5 : Salah

Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.

Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.

.

.

.

Sudah seminggu ini Nada belajar tentang fotografi. Hari sabtu kemarin, Nada ikut bersama Tama dalam outing kantornya di daerah Lembang. Karena ia tak ada di rumah dan, Aqilla sibuk bersama Vian, Melodi jadi harus mengurus halaman yang biasanya diurusi oleh Nada.

Duh, jadi kang kebon, batinnya sambil menyirami tanaman.

"Hei." Seorang pria menyapanya, pria itu meletakkan dagunya di atas kedua tangannya yang terlipat di atas tembok pagar.

"Hei," balas Melodi menghampirinya sambil mengingat-ingat, siapa pria itu.

"Ada sesuatu di rambut kamu," ucap pria itu sambil menatap rambut Melodi. Melodi segera mengusap rambutnya, mungkin itu adalah daun, atau serangga pikirnya.

"Coba sini, aku ambilin," pria itu mengusap rambut Melodi dan tiba-tiba ia mendapati bunga matahari berukuran kecil, seakan memang bunga itu menempel pada rambut Melodi.

"Buat, kamu," lanjutnya lagi sambil menyematkan senyum.

Tiba-tiba saja wajah Melodi menjadi merah, hidungnya kembang kempis menahan bibirnya agar tidak tersenyum, ia sebenarnya malu, tetapi cukup terhibur. Sambil mengambil bunga itu, mereka saling bertatapan.

Tin ... tin.

Suara klakson mobil membuyarkan mata mereka yang masih saling bertatapan. Melodi mengambil bunga itu, lalu pergi membuka pagar rumahnya. Tama dan Nada baru saja pulang. Dari dalam mobil, Nada melihat adegan tersebut, di mana Faris memberikan Melodi sekuntum bunga matahari kecil dan saling bertatapan, entah apa yang habis mereka lakukan, yang jelas timbul rasa cemburu di dadanya. Namun, ia enggan bertanya.

"Nad," panggil Melodi.

"Hallo, Nada," lanjutnya lagi.

"Eh, iya, kenapa?" Nada tersadar dari lamunannya.

"Bengong mulu, coba lihat sini hasil jepretan kamu."

Nada memberikan kameranya, Melodi langsung melihat hasil-hasil jepretan Nada yang sebenarnya terlihat standar-standar saja. Melodi menghentikan jempol yang ia gunakan untuk menekan tombol 'next' dan terpaku pada sebuah gambar hasil jepretan Nada.

"Bunga matahari," tuturnya sambil menatap gambar jepretan Nada.

"Aku di kasih bunga sama orang lewat masa," timpalnya lagi.

"Kamu suka?" tanya Nada.

"Lucu aja sih, tapi aku mikir, dia salah orang ga sih? Mungkin yang dia mau kasih bunga itu, kamu, Nad?"

"Kamu kenal?" tanya Melodi lagi.

"Makanya aku tanya, kamu suka ga?" lanjut Nada.

"Entah."

Entah? Jawaban apa itu, batin Nada.

Selama Melodi curhat tentang orang-orang yang menyukainya, beserta pemberian-pemberian mereka, nada selalu bertanya seperti itu, dan Melodi selalu menjawab pertanyaan Nada dengan jawaban yang lantang, bahwa ia tak menyukai para pria itu ataupun pemberian-pemberian mereka, tetapi kali ini ia menjawab 'entah'.

"Kamu kenal?" tanya Melodi balik.

"Enggak," jawab Nada sambil menatap bunga matahari yang sedari tadi masih Melodi pegang di tangan kanannya.

"Aku lupa tanya namanya, tadi sehabis bukain pintu gerbang, dia udah ilang." Melodi menaruh kamera Nada dan merebahkan dirinya di kasur.

Apa yang diinginkan Melodi, pasti akan menjadi miliknya. Itulah hukum alam di keluarga Mahatama. Begitu pikir Nada, ia selalu merasa jauh tertinggal di belakang kembarannya itu dari berbagai hal, baik akademik maupun non akademik.

Hari berganti, Melodi semakin sibuk dengan band miliknya, sudah tidak banyak waktu yang mereka miliki. Hanya bersisa dua minggu lagi, pentas seni akan digelar di sekolah, dan mereka akan tampil di pensi, sebagai debut untuk Melodi.

"Nad, nanti kamu pulang sendiri, gapapa kan?" ucap Melodi tak begitu jelas, bagaimana tidak? Ia sedang mengikat tali sepatu sambil menggigit roti panggangnya.

"Iya, udah terbiasa kok," balas Nada ketus.

Memang sudah beberapa minggu ini, Nada pulang sendirian, atau pulang dengan Faris. Ia juga tidak pernah bercerita apapun tentang kembarannya pada Faris. Jadi wajar saja jika Faris tak tahu jika yang kemarin ia berikan bunga, adalah Melodi, bukan dirinya.

Tak ada yang spesial hari ini, bahkan tak ada gangguan dari geng cewek-cewek jahat yang biasa mengganggu Nada. Terasa begitu tenang, hingga tak terasa bel pulang sekolah berdering, membubarkan para siswa dan siswi dari kelas mereka masing-masing.

Hari ini adalah jadwal Nada untuk piket kelas, ia pulang agak telat karena harus membersihkan kelas bersama beberapa temannya. Karena ada urusan, Faris pulang duluan, sehingga Nada harus pulang sendirian. Ketika ia hendak keluar gerbang sekolah, seseorang menarik tasnya, hingga membuat Nada terhentak mundur. Sontak membuat Nada menoleh ke arahnya.

Orang yang menariknya adalah Irfan, dari kelasnya Melodi. Tentu saja, Nada tak mengenali orang itu, ia menyipitkan mata sambil mengingat apakah ia mengenal sosok Irfan.

"Mau ke mana?" tanya Irfan.

"Pulang," jawab Nada singkat.

"Ditungguin piket lama-lama, malah mau kabur, sini, sini ikut." Irfan membawa Nada ke studio musik, ia mengira bahwa Nada adalah Melodi.

"Eh, tunggu, kamu salah orang," ucap Nada, tetapi Irfan tak peduli, ia masih berusaha membawa Nada ke studio musik.

"Aku bukan, Melodi," jelas Nada.

"Oke, aku juga bukan, Irfan," balas Irfan yang bercanda.

Akhirnya, Irfan berhasil membawa Nada ke studio. Di sana sudah ada Ben dan Hardi yang menunggu di dalam.

"Nah, ketemu juga," ucap Ben yang melihat Nada.

"Yuk, langsung mulai aja, udah kebanyakan buang-buang waktu nih," timpal Hardi yang mengambil stik drum nya.

"Tunggu, tunggu, kalian salah orang, aku bukan, Melodi." Nada masih bersikeras memberitahu mereka. Namun, tak ada yang percaya pada Nada. Sepertinya Melodi juga tak pernah bercerita tentang Nada pada teman-temannya, sama sepertinya.

"Udah ah, Mel, bercanda mulu, nih pegang." Irfan memberikan sebuah gitar listrik pada Nada.

"Lagu pertama, Dewa 19 ya, kangen," lanjut Irfan lagi.

Mereka mulai memainkan intro, tetapi ketika harusnya vokal masuk, Nada tak bernyanyi.

"Mel, come on!" ucap Irfan yang sudah agak kesal.

Mereka mulai mengulang intro dan kali ini Nada mengikuti permainan, ia bernyanyi menggantikan Melodi. Namun, Irfan menghentikan permainan.

"Stop, stop," ucap Irfan lagi, ia berjalan ke arah Nada.

"Mel, kamu sakit?"

Nada hanya menggeleng.

"Kebanyakan makan gorengan waktu libur?" tanya Irfan lagi.

Lagi-lagi Nada menggeleng.

"Terus kenapa nyanyinya begitu?"

"Begitu gimana?" tanya Nada.

"Iya, di jelek-jelekin gitu, kalo ga minat di ekskul ini, ya bilang aja. Kita profesional aja, Mel."

Nada menundukkan kepalanya.

"Kan udah aku bilang ... aku bukan, Melodi ...," ucapnya lirih.

"Terus siapa? Melodo?" balas Irfan dengan nada agak tinggi.

Nada mengambil tasnya dan berjalan dengan agak cepat ke pintu arah pintu studio.

"Melo, tunggu--" Ben mengejar Nada.

"Jangan terlalu keras, Fan," ucap Hardi.

Begitu Nada membuka pintu studio, Melodi sedang berada di depan pintu. Ia sedang menatap layar ponselnya sambil memegang gagang pintu studio, ia agak terkejut melihat Nada keluar dari dalam studio.

"Nad, ngapain kamu di studio?" Nada menghiraukan Melodi, ia keluar sambil matanya berkaca-kaca, jelas terlihat ia inign menangis.

"Nada, tunggu." Melodi menggandeng tangan Nada, tetapi Nada langsung melepaskannya dan berlari pergi meninggalkan Melodi dan Ben.

"Lah, kok ada dua?" ucap Ben heran.

Melodi menarik kerah seragam milik Ben dan mengangkatnya.

"Lu apain adik gua?" ucapnya dengan raut wajah yang menyeramkan.

"Irfan--" Belum selesai Ben bicara, Melodi melepaskannya dan masuk ke dalam untuk menemui Irfan.

Brak!

Melodi membantin pintu studio. Ia berjalan ke arah Irfan dengan raut wajah yang masih menyeramkan.

"Lu apain kembaran gue?" ucapnya sambil menarik kerah seragam Irfan.

Irfan dan Hardi membuang tatapan heran. Irfan melihat tas yang Melodi gunakan, tas itu berwarna kuning. Sedangkan Melodi yang sebelumnya mengenakan tas berwarna hitam.

"Gua ga tau, Mel. Gua pikir itu elu," jawab Irfan.

"Tadi, Irfan sempet emosi dan bilang kalo suara dia jelek," timpal Hardi.

Melodi melepaskan cengkeramannya di kerah Irfan, lalu ia duduk sambil menutup matanya dengan tangan kanannya. "Dia itu kembaran gua, namanya, Nada--"

"Dia itu insecure sama dirinya sendiri dan merasa ga punya potensi dalam hal apapun. Dia itu masih berusaha mencari jati dirinya, dia rapuh," ucap Melodi dengan nada yang semakin lemah.

"Jangan di kasih kata-kata negatif dong." Melodi mulai meneteskan air matanya, jauh di lubuk hatinya, ia merasakan apa yang Nada rasakan. Mungkin karena mereka adalah anak kembar, mereka memiliki kontak batin yang begitu dalam, jika ada yang sakit, maka yang lainnya akan merasakan sakit.

"Mel, sorry," ucap Irfan.

"Jangan minta maaf sama gue, Fan," balas Melodi.

"Kita undur latihan kita deh, sekarang kita cari kembaran lu. Kita semua mau minta maaf, Mel." Irfan berusaha menangkan Melodi.

Sementara itu Nada turun dari angkutan umum dan berdiri di depan sebuah gedung, ia berdiri sambil menahan tangisnya. Seorang satpam menghampirinya.

"Cari apa, Dek?"

"Cari, Pak Retsa Pratama," ucap Nada.

Pak satpam mengantarkan Nada ke ruangan Tama.

Tok tok tok

"Masuk."

Nada masuk ke ruangan Tama dengan mata berkaca-kaca, Tama menatapnya dan beranjak dari duduknya, ia menghampiri putrinya dan membelai rambutnya.

"Kenapa, Sayang?"

"Ayah!" Nada memeluk Tama sambil menangis.

"Maafin--Nada, Yah--kalo, Nada bodoh ... maafin--Nada--kalo, Nada ga--berguna ...." Mendengar itu, Tama segera membuka sarung tangan hitamnya dan menghapus air mata putrinya. Sekelibat memori mulai terlihat, Tama menyaksikan hari-hari putrinya. Nada menyimpan perasaan iri pada Melodi yang merupakan sosok wanita sempurna. Selain pintar dalam akademik, Melodi menuruni kemampaun Aqilla dalam bermusik, ia juga memiliki kharisma dan kepercayaan diri yang tinggi. Di mana pun Melodi berada, ia selalu disukai orang-orang.

Tidak seperti kembarannya, Nada merupakan anak yang tak bisa apa-apa. Dalam akademik, nilainya bisa dibilang di bawah rata-rata. Ia tak pandai dalam bermusik seperti Melodi, ia juga tak bisa bernyanyi seperti Melodi. Bahkan dalam fotografi, hasil jepretannya tak ada hasil yang memukau. Ia juga sering dibully oleh teman-temannya, mereka terus membandingkan antara dirinya dengan Melodi, oleh sebab itu, Nada tak pernah bercerita pada Faris atau teman-temannya, jika ia memiliki kembaran. Di tambah, ia cemburu pada Melodi yang sepertinya menyukai Faris.

"Kamu harus berani, ngomong sama, Melodi, ngomong sama, Faris," tutur Tama.

Nada sudah tak terkejut jika Tama seakan bisa melihat kesehariannya, ia memang membutuhkan sosok pria yang selalu bisa mengerti dirinya, dan sosok itu adalah Tama. Pria terbaik di dunia, versi Nada Regina Mahatama.

"Kamu itu, cuma berlian yang belum diasah. Sabar ya, kamu pasti punya sesuatu yang spesial, yang akan bikin Melodi iri sama kamu! Jadi--jangan nangis lagi, keep fight and keep smile." Tama mengukir senyuman di bibir Nada menggunakan tangannya, lalu ia mengambil sebuah console game dan memberikannya pada Nada.

"Ini namanya, Nitendo Switch, main gih sekali-kali, siapa tau bisa ngilangin sedikit sedihnya, Nada."

Nada mengambil console game itu, sedangkan Tama mengajarkannya cara bermain. Mereka menghabiskan waktu bermain bersama. Dan perlahan Nada mulai tersenyum karena menemukan suatu kegiatan yang menurutnya menarik.

Waktu menunjukan pukul 21.00 WIB

Melodi dan kawan-kawannya tak kunjung menemukan Nada, mereka menunggu Nada di rumahnya bersama dengan Melodi. Tentunya keadaan ini membuat Aqilla menjadi panik. Bagaimana tidak? Putrinya hilang, sendirian di tengah jahatnya angin malam. Karena sudah malam, teman-teman Melodi pamit untuk pulang. Tak lama setelah itu pintu depan kembali terbuka.

Kreeeek

Tama pulang, ia membuka pintu rumahnya. Aqilla dan Melodi berlari ke arah pintu depan.

"Ayah, Nada belum pulang--" ucap mereka berdua bersamaan.

"Sssstt." Tama hanya menempelkan jari telunjuknya di bibirnya untuk mengisyaratkan Melodi dan Aqilla untuk tenang. Nada sedang tertidur di pundak ayahnya, Tama tak ingin membangunkan putrinya yang terlihat lelah, ia langsung menggendongnya ke kamar.

"Huaaaa." Melodi menangis, ia bahagia melihat kembarannya pulang. Ia merasa bersalah karena Nada jadi seperti itu karena teman-temannya.

"Sssstt." Aqilla memeluk Melodi dan menenangkannya.

"Nada udah pulang, jangan nagis lagi, jangan khawatir lagi." Sambil mengecup kening putrinya dan menyuruhnya untuk segera tidur.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top