49 : Akhir Perjalanan Tantra

Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.

Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.

.

.

.

Sabtu pagi. Biasanya Nada selalu sibuk dengan tanaman-tanamannya, tetapi pagi ini berbeda. Ia dan Faris sibuk berkeliling kota Bandung untuk mencari Kirana dan Rizwana. Sejujurnya, Chandra yang memerintah Faris untuk menemani Nada, karena Rizwana terlalu berbahaya. Apa lagi untuk seorang gadis.

Chandra hanya mengizinkan Nada untuk mencari informasi. Jika ia menemukan sesuatu, Nada harus kembali untuk melapor, tetapi Nada adalah anak yang terkadang tidak mendengarkan sebuah perintah. Ia justru membahayakan dirinya sendiri dengan langsung mencari Rizwana.

Samar-samar terdengar bunyi lonceng. "Ris, boleh minta tolong enggak?"

Faris menghentikan laju motornya. "Apa?"

"Aku laper hehehe." Nada turun dari motor Faris.

"Ngapain turun?" tanya Faris heran.

"Aku tunggu sini aja, ya."

"Yaudah, tunggu sini. Aku cari sarapan dulu. Mau makan apa?"

"Terserah," jawab Nada sambil tersenyum.

"Oke. Tunggu ya. Aku beli dulu seporsi terserahnya." Faris mencari sarapan untuk Nada.

Seperginya Faris, Nada berjalan mengikuti suara lonceng yang terdengar samar di telinganya. Hingga ia melihat seorang pria duduk mengenakan jaket bomber berwarna krem. Pria itu sedang memainkan lonceng kecil sambil duduk membelakangi Nada. Ia sedikit menoleh, kemudian tersenyum. "Sebelumnya kita pernah bertemu," ucapnya begitu saja. "

"Di mana Kirana?" tanya Nada tanpa basa-basi.

Rizwana memutar tubuhnya, kini ia duduk menghadap Nada. "Dia enggak di sini."

"Kamu punya waktu sepuluh menit buat bawa dia ke sini."

"Kalo aku enggak bisa bawa dia?"

Nada tidak memikirkan itu lebih jauh. Ia tampak sedang berpikir. "Aku marah."

Rizwana hanya tersenyum mendengar itu. "Yaudah, marah aja."

Sial, gertakkanku enggak bikin dia takut, batin Nada.

"Aku--bakalan manggil temen-temenku!" Nada hendak mengambil ponselnya, tetapi Rizwana mengarahkan moncong pistol ke arah Nada.

"Ambil hp nya. Kepala kamu berlubang." Sejujurnya aura orang itu berubah. Nada merinding dan gemetar. Rizwana beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah Nada. "Selamat tinggal." Rizwana menarik pelatuknya. Nada memejamkan matanya, tetapi hanya air yang keluar dari pistol itu. Suara kekehan Rizwana membuat Nada memicingkan matanya. Ini orang apa deh?

"Hey, gadis ...." Rizwana tidak mengetahui nama Nada, karena ia adalah anggota baru di dalam Tantra. "Jika harus memilih. Pilih mana?"

Nada hanya diam menatap Rizwana yang sedang tersenyum licik. "Kamu aku biarin di sini sendirian, tanpa Kirana. Atau, Kirana aku balikin, tapi kamu gantiin dia, ikut aku?"

"Sebelum aku jawab, aku mau tanya. Di mana Surya?"

Rizwana menyeringai. Ia menunjuk dirinya sendiri menggunakan jempolnya. "Di dalam sini."

"Dua tukar satu. Aku ikut, tapi lepasin Surya sama Kirana," ucap Nada.

"Oke."

Hah?! Oke? Gila kali. Padahal cuma gertakkan ih.

Nada mencoba untuk bersikap santai. Ponselnya sudah ia persiapkan standbye di menu share lokasi terkini. Ia memasukkan tangannya ke dalam kantong untuk memberikan informasi lokasinya dalam satu jam terakhir ini.

"Jangan begitu, itu namanya curang, sayang." Namun, Rizwana sudah berada di sampingnya. Pria itu mencengkeram lengan Nada sambil merebut ponselnya. "Karena curang, kamu kena penalty. Ikut aku, tanpa dapet apa-apa."

Nada berusaha melawan, tetapi Rizwana sudah mempersiapkan semua. "Salah satu orangku lagi ngikutin cowok yang naik motor tadi. Terserah kalo kamu enggak mau ikut." Ia melepaskan cengkeraman pada lengan Nada.

"Jangan sentuh Faris! Dia enggak ada hubungannya."

Rizwana berjalan meninggalkan Nada tanpa kata.

"Hey!" Nada tak tahu langkah apa yang harus ia ambil, yang jelas ia harus membuat keputusan. "Oke. Aku ikut. Lepasin Faris."

Rizwana menghentikan langkahnya. Ia mengambil ponsel di sakunya, lalu menelpon seseorang. "Kamu boleh pergi." Kemudian Rizwana mematikan ponselnya dan menjulurkan tangannya ke arah Nada.

Nada berjalan ke arahnya, sambil menatapnya dengan tatapan marah. "Jangan marah gitu dong. Sini tangannya," ucap Rizwana. Nada terdiam menatap tangan itu. "Kita gandengan." Dengan berat hati, Nada meraih tangan Rizwana. Mereka jalan sambil bergandengan tangan dan pergi entah ke mana.

***

Di sisi lain, Faris baru saja tiba di tempat yang seharusnya menjadi titik temunya dengan Nada. Ia membawa dua porsi kupat tahu. Faris terus memperhatikan sekelilingnya, berusaha menemukan Nada. "Mana itu orang?" Faris juga berusaha menelponnya, tetapi nomor Nada berada di luar jangkauan.

Faris agak kaget ketika seseorang duduk di jok belakangnya. "Kamu tuh, jangan ngagetin dong ...." Namun, wajahnya mendadak datar menatap Chandra yang duduk di sana, bukan Nada.

"Ayo jalan," ucap Chandra.

Apaan sih ini orang. Kok dia bisa-bisanya nongol di sini?

Faris juga menatap Rava yang sedang membonceng Deva. "Lah, ini pada ngapain di sini?" tanya Faris.

"Kejar Nada. Dia belum jauh. Target memakan umpan," jawab Chandra.

"Sebenernya ada apa sih? Sebelumnya saya disuruh nemenin Nada sekaligus jagain dia, tapi kenapa anda malah ada di sini?"

"Rizwana mengincar Nada. Nada bukan anak yang bisa diatur perihal masalah beginian. Pokoknya, ikutin dua orang itu." Rava segera menarik gas motornya. Merasa tak boleh ketinggalan, Faris mengikuti mereka dari belakang.

"Setelah lampu merah, ambil kanan," ucap Kevin dari balik earphone Rava.

Kevin sedang duduk sambil melihat pergerakan Nada dan juga regu pengejar. Sebelumnya, Tantra membuat rencana tanpa sepengetahuan Nada. Chandra berpendapat, bahwa Rizwana mengincar Nada. Ia mengambil kesimpulan tersebut karena Nada pernah berkata, bahwa Rizwana menatapnya ketika dalam mode psikometri. Entah bagaimana caranya, yang jelas Rizwana mengincarnya.

Diam-diam, Kevin sudah menggunakan klervoyans miliknya untuk memantau situasi Nada beberapa jam terakhir ini.

"Berhenti di sebrang bangunan tembok merah. Sekarang mereka berada di dalam sebuah bangunan terbengkalai yang enggak jauh dari situ. Entah, rumah itu enggak bisa ditembus. Ada sesuatu yang menghalangi," ucap Kevin. Ia pun langsung bergegas menyusul. Dengan motornya yang memang dirancang untuk kecepatan tinggi, Kevin segera berangkat.

Sementara itu, Chandra, Rava, Deva dan Faris berada tak jauh dari bangunan itu sambil bersembunyi. "Kepung rumah itu dari berbagai arah." Chandra menatap Faris. "Kamu masuk terakhir sebagai assassin. Jangan terdeteksi. Kalo papasan sama orang asing di luar regu ini, dan Nada, langsung keluar. Tugasmu cuma bawa Nada pulang."

Deva mengenakan topeng Tumenggung dan mulai bergerak. Ia mendekat ke arah bangunan itu sambil melakukan tari malangan.

"Satu hal lagi. Rahasiakan apa yang kamu lihat hari ini, boy."

"Maksudnya apa?" Faris memicingkan matanya. Namun, ketika ia iseng melirik ke arah Deva, pria itu sudah tak berada di sana. Hal ini membuat Faris semakin bingung. Chandra dan Rava keluar dari tempat persembunyian dan berlari secara berlawanan arah. Chandra berlari ke sisi kanan bangunan, dan Rava ke sisi kiri. Faris sejujurnya bingung, tetapi ia mencoba memainkan perannya sebaik mungkin. Faris mengendap memutari bangunan untuk masuk dari belakang.

Deva, ia sudah berada di dalam bangunan dan berhadapan dengan Rizwana yang sedang duduk seolah sudah menunggu kedatangannya.

"Kalian pikir gua yang termakan umpan, tapi nyatanya, kalian yang masuk perangkap," ucap Rizwana.

Deva tiba-tiba saja terhempas dan jatuh begitu saja. Ia menatap Kirana dari balik topengnya. "Kirana!"

"Kalian pikir gua menculik Kirana?" Rizwana menunjukkan senyumnya. "Padahal, dia yang suka rela bergabung."

Di tengah itu semua, mereka dikejutkan dengan suara kaca yang pecah. Chandra masuk dengan memecahkan salah satu jendela bangunan itu. Ia berjalan ke arah Rizwana dengan mata birunya. "Berlutut." Sontak Kirana dan seorang pria bawahan Rizwana berlutut. Namun, Rizwana masih berdiri kokoh dengan kedua tangan yang bersembunyi di balik kantong jaketnya.

"Di mana Nada?" tanya Chandra.

"Nada?" Rizwana terkekeh. "Gua pikir Surya lebih menarik buat dicari, kenapa malah nyari Nada?"

"Surya pasti akan nanya pertanyaan yang sama. Udah jelas, dia pasti mengutamakan keselamatan perempuan terlebih dahulu."

"Mirisnya ada dua perempuan di sini. Dan yang satunya enggak dicari?"

Chandra melirik ke arah Kirana yang wajahnya dililit perban. "Raganya memang Kirana, tapi jiwanya bukan lagi miliknya."

Rizwana menganggap ini sangat menarik. Ia tak bisa berhenti tersenyum. "Jadi?"

"Darah terkutuk. Sebuah ilmu hitam tingkat tinggi, di mana penggunanya bisa membuat kontrak dengan makhluk lain. Menukar jiwa seseorang dengan makhluk yang berbeda untuk mendapatkan tubuh fisik sebagai wadah. Singkatnya, lu lagi mencoba membangun pasukan dark indigo menggunakan tubuh orang-orang special, kan?"

"Lu belajar semaleman buat cari informasi itu semua?" tanya Rizwana. Ia duduk, lalu menghela napas. "Hidup sejatinya adalah seni memilih. Selalu ada dua sisi yang bertolak belakang. Hitam dan putih, langit dan bumi, kanan dan kiri, baik dan jahat. Begitu juga dengan sistem kerajaan pada era Yudistira terdahulu. Ada keluarga yang mengabdi dan ada juga keluarga yang menentang."

"Tujuh keluarga terkutuk." Chandra berjalan ke arah Rizwana. "Mereka yang merencanakan kudeta bersama keluarga Maheswara." Aura di sekitar Chandra berubah. "Keluarlah, Panatagama." Sebuah tombak bermata tiga, hitam bersisik dihiasi tujuh batu merah delima muncul secara misterius dalam genggaman Chandra.

"Ibu gua salah satu dari keluarga terkutuk. Ayah gua yang ternyata seorang Maheswara, enggak sadar tentang itu." Melihat tombak Panatagama, Rizwana menyeringai. "Itu dia yang gua cari." Ia menusukkan pisau ke lengan kirinya hingga darahnya tumpah ke lantai. "Bangkitlah, Karara Reksa." Dari genangan darah Rizwana, keluar sebuah tombak bermotif gerigi dengan cabang berantai lebih dari sepuluh.

Rava yang masih mengintip keadaan bergidik ngeri. Begitu pun dengan Deva, ia tampak gemetar.

"Bergerak!" teriak Rizwana dan Chandra bersamaan.

Rava berlari masuk ke dalam bangunan. Ia dan Deva segera menerjang, tetapi Kirana dan seorang lagi menghadang mereka berdua.

"Ini enggak akan mudah!" ucap Rava yang berhadapan dengan Kirana.

Tak seperti Rava yang dilema menghadapi pujaan hatinya, Deva sibuk berkelahi dengan pria asing yang cukup membuatnya kewalahan.

***

Di sisi lain, Faris menatap Nada yang tak sadarkan diri. Ia segera memeriksa keadaan Nada, dan menggendongnya. Lengan kiri Nada berdarah. Ketika Faris hendak keluar, tiba-tiba saja bobot Nada menjadi berat. Seperti menggendong lebih dari dua orang.

Faris yakin, tak ada siapa pun selain Nada di punggungnya, tetapi beratnya membuat ia mengerahkan seluruh tenaga hanya untuk menggendong gadis bertubuh mungil itu. Faris semakin membungkuk. "Gokil, Nada, berat banget!"

Tiba-tiba saja tangan Nada melingkar di leher Faris, dan mencekiknya kuat-kuat. Faris merasakan sesuatu yang tak beres, ia berusaha melepaskan Nada dari gendongannya. "Nada, aku enggak bisa napas!"

Nada tertawa seperti bukan dirinya. Tawanya membuat Rizwana dan Chandra menghentikan obrolan mereka.

Faris dan Nada, mereka berdua kini terjatuh. Nada langsung mencekik Faris kembali. Sebenarnya Faris bisa saja melawan, tetapi ia tak lakukan. Karena orang ini, adalah Nada. Bahkan mencekeram lengan mungil itu saja, Faris enggan. Ia takut melukai gadis di hadapannya.

Nada. Gadis itu tertawa diiringi tangis. Air matanya terjatuh mengenai wajah Faris. Mata mereka berpandangan. Tatapan Nada seolah meminta pertolongan.

Dalam kondisi seperti itu, Faris berusaha meraih sapu tangan yang ada di kantong jaketnya. Pria itu mencengkeram tangan Nada dan membalut luka gadis itu yang baru ia sadari. Hal tersebut membuat Nada semakin menangis. Hingga akhirnya tangisan itu meluap tak menyisakan celah untuk tawanya yang terdengar gila. 

Perlahan, Nada melepaskan cekikannya dan menjatuhkan kepalanya di dada Faris. Kesadarannya telah kembali. Dari tubuhnya keluar kepulan asap hitam yang menghilang begitu saja.

"Kenapa enggak dipukul aja sih? Yang tadi itu bukan aku!"

Rizwana, pria itu menggoreskan luka di lengan Nada dan menempelkan darahnya pada luka itu. Membuat suatu makhluk datang dan bersemayam di tubuh Nada untuk beberapa waktu, tetapi karena Faris. Nada berusaha untuk memberontak dan merebut kembali kesadarannya.

Faris yang berwajah agak pucat kekurangan oksigen itu hanya tersenyum dan berusaha meraih wajah Nada. "Kamu ya kamu. Buktinya sekarang ini beneran Nada." Ia menyampingkan poni Nada ke belakang telinga. Persis pertemuan pertama mereka. "Tenaga kamu kayak babon. Jujur, leherku sakit, napasku juga jadi susah. Aku istirahat dulu sebentar. Habis itu kita pulang, ya."

"Iya," balas Nada sambil memangku Faris yang berbaring di pangkuannya.

***

Deva sebenarnya unggul, tetapi karena Rava tak berkutik. Kirana jadi ikut menyerang Deva, membuat ia terpental-pental tak tentu arah.

"Rava!" Chandra tampak khawatir dengan dua bersaudara itu.

"Khawatirin diri lu sendiri aja." Rizwana menerjang Chandra dengan tombaknya, tetapi Chandra menangkisnya menggunakan tombak yang ia miliki.

"Surya bangun! Bukan waktunya tidur!" teriak Chandra.

"Lu mau liat yang menarik?" tanya Rizwana sambil tertawa mendengar teriakan Chandra yang memanggil Surya. Rizwana kini menutup matanya beberapa detik, kemudian membukanya kembali. "Ajna." Mata ketiganya bangkit.

"Enggak mungkin ...."

"Mungkin aja dong!" Rizwana menghilang dari pandangan Chandra. Ia berpindah ke belakang Chandra dengan wujud braja total milik keluarga Lohia. Kini rambutnya berwarna putih kebiruan dihiasi listrik yang menyelimuti tubuhnya. Kecepatannya tidak main-main, ia memukul Chandra hingga terhempas ke dinding bangunan.

Pertempuran sekaligus misi terakhir ini benar-benar menjadi misi terakhir. Pasalnya, Rizwana merencanakan ini semua. Untuk merubah Tantra menjadi tentaranya. Terutama Chandra. Ia ingin memiliki bawahan seorang Yudistira.

Rava yang tak berkutik, Deva yang terpojok, Chandra yang tak mampu melawan Rizwana dengan ajnanya, Faris yang kelelahan, dan Nada yang tak mampu bertempur. Situasi terburuk sepanjang Tantra didirikan.

"Terimalah takdir kalian, wahai pelayan-pelayan keluarga Angkhara!" Rizwana menginjak kepala Chandra yang terkapar di lantai. "Lihat, betapa rapuhnya seorang Yudistira ini!"

Chandra tak sekuat Surya. Ia biasanya lebih mengandalkan mata birunya untuk memerintah target yang ia hadapi, dan sekarang kemampuan itu tak mampu digunakan pada Rizwana. Kemampuan bertarungnya masih jauh di bawah level Surya. Oleh sebab itu, Rizwana lebih memilih menyingkirkan Surya yang lebih merepotkan terlebih dahulu.

"Kalian sudah tamat." Seringai itu membuat seluruh anggota Tantra merinding.

Tiba-tiba saja gemuruh gonggongan anjing terdengar nyaring, membuat seisi bangunan bergetar. Mungkin, jumlahnya puluhan. Dari suaranya, anjing-anjing ini terdengar ganas.

"Apa lagi ini?" tanya Chandra yang sudah kehilangan niat bertarungnya. Ia sudah pasrah dengan kekalahan Tantra.

Namun, dari raut wajah Rizwana. Ia terlihat tak tahu apa pun tentang kejadian yang sedang berlangsung ini. Yang jelas, senyum khasnya menghilang tergantikan dengan sebuah kekhawatiran.

Gongongan itu semakin mendekat. Membuat Rizwana berkeringat. Bukan hanya Rizwana, Chandra dan pasukannya pun ketakutan saat ini.

"Aaaaaaaa!" pekik salah satu bawahan Rizwana. Ia terjatuh begitu saja dan berteriak kesakitan. Sesuatu yang tak kasat mata menyerangnya.

Rizwana dan Chandra memadatkan atma pada matanya untuk melihat sesuatu yang menyerang bawahan Rizwana. Mata mereka terbelalak mendapati anjing-anjing hitam yang tak kasat mata ini. Jumlah mereka sangat banyak. Tubuh mereka yang penuh luka dan borok, terlihat seperti zombie. Menambah kesan ngeri.

"Ghoul ...," gumam Rizwana.

Ghoul merupakan salah satu monster yang berasal dari Arab kuno, pada awal mulanya Ghoul dianggap sebagai bangsa Jinn. Ghoul adalah makhluk yang hidup di padang pasir dan sering berkelana. Ghoul Juga Sering membongkar lalu menghancurkan makam, kemudian memakan mayat yang ada didalamnya. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, Ghoul lebih dikenal orang sebagai sejenis zombie karena bentuknya yang penuh luka dan membusuk .

Suara langkah kaki terdengar dari arah lorong yang menghubungkan ruang depan dengan ruangan mereka semua berada. Keadaan ini membuat Faris dan Nada pun masuk  ke ruang tengah. Berkumpul bersama kawan dan lawan.

Sebuah tangan mencengkeram dinding, perlahan dengan siluet pria yang mengintip ke arah mereka semua.

"Kau masih belum menjawab pertanyaanku, Rizwana," ucap pria itu. "Apa yang membuatmu tertawa atas kematian Kenzie? Apa menurutmu hal itu lucu?" Harits muncul membawa pasukan anjing kematian dari Alam Suratma.

"Harits--kenapa kau ada di sini?!" tanya Rizwana.

"Anjing-anjing ini penciumannya tajam, loh."

Rizwana. Dia menghasut orang-orang untuk pasrah dengan kehidupannya dan memilih jalan kematian. Lalu ia menawarkan kehidupan sebagai orang yang terlahir kembali tanpa beban.

Menghasut Kirana untuk bunuh diri, menawarkan Kenzie kesembuhan dengan ilmu hitamnya, dan sempat membujuk Nada untuk mengingat kembali masa-masa ketika ia merasa iri pada Melodi saat berjalan menuju tempat ini. Sayangnya, Nada sudah berubah. Maka dari itu, sihir Rizwana menjadi lemah dan Nada mendapatkan kembali kesadarannya. Semakin kuat orang itu putus asa, maka semakin kuat makhluk yang akan merasukinya. Kenzie, dia menolak tawaran dari Rizwana, dan memilih untuk mati ketimbang harus menggunakan ilmu hitam demi kesembuhannya. Tentu saja, Rizwana menyayangkan hal itu, lalu menertawakan pilihan rekannya di Simfoni Hitam tersebut.

Tentu saja hal itu membuat Harits marah. Mengingat Kenzie adalah sahabatnya. Harits berusaha mati-matian mengejar Rizwana untuk membalaskan kematian Kenzie yang disebabkan oleh berengsek itu.

Sebenarnya Rizwana percaya diri untuk membantai mereka semua, mengingat ia memiliki ajna dan tombak Karara Reksa sekarang. Namun, ia merasakan aura membunuh yang sangat haus darah. Kevin Wijayakusuma. Pria itu berdiri di atap bangunan sedari tadi dan mengawasi pertempuran mereka semua dengan menyembunyikan aura keberadaannya. Ia menunggu momen yang tepat untuk menyerang ketika Rizwana lengah, tetapi nampaknya hal itu sudah tak dibutuhkan lagi. Ia melepas semua rasa haus darah dan amarahnya sehingga membuat Rizwana terintimidasi.

Merasa terpojok, Rizwana menarik kedua rekannya, lalu menggunakan wujud braja total untuk keluar dari situasi ini. Tak ada yang mengejar. Semua mata tertuju pada kehadiran Harits Sagara yang tiba-tiba saja muncul.

"Cih, kabur lagi." Harits berjalan pergi ia masih berusaha mengejar Rizwana.

"Tunggu!" Nada yang merasa memiliki urusan dengan Harits berusaha mengejar. "Harits!"

Sejujurnya, ada sebuah perasaan yang juga membuat Harits merasa tak nyaman. Pria itu menghela napas. "Aku ikut jalur prestasi dan ngebidik Institut Seni Indonesia di Jogja. Kalo kamu merasa punya masalah dan mau bicara sama aku. Dateng ke Jogja. Aku tunggu di sana." Ia melanjutkan langkahnya kembali.

Nada menatap jaket yang dikenakan oleh Harits. Jaket bomber berwarna biru dongker bertuliskan Mantra. Kini Nada berjalan kembali ke tempat teman-temannya berkumpul.

"Harits tidak pernah mengkhianati kalian," ucap Nada secara tiba-tiba. "Justru sebaliknya. Kalian yang meninggalkan dia sendirian." Semua menatap Nada dengan heran.

"Harits berusaha nanggung semua bebannya sendirian. Uang yang dia kumpulkan itu, untuk biaya pengobatan temannya di Simfoni Hitam yang bernama Kenzie. Barusan dia bilang, kalo Rizwana menertawakan kematian Kenzie. Artinya lagi-lagi dia dikhianati, dan sekaligus kehilangan teman yang menjadi tujuan dia mengumpulkan uang. Harits, cuma enggak mau kalian terlibat dan ikut menanggung beban yang ia pikul. Dia itu anak yang baik, tapi juga anak yang nyebelin. Tolong jangan marah sama dia." Nada menundukkan kepalanya sebagai tanda permohonan.

"Ya. Kita berhutang nyawa sama dia. Udah sewajarnya, kita berterimakasih--sekaligus minta maaf," balas Chandra. "Tantra bubar." Ia beranjak dari duduknya. "Seperti yang kalian lihat. Aku bukan Surya yang bisa menyelesaikan masalah kita." Semua hanya terdiam tanpa kata. Yang jelas dengan tatapan getir mereka masing-masing. "Aku punya urusan pribadi dengan Rizwana. Dan apa pun yang terjadi ke depannya, itu sangat berbahaya. Kalian lihat sendiri, kan? Bagaimana dia dan kedua orang di sampingnya tadi?"

Rava dan Kevin berjalan, lalu berdiri di belakang Chandra. "Siapa pun yang mau terlibat dan enggak mau terlibat, kalian bebas memilih. Ini enggak akan jadi akhir dari persahabatan kita," lanjut Chandra. Ia menatap Deva dan juga Nada yang masih diam di posisi mereka.

"Aku udah janji sama Ayah. Mau buka usaha kopi sekaligus kuliah di Jogja," balas Deva. "Sejujurnya pembubaran Tantra ini cukup menoreh luka sih, tapi kita harus belajar ikhlas. Dan--aku mau ngulang semua dari awal. Sebagai Mantra generasi kedua, sama si topi aneh itu. Barusan dia bilang mau kuliah di Jogja juga."

Chandra beralih pandangan menatap Nada.

"Aku juga!" timpal Nada. "Aku punya urusan yang belum selesai sama Harits. Dan aku mau ngejar Melodi yang lagi ngincer kuliah di ISI Jogja juga kayak Harits. Jadi kayaknya aku enggak bisa ikut kalian."

Berbeda dengan Kevin yang kecewa mendengar jawaban Nada. Chandra justru tersenyum. "Oke. Semoga kita semua sukses dengan tujuan kita masing-masing." Ia membalik badannya dan melanjutkan langkahnya. Kevin berjalan sambil pandangannya tak berhenti menatap Nada yang berada di belakangnya.

"Apa yang akan kita lakukan selanjutnya?" tanya Rava.

"Mengumpulkan kekuatan." Chandra merubah raut wajahnya. Ia menyimpan dendam pada Rizwana. Tentu saja, ia akan berusaha memenuhi permintaan Ayahnya, untuk membawa Surya kembali. Bahkan tanpa diperintah, sudah pasti Chandra akan bergerak dengan sendirinya. "Kumpulkan perwakilan sepuluh keluarga agung, kita harus membuat struktur baru. Kita bentuk Katarsis."

.

.

.

TBC



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top