9 : Salah Paham
Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.
Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.
.
.
.
"Tunggu, tunggu--" Faris mengendarai motornya dengan kecepatan yang sedang.
"Lu ngapain ikut woy?" teriaknya pada Melodi yang masih menempel di jok motornya.
"Lu berhutang penjelasan, gua akan ikut lu pulang pokoknya, sebelum lu kasih tau gua tentang, Ben!"
Faris menghela napas dengan wajah datarnya, Faris mulai bercerita bahwa Ben adalah playboy cap gayung, ia sering bermain wanita. Kenapa Faris tak bercerita? Karena itu hanya rumor yang ia dengar, Faris tak pernah benar-benar menangkap basah Ben melakukan itu, itulah sebabnya ia tak ingin menyebarkan fitnah, jika rumot itu tak benar.
"Berarti, dia jadiin, Nada sebagai pelarian?" Melodi tampak berpikir.
"Dari apa?"
"Dari gua--beberapa minggu lalu, dia nembak gua, dan ya--gua tolak," jawab Melodi.
"Semenjak, Nada datang ke studio gara-gara anak band salah orang, mereka kira, Nada itu adalah gua. Mungkin, Ben mengambil kesempatan itu buat dapetin yang konteksnya masih mirip sama gua," papar Nada.
"Logis," timpal Faris.
"Kita harus usut ini, Ris, kita cari tau tentang kebenaran rumor itu!"
"Ga, gua ga mau--"
"Gua pastiin, Nada itu milik lu seorang," balas Melodi memotong.
Faris terdiam tak melanjutkan kata-katanya yang terpotong oleh Melodi, ia memikirkan tawaran yang baru saja ia dengar.
"Persekutuan dengan iblis," gumam Faris lirih.
"Hah? Ngomong apa? Ga kedengeran," balas Melodi.
"Ga, gapapa."
Tak terasa mereka berdua tiba di rumah Melodi, setelah Melodi turun, Faris segera bergegas pulang. Tak begitu lama jeda Melodi sampai di rumah, Nada tiba di rumah dengan seorang pria yang tak lain adalah Ben.
"Makasih ya," ucap Ben.
"Aku yang harusnya berterimakasih," balas Nada.
"Aku pulang dulu," balas Ben.
"Hati-hati," timpal Nada.
Nada membuka pintu gerbang, Melodi sedang duduk di kursi teras sambil menatapnya.
"Kamu deket sama, Ben?" tanya Melodi.
"Ya--gitu deh," jawab Nada.
"Bukannya kamu suka sama, Faris?" tanya Melodi.
Nada hanya menunduk dengan tatapan sendu, Melodi menyadari itu dan bertanya pada Nada tentang perasaannya.
"Kalaupun aku suka sama Faris itu bukan urusan kamu, dan kalaupun aku suka sama dia kemarin, mulai saat ini aku hanya perlu lupain itu," ucap Nada.
"Kenapa?" Melodi menatap Nada heran.
"Aku udah punya pacar," jawab Nada singkat sambil melangkah ke arah pintu, tetapi Melodi menarik tangannya.
"Jangan bilang--" Melodi menatap Nada dengan tatapan ultra seriusnya.
"Kamu jadian sama, Beni?"
Nada tak menjawab, ia membuang muka.
"Nad, Beni tuh cowok ga baik--"
Nada menutup mulut Melodi yang berkata seperti itu.
"Ga Faris, ga kamu, nganggap, Beni itu ga baik, kalaupun dia ga baik, biarin aku yang nilai dia sendiri," ucap Nada sambil menatap Melodi.
"Dan--berhenti ngatur hidup aku seolah-olah aku itu adalah yang palsu."
"Maksud kamu apa?" tanya Melodi heran.
"Dari dulu kamu selalu ngatur tentang ini itu, yang boleh aku lakuin dan ga boleh aku lakuin, kamu ga kasih aku kesempatan buat menilai sesuatu dari sudut pandangku sendiri, seolah-olah kita ini adalah satu orang--"
"Kamu yang asli, dengan semua kelebihan kamu--"
"Dan aku yang palsu, dengan segala kekuranganku, seolah-olah kita terlahir sebagai satu orang, dan kamu adalah yang asli." Nada melepaskan pegangan Melodi dan masuk begitu saja ke dalam rumah.
Dan kata-kata itu adalah kata-kata yang paling tajam dari segala ucapan yang pernah ada di dunia, tanpa sadar, Melodi meneteskan air matanya.
Tama baru saja pulang, ia membuka pagar dan memarkirkan mobilnya di halaman, ketika ia turun dari mobil dan berjalan menuju pintu masuk, ia mendapati putrinya sedang menangis. Tama membuka sarung tangan hitamnya dan membelai lembut rambut putrinya.
"Kamu kenapa, Sayang?" tanya Tama.
Melodi tak menjawab, ia butuh waktu untuk meratapi nestapanya, entah, sebenarnya ia menangis bukan karena ucapan Nada yang tajam melukai hatinya, tetapi karena ia merasa Nada banyak melalui kesulitan karena dirinya, hingga membuat Nada berpikir seperti itu.
Tama mengetahui akar masalah yang terjadi, ia memang tahu tentang masa lalu orang lain, tetapi Tama tak tahu isi hati orang lain, entah apa yang membuat Melodi menangis, yang Tama tau, putrinya saat ini membutuhkan dekapan, Tama memeluk Putrinya yang sedang menangis dan kemudian menggendongnya ke dalam rumah.
Di sisi lain, Nada sedang berbaring di kasurnya, hingga tiba-tiba Tama masuk ke dalam kamar dan duduk di sebelahnya, Nada hanya menutup matanya dengan lengan kanannya.
"Kamu kenapa sama, Melodi?" Tama menggenggam tangan Nada dengan tangan telanjangnya.
Sekelibat memori terlihat dari pikiran Nada, tentang hubungannya yang rumit. Tama melihat bahwa Nada menolak Ben secara terang-terangan setelah Faris pergi dari kelas, tetapi Nada membiarkan Ben mengantarnya pulang, hingga tak sengaja ia melihat Melodi dan Faris berboncengan, seketika kewarasannya menghilang, Nada memang selalu iri pada Melodi, karena kembarannya adalah wanita yang sempurna, apa yang Melodi inginkan pasti akan ia dapatkan. Tanpa ia sadari, api cemburu membakar dirinya dan menyulut ke segala relung hatinya, hingga menghanguskan pikiran jernihnya.
"Aku berubah pikiran--" ucap Nada pada Ben yang sedang mengendarai motor, ia memasukkan tangannya ke saku jaket milik Ben dan memeluk pria itu.
"Aku butuh kamu, lebih dari siapapun," lanjut Nada.
"Aku tau, kamu suka sama, Faris," balas Ben.
"Tapi aku tetep berusaha buat dapetin hati kamu, aku juga tau, Faris orang yang kayak gimana. Aku cuma ga mau kamu menyesal--bukan karena pernah nolak aku, tapi karena suka sama orang yang salah," lanjut Ben.
"Dia pasti bilang macem-macem tentang aku, Melodi pun begitu, rumor buruk itu cepat tersebar. Jangan dengerin apa kata orang, biar kamu yang menilai aku dengan mata kamu sendiri."
"Jangan sedih, kamu punya aku sekarang." Ben mengeluarkan tangan kiri Nada dari sakunya dan meletakkanyna di depan perutnya, ia mengendarai motor hanya dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya sibuk menggenggam tangan kiri Nada, mereka melaju dengan kecepatan yang sangat pelan, membuat motor milik Faris melaju lebih cepat.
Tama kembali tersadar, ia merasa harus mencari Faris ataupun Beni, memang bukan urusannya perihal hati putrinya, tetapi jika memang kedua pria itu bukan pria yang baik, tentu Sang Raja harus menilainya sendiri, ia ingin yang pria terbaik untuk putrinya.
***
Tiba waktunya makan malam, semua berkumpul di meja makan, kecuali Melodi. Aqilla hanya menatap Tama, begitupun sebaliknya. Aqilla memutuskan untuk membawa makan malam milik Melodi ke kamarnya.
"Kalo nyari, Melodi, dia ada di kamar yang biasanya kosong," ucap Nada singkat.
Aqilla mengambil piring dan membawa seporsi kwetiaw goreng menuju kamar yang di maksud oleh Nada.
"Kamu ikut gih, minta maaf sama, Melodi," ucap Tama.
Nada hanya diam, terlihat ekspresi wajahnya yang tak menyukai ucapan Tama.
"Apa pernah--"
"Melodi bilang begitu sama kamu? Apa pernah dia menganggap kamu sebuah kepalsuan? Apa pernah, dia ninggalin kamu saat kamu terjatuh dan terpuruk?" tanya Tama.
"Siapa orang yang selalu mengulurkan tangannya buat kamu, ketika kamu butuh seseorang di sisi kamu?" lanjut Tama.
"Ayah inget, kamu pernah suka sama cowok waktu SMP, Melodi yang cerita, namanya Agil."
Sontak membuat Nada menoleh dan menatap Tama.
"Kenapa, Melodi bisa tau? Itu kan pikir kamu saat ini?"
"Banyak hal yang kamu ga sadari, termasuk Melodi yang selalu jagain kamu, dia merasa bahwa dia adalah sosok kakak yang harus melindungi adiknya."
"Dia juga suka sama, Agil," balas Nada.
"Iya, Ayah tau kok--" Tama menatap putrinya yang saat ini sedang merasa tak karuan.
"Waktu itu udah jam pulang, aku nungguin, Melodi buat pulang bareng, dan karena lama, aku samperin ke kelas dia. Ada Agil di sana, mereka berduaan dan Agil nembak, Melo," Nada memotong pembicaraan Tama.
"Terus kamu pulang sendiri kan karena cemburu?" tanya Tama.
Nada hanya mengangguk.
"Apa kamu tau jawaban, Melo?" tanya Tama.
Nada menatap Tama sambil menggelengkan kepalanya.
"Dia nolak, Agil karena dia ga mau nyakitin perasaan kamu," jelas Tama.
"Dia nolak semua cowok yang nembak dia karena dia tau, kamu selalu cemburu sama dia yang populer, dan kamu sebaliknya--"
"Dia itu keterima di sekolah unggulan yang sebenernya dia sangat berharap untuk masuk ke sana, tapi dia memilih untuk bareng terus sama kamu."
"Bahkan kadang, Ayah ngerasa bahwa pengobanan dia ke kamu itu lebih besar dari pengorbanan, Ayah. Denger kamu bilang seperti itu, pasti membuat dia terpukul--"
"Bukan karena sakit hati, tapi karena merasa bersalah sama kamu--"
Nada meninggalkan Tama bersama dengan Adik kecilnya di meja makan, ia berlari menyusul Aqilla ke kamar kosong. Nada tak langsung masuk, ia mendengar percakapan antara Melodi dan Aqilla.
"Nada udah makan, Bun?" tanya Melodi.
"Udah kok, tinggal kamu aja yang belum, ayo di makan."
"Melodi mau keluar dari osis, Bun, dari grup musik juga," ucap Melodi.
"Loh, kenapa? Kamu kan dapet golden tiket buat masuk osis karena prestasi kamu? Dan kamu suka musik kan? Kenapa mau keluar?" tanya Aqilla.
"Nada itu berbeda, Bun--" ucap Melodi sambil sesekali menarik napas.
"Entah, Melodi merasa--semakin Melodi maju, semakin, Nada merasa benci sama, Melodi--"
"Bisa ga si, Melodi jadi anak biasa aja yang ga berprestasi? Melodi ga mau berantem sama, Nada, Melodi ga mau, Nada punya rasa iri, cemburu, atau benci sama, Melodi."
"Melo, kamu itu adalah diri kamu sendiri, kamu bukan, Nada dan sebaliknya pun begitu. Nada istimewa dengan apa yang dia punya," ucap Aqilla.
Krieeet~
Suara pintu kayu yang bergeser membuat mereka berdua menoleh ke arah Nada yang berdiri berlinang air mata. Nada berlari dan memeluk Melodi hingga mereka terjatuh di atas kasur.
"Maafin, Nada udah ngomong gitu," ucap Nada sambil menangis.
"Jangan keluar dari Osis! Jangan keluar dari grup musik!" lanjut Nada.
Aqilla hanya tersenyum melihat mereka, ia membawa piring kwetiaw itu turun kembali dan meninggalkan mereka berdua di kamar.
"Ini, Bunda bawa lagi ya, kalo kamu laper turun aja, jangan ngerasa ga enak sama, Nada," ucap Aqilla meninggalkan mereka.
"Jangan benci sama aku ya," ucap Melodi.
"Enggak! Nada yang salah pokoknya, maafin ya!"
Kedua kembar itu memang selalu begitu, terkadang akur, terkadang iri antara satu dan lainnya, terkadang marah dan bertengkar, tetapi sejatinya mereka akan selalu kembali berdamai. Di setiap pertengkaran, selalu ada hikmah yang dapat diambil, pertengkaran membuat hubungan semakin erat, ketika kita bisa melaluinya bersama.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top