50 : Awal Dari Sebuah Akhir
Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.
Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.
.
.
.
Gulir waktu mengalir. Tiap detiknya begitu cepat dan terkadang membuat kita tak sadar, meninggalkan sepenggal jejak yang selalu membekas untuk selalu dikenang. Kenangan hanyalah serpihan masa lalu yang tertinggal. Namun, hanya mengingatnya saja mampu membuat kita tertawa dan menangis.
Tak terasa, waktu-waktu yang Nada habiskan untuk memperbaiki nilai sekolahnya. Ia mendapatkan banyak support, terutama dari kembarannya, Melodi. Dua kembar itu memutuskan untuk merantau ke Yogyakarta.
Melodi Regita Mahatama, gadis itu akan menggunakan almamater yang sama dengan Ayah dan Bundanya. Institut Seni Indonesia. Ya, Melodi akhirnya mampu masuk ke universitas impiannya. Ia mengambil jurusan Penyajian Musik seperti Aqilla dulu.
Sementara kembarannya, Nada Regina Mahatama, gadis itu memilih Institut Pertanian Stiper (INSTIPER) dan mengambil jurusan Proteksi Tanaman.
Kini dua kembar itu sedang duduk di pinggir kolam. Menyeburkan kakinya ke dalam air sambil menabur makanan ikan.
"Jakarta, Bandung, Jogja," ucap Melodi. "Setelah itu, kita pasti pergi lagi. Entah berapa kali perpisahan lagi yang akan menunggu kita kedepannya."
"Jakarta, ya ... aku sampe lupa pernah tinggal di sana. Soalnya aku enggak punya temen," balas Nada. "Jujur, berat sebenernya ngelepas Bandung, tapi kamu ke Jogja ih! Sebel. Aku enggak mau pisah sama kamu."
"So sweet." Melodi mengecup pipi Nada dengan cepat.
"Ih najong dah! Jangan cium-cium!"
Melodi melirik ke arah samping. Faris berjalan menghampiri mereka berdua. Melo hanya tersenyum, lalu beranjak dari duduknya.
"Mau ke mana?" tanya Nada. Melodi hanya melirik ke arah Faris sambil tersenyum.
Kini Melodi berjalan pergi, meninggalkan dua orang itu di tepi kolam. Faris duduk di samping Nada. "Besok kamu udah pergi, ya?"
"Kamu enggak milih kampus di Jogja?"
"Sebenernya mau, tapi Ibuku tinggal sendirian di sini, jadi aku enggak mau pergi jauh."
"Aku cemburu," balas Nada. "Kamu romantis banget sama Ibu kamu."
"Kamu pun romantis sama Melodi."
Nada dan Faris tertawa bersama. Setelahnya, tak ada kata yang terucap di antara mereka. Hanya saling menatap langit yang sama.
"Bandung enggak akan sama lagi," ucap Faris.
Nada menoleh ke arahnya. "Kenapa?"
"Kamu enggak di sini."
"Padahal, sebelumnya aku emang enggak di sini," balas Nada.
"Iya, emang." Faris menghela napas. "Tapi sejak kamu di sini. Aku selalu bermimpi."
"Mimpi? Mimpi apa?"
"Bisa terus bareng kamu. Aku pun enggak nyangka bisa kerja sampingan di rumah kamu jaga toko tanaman hias. Entah, ada seorang gadis yang punya hobi sama, dan enggak nganggap aku aneh."
Nada melepaskan sarung tangannya dan menggenggam tangan Faris. Ia memejamkan mata seraya dengan senyuman manisnya. Menikmati jejak peristiwa, ketika pertama kali mereka bertemu.
"Cantik, ya," ucap Faris yang sedang menyandarkan dagunya di pagar sambil memperhatikan Nada.
"Iya," jawab Nada dengan refleks, sambil tersenyum dan masih menyirami tanaman-tanaman barunya.
'Maksud aku ... kamu yang cantik,' batin Faris.
"Kamu ... suka sama tanaman-tanaman itu?" ucapnya pada Nada.
Nada hanya menganggukan kepalanya.
"Kalo ada waktu, main ke rumah aku ya. Orang tuaku jual tanaman hias," ucap Faris itu sambil tersenyum.
Nada meresapi seluruh adegan itu, lalu berpindah ke cuplikan lainnya.
Faris duduk di dahan pohon trembesi yang berada di belakang sekolahnya. Pria itu memainkan seruling sambil sesekali bernyanyi. Ia membawakan lagu dari Akeboshi yang berjudul Wind. Faris seperti sedang mengendalikan angin dengan serulingnya.
"Don't try, to live so wise. Don't cry, cause you're so right. Don't dry, with fakes or fears, cause you will hate yourself in the end."
Nada yang sudah berada di bawah Faris, memandang wajah pria itu dari bawah, tampak jelas, kesedihan dari raut wajahnya. Pria itu memejamkan matanya dan membiarkan angin menyetubuhinya, ia hanya meresapi setiap jengkal demi jengkal musik yang ia bawakan. Hingga akhirnya ia tersadar dan mendapati sosok Nada yang sedang memperhatikannya. Ia menjulurkan tangannya.
"Mau naik?"
"Aku bisa sendiri," jawab Nada yang memanjat pohon trembesi itu, Nada duduk di sebelah Faris.
"Lagunya bagus."Nada memuji permainan Faris.
Lagi-lagi, Faris menyampingkan poni Nada yang menutupi wajahnya, ia menyelipkannya di atas kuping Nada.
"Belum sebagus senyum kamu barusan," balasnya pada Nada.
Nada melepaskan tangannya dari Faris. Ia membuka matanya sambil menatap Faris. "Terimakasih ya, Faris."
"Buat?"
"Hadir dalam kehidupanku." Mereka saling berpandangan.
"Aku yang harusnya makasih," balas Faris. "Kamu mengajarkan banyak hal."
"Apaan?! Mana ada."
"Ada. Jatuh cinta misalnya." Faris tersenyum menatap ikan-ikan di kolam. "Patah hati, khawatir, belajar untuk enggak egois, belajar mengalah, cemburu, banyak." Kini pria itu merebahkan dirinya di rumput sintetis halaman. "Waktu kamu pacaran sama Beni. Aku marah. Marah sama kamu, marah sama Beni, marah sama diriku sendiri."
"Aku nerima Beni karena cemburu sama kamu dan Melodi," balas Nada.
"Hah?" Faris menatap Nada. Ia memicingkan matanya. "Kok bisa?"
"Waktu itu aku lihat kalian pulang barengan."
"Muka kalian emang mirip, tapi aku enggak pernah sama sekali kepikiran tuh. Kalian itu dua orang yang berbeda. Aku sukanya sama kamu."
"Deva sama Melodi pacaran. Enak, ya. Sementara aku, enggak ditembak-tembak."
Faris hanya tertawa mendengar itu. "Pacaran itu membatasi seseorang. Ada aturan yang enggak boleh dilanggar. Dan lagi, kebanyakan orang yang pacaran itu, setelah putus mereka musuhan."
"Kalo pacaran berarti kamu enggak bisa godain cewek lain maksudnya?" Nada mulai menggoda Faris.
"Kevin, Harits, Beni ... bukan berarti aku enggak tau siapa pesaing aku," jawab Faris. "Waktu yang akan menjawab semuanya. Agar kamu tau, dari semua yang pernah hadir, aku yang terbaik. Mungkin, kita akan saling menjauh, terutama kamu yang cantik. Pasti banyak yang suka dan kamu pun pasti akan ngejauh tanpa kamu sadari. Ketika kamu pergi jauh, kelak kamu akan merindukan aku, karena cuma aku--satu-satunya tempat hati kamu pulang. Kamu boleh berlabuh di hati siapa pun, tapi kamu enggak akan tinggal lama. Karena aku masih ada di sini."
"Percaya diri sekali anda, bung!"
"Karena aku enggak punya apa-apa, selain rasa percaya diri itu sendiri."
Nada bersandar pada bahu Faris. Ia tak berkomentar. Hanya membuang senyumnya ke arah kolam. Terpampang jelas dari pantulan air, wajahnya yang merah merona. Faris menuntunnya untuk berdiri. "Ayo, kita keliling Bandung. Sebelum kamu pergi." Mereka berdua menghabiskan waktu dengan berkeliling kota Bandung.
Di sisi lain, Melodi berjalan keluar rumah. Ia berjalan mengelilingi kompleknya tinggal. Hingga Melodi duduk di sebuah taman kecil sambil menatap anak-anak yang mengerubungi tukang es krim.
Duh, enggak bawa uang. Mau es griiiim!
Sebuah tangan tersodor memberikannya es krim. Melodi menoleh. "Buat aku?"
Pria yang duduk sebangku dengannya hanya mengangguk. Melodi mengambil es krim itu dan memakannya. "Makasih, loh! Siapa pun kamu."
Setelah di hapus ingatannya tentang insiden Suratma, jelas, Melodi tak mengingat siapa Agha Wardhana. Agha tak menyalahkan Melodi, ia tahu tentang Chandra yang menghapus memori anak-anak yang terlibat dengan kejadian tersebut. Kini pria dengan tutup mata sebelah itu hanya memandang Melodi yang sedang asik memakan es krim.
Melodi yang menyadari diperhatikan akhirnya menatap Agha sambil samar-samar ingatannya kembali. "Kita pernah ketemu? Kok kayak familiar."
Agha hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
Ini orang kayak Ayah. Pelit banget ngomong. Apa emang enggak bisa ngomong?
"Mau es krim?" Melodi menawarinya es krim kepada orang yang memberikannya es krim.
"Kamu abisin aja," jawab Agha. Ia beranjak dari duduknya sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong jaket merahnya.
"Mau pergi? Makasih loh es krimnya hehe." Melodi masih berusaha mengingat siapa orang ini. "Nama kamu siapa?"
"Agha Wardhana." Agha berjalan pergi meninggalkan Melodi sendirian.
Mata Melodi terbelalak. Ia baru mengingat orang itu. Orang yang menolongnya dan Deva ketika menghentikan ledakan bom. Entah bagaimana caranya, orang itu mampu melenyapkan beberapa bom yang dibawa oleh Deva kala itu.
***
Malam kian gulita, dicumbunya aroma perpisahan. Padahal belum ada tiga tahun mereka tinggal di Bandung, tetapi cukup banyak kisah yang tertuang di ibukota periangan itu. Melodi dan Nada berbaring di kasurnya sambil menatap langit-langit kamar.
"Vian gimana, ya?" tanya Nada.
"Vian mana sedih. Dia malah seneng jadi satu-satunya penguasa rumah ini," jawab Melodi.
"Di Jogja ada Mbak April, ada Mbak Amel juga, ada Kak Sherlin, sama Mbak Nisa."
"Ada bau-bau petualangan baru juga!" timpal Melodi.
"Tapi sedih enggak sih? Kita jauh dari Ayah sama Bunda." Nada mulai merasa sedih. Memikirkan semua kebersamaan yang tak pernah lepas ini.
"Ayah pernah bilang," balas Melodi. "Kita enggak akan pernah paham arti 'rumah', sebelum kita pergi jauh. Kita enggak akan mengerti makna 'keluarga', sebelum kita merasa kehilangan."
"Melodi, ayo tidur. Besok kita mulai petualangan baru kita."
Melodi hanya tersenyum mendengar itu. Mereka berdua memejamkan matanya. Cahaya bulan masuk menerangi kamar mereka. Menerangi senyum anak kembar itu.
https://youtu.be/m0zRexlo5DM
Bulan selalu setia menyinari langit malam. Walau awan menyapa kelam, walau terkadang bintang redup terlihat suram. Malam tak melulu bercerita tentang kengerian. Pernahkah kamu tahu? Malam adalah yang membasuh segala lukamu di hari ini. Ia meredam segala lara untuk hari esokmu.
Perpisahan. Satu kata yang mengandung sejuta kesedihan. Selalu ada kecewa, selalu ada air mata, selalu ada aroma luka. Perpisahan mengajarkan kita, untuk menghargai waktu yang masih tersisa.
*** SEASON 1 END ***
Dah lah. Aku tamatin aja wkwkwk abis enggak sabar nulis MANTRA COFFEE NEXT GERATION.
Pastinya Keluarga Mahatama bakal balik lagi kok. Dengan Vian sebagai tokoh utamanya. Yaudahlah, kita ketemu di cerita selanjutnya aja hehe aku enggak jago ngomong.
Sampai bertemu di kota Jogja :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top