pulang.
"Kenapa? Rumahnya persis di sebelah," sahut ibunya sembari membungkus nasi uduk menggunakan kertas cokelat yang dilapis potongan daun pisang.
"Rumah sebelah? Rumah Mbak Ajeng?" Asiyah spontan berseru.
"Iya. Omar itu anak Ajeng." Ibunya tersenyum geli.
Asiyah memandang kebingungan antara ibunya dan Omar yang sudah melewati gerbang kecil rumah mereka. "Aku pikir rumah sebelah sudah diisi keluarga lain. Pagarnya tinggi sekali," aku Asiyah.
"Pagar tinggi itu karena ada kesalahpahaman sama tetangga yang sebelah sana."
"Oh," gumam Asiyah. Matanya melanglang pada bangunan di sebelah rumah yang berbeda dari ingatannya.
###
Terbit ulang 15/04/2021
Nyaik (Nyai): Kata "Nyaik" atau "Nyai" dipakai untuk menyebut nenek. Disamping itu, kata ini dapat digunakan untuk menyebut seorang wanita orang yang sudah tua dan dihormati.
(Diambil dari https://www.bankjim.com/2015/04/budaya-betawi-istilah-kekerabatan.html?m=1)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top