48 : Mentari Yang Hilang

Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Hasil dari pemikiran penulis dengan bantuan sumber-sumber terkait dan sedikit pengalaman pribadi. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian perkara dan adegan, itu merupakan suatu kebetulan semata.

Jika kalian suka, tinggalkan jejak vote & comment. Dan jangan lupa tambahkan cerita ini ke daftar pustaka kalian, follow untuk terus mendapatkan notifikasi dari author.

.

.

.

Tak ada yang lebih diam dari pagi di bulan Desember. Surya, Deva, Rava, Kevin, dan juga Nada berdiri di luar ruangan, menatap Kirana yang berbaring dengan alat-alat yang terlihat mengerikan.

Kirana Bhayangkari. Entah sebuah keberuntungan, atau justru kesialan. Gadis itu belum mati setelah aksi bunuh dirinya terjun dari atap gedung sekolah. Kini kondisinya sangat kritis, bahkan wajahnya pun hancur. Ia mengalami koma. Dapat dipastikan, Kirana akan lumpuh total setelah pulih. Mungkin--kejadian ini adalah suatu keajaiban, atau justru teguran keras. Tuhan mengajarkan kita bahwa kematian itu berada di tangannya. Ketika belum waktunya untuk kembali, maka kematian itu tidak akan terjadi.

"Tantra dibubarkan." Semua tertohok mendengar kalimat yang keluar dari mulut sang ketua.

Surya dan Chandra. Sebagai pemimpin Tantra, ia merasa gagal. 'Kekuatan ada untuk melindungi yang lemah'. Bahkan ia pun tak bisa melindungi Kirana. Seorang Yudistira pun tak mampu mencegah kejadian ini. Wajar, pada dasarnya, Yudistira hanyalah nama. Mereka hanyalah manusia biasa, yang sedikit mendapatkan keistimewaan.

Sambil tertatih menggunakan tongkatnya, Surya meninggalkan teman-temannya. Ia kecewa pada dirinya yang tak berkutik dan hanya berbaring di rumah sakit beberapa hari ini. Tak ada yang protes. Anggota Tantra pun merasakan hal yang sama, mereka merasa gagal dan kecewa pada diri mereka masing-masing.

Namun, tak ada yang lebih terpukul daripada Rava. Pasalnya, pemuda itu melihat langsung aksi terjun bebas Kirana dan ia juga yang ikut membawa Kirana ke rumah sakit.

Tak ada kata yang terucap di antara mereka. Hingga satu per satu anggota Tantra membubarkan diri.

Sesampainya di rumah, Nada langsung pergi menuju halaman samping untuk menenangkan dirinya.

"Itu semua bukan salah kamu," ucap Tama pada Nada yang duduk termenung di pinggir kolam. Memang, setelah mendapatkan kabar dari Dirga perihal insiden Kirana, Tama khwatir dengan putrinya.

"Sebelum kejadian itu, aku sempet ngobrol empat mata sama Kirana. Aku pikir itu bisa jadi penyemangat. Aku juga coba intip masa lalu Kirana buat tau situasinya, Yah."

"Dan?"

"Aku enggak ngerti. Aku merasa dia diikuti sesuatu yang bikin dia takut, tapi kemarin waktu di atap, Kevin nemuin jaket krem bertuliskan Kencana Selatan. Jaket orang yang aku lihat di dalam masa lalu Kirana," jawab Nada sambil memainkan kakinya di kolam. "Kevin ada di sana, dia enggak lihat siapa pun. Kevin bener-bener sendirian di atas sana. Seandainya ada orang yang ngikutin Kirana, dan dia si pemilik jaket itu, harusnya orang itu juga ada di atap, tapi ini enggak ada."

Dering ponsel Tama membuyarkan percakapannya dengan Nada. Tama mengangkat panggilan dari Dirga. Matanya terbelalak mendengar apa yang disampaikan oleh Dirga. "Ayah pergi dulu." Tama beranjak dari duduknya, dan berlalu pergi meninggalkan Nada seorang diri.

***

Tama baru saja datang ke sebuah apartemen. Tempat itu dipenuhi oleh orang ramai dan juga garis polisi. Ia segera masuk dan mencari keberadaan Dirga.

"Tam!" panggil Dirga yang melihat Tama terlebih dahulu. Tama menoleh. Dilihatnya Dirga, Tirta, Gemma, Kei, Abi dan seseorang yang ia tak kenali, tetapi jelas dari jaket yang mereka kenakan bahwa mereka semua adalah unit Dharma. Tama menghampiri gerombolan unit Dharma tersebut.

Tama terdiam tanpa kata seperti biasanya. Ia menatap seonggok tubuh yang tertutup kain putih. Seluruh area ini dipenuhi bercak darah. Namun, ada yang menarik perhatiannya lebih daripada itu semua. Yaitu angka satu yang terpampang besar di dinding. Angka itu terbuat dari darah korbannya.

"Satu darah?" Tama menatap ke arah Dirga.

Dirga tampak tak bisa berkata-kata.

"Kita sudah kehilangan satu Jendral tempur. Jelas, siapa pun orang di balik ini, dia kuat." Kei mulai unjuk bicara. "Ada dua orang yang identitasnya dirahasiakan oleh negara karena dianggap berbahaya. Mereka berdua tergabung di unit Dharma. Adi--yang kalian kenal Rizwantara, dia adalah salah satu dari empat Ashura milik keluarga Wijayakusuma."

Sejujurnya, semua sudah tahu tentang hal itu ketika menghadiri acara pemakaman Tara. Namun, orang yang selanjutnya membuat semua anggota menganga.

"Yang kedua, dia adalah orang yang lebih berbahaya." Kei kini menatap Dirga. "Pernah dengar tentang keluarga Maheswara?"

"Ya, para abdi Nyi Roro Kidul," jawab Dirga.

"Di era Yudistira sebelumku, Ayahku, beliau dan sembilan keluarga agung membantai keluarga Maheswara karena merencanakan sesuatu yang kelam. Tentu saja itu bukan hal yang mudah, mengingat keluarga Maheswara adalah keluarga terkuat dalam jajaran keluarga agung." Kei menatap jasad tergeletak yang kini sedang diperiksa oleh tim forensik. "Septaraja--dia adalah salah satu dari enam pilar selatan, pemegang tombak Karara Reksa. Tentu saja, Septa hanya nama samaran seperti halnya Tara."

Semua terkejut mendengar itu, kecuali Tama yang memang tidak tahu menahu tentang sejarah Yudistira dan sepuluh keluarga agung.

"Malam itu, ketika peristiwa Rahwana. Pimpinan Katarsis, Indra Maheswara mati di tangan Gentar. Tombak Cakra Langit berpindah tangan," ucap Gemma.

"Ya, siapa pun yang membunuh pemilik tombak sebelumnya. Dia akan memiliki pusaka tersebut. Itulah hukum rimba di keluarga Maheswara," balas Kei. "Siapa pun dalangnya. Dia mencoba untuk membangkitkan keluarga Maheswara."

Tama berusaha mencerna semua percakapan asing ini. Ia mengingat ucapan Nada perihal jaket krem dengan tulisan kencana selatan.

Enam pilar selatan? Tama mencoba menghubungi Nada.

"Halo, kenapa, Yah?"

"Nada. Kamu bilang Kevin nemu jaket krem bertuliskan Kencana Selatan?"

"Iya, emang kenapa, Yah?"

"Di mana alamat rumah Kevin?"

Setelah mendapatkan alamat Kevin, Tama menatap Kei sambil membuka sarung tangannya. "Di mana aku harus memulai?" Kei menatap jasad Septa. Tama berjalan ke arah Septa, lalu mulai mengintip masa lalunya

***

Di sisi lain, Surya, ia dirawat di rumah sakit yang sama dengan Kirana. Mungkin karena khawatir dan merasa bersalah, Surya mencoba menengok rekan Tantranya tersebut. Namun, ketika ia sampai di depan kamar Kirana, Surya memicingkan matanya menatap seorang pria yang berdiri di samping Kirana. Surya yang masih belum pulih memutuskan untuk masuk ke dalam ruang kamar Kirana. Pria tersebut menoleh ketika Surya membuka pintu. Ia tersenyum pada Surya. "Ciao," sapanya.

"Rizwana." Surya menatap Rizwana dengan sorot mata yang tajam. Ia melihat Rizwana sedang meneteskan darah yang mengalir dari lengannya ke mulut Kirana, dan lagi infus Kirana ditukar dengan cairan berwarna merah. "Ngapain lu?"

"Gua? Hmm ...." Rizwana tampak sedang berpikir. "Mengobati Kirana."

"Gua denger kabar, kalo ayah lu baru aja meninggal. Kenapa lu malah ada di sini?"

"Ada yang jauh lebih penting dari itu." Rizwana menoleh kembali menatap Kirana. "Yang mati biarin mati. Selamatkan yang masih bisa diselamatkan."

Jawaban macam apa itu?

"Kenapa lu ada di Bandung? Apa yang lu rencanain?!" Surya mendekat ke arah Rizwana.

"Gua cuma liburan, ikut orang tua yang lagi kerja." Rizwana semakin tersenyum. "Ngomong-ngomong--lu tau nama belakang gua?"

Surya tak menjawab. Auranya seketika itu berubah. Mata ketiganya bangkit. "Ajna ...." Ketika jarak di antara Surya dan Rizwana semakin dekat, tiba-tiba saja Kirana beranjak dari posisi tidurnya. Ia duduk sambil mengarahkan tangannya ke arah Surya dan membuat Yudistira itu terpental ke dinding.

"Oh, udah bangun, ya?" Rizwana menatap Kirana dengan senyum liciknya.

"Apa yang lu perbuat?!" teriak Surya.

"Selamat terlahir kembali, Kirana."

"Kirana! Apa yang terjadi?!" ucap Surya yang menempel di dinding. Ia tak bisa menggerakkan tubuhnya. "Chandra ... bangun. Kita dalam masalah ...."

"Kirana masih belum pulih seutuhnya, saat ini dia masih belum bisa bicara. Sabar, ya," ucap Rizwana.

Kirana menggerakkan lemari. Ia hendak menabrakkan lemari itu ke arah Surya, tetapi iris mata Surya berubah menjadi biru. "Tunduk." Dalam sekejap, Kirana tunduk di hadapan Surya. Tidak. Kini Chandra yang mengambil alih.

Namun, ketika Chandra hendak melumpuhkan Rizwana, pria itu sudah berada di titik butanya dan menutup mata Chandra.

"Dua syarat untuk mengaktifkan mata penguasa. Pertama harus bertatapan, kedua harus denger suara lu. Gimana kalo salah satu syaratnya enggak terpenuhi?" Rizwana memukul keras perut Chandra hingga punggungnya lagi-lagi menabrak dinding. Chandra tampak menahan rasa sakit akibat luka di punggungnya.

Sial! Ia berusaha melepaskan tangan Rizwana, tetapi orang itu lebih kuat dari yang terlihat.

Rizwana menempelkan luka ditangannya ke mulut Chandra. "Minum yang banyak." Ia tertawa menatap Chandra yang tak berkutik. Mau tidak mau, pasti ada sedikit darah Rizwana yang tertelan masuk ke tubuh Chandra. Hal itu sudah cukup untuk untuk Rizwana. Ia merapalkan sebuah mantra sambil menekan perut Chandra, membuat Yudistira itu berteriak kencang, tetapi tanpa suara.

Rizwana, orang itu benar-benar di luar nalar. Ia menarik sesuatu keluar dari dalam tubuh Chandra, membuat Chandra memuntahkan darah dan kehilangan kesadarannya.

Gelap ... semua begitu gelap ... tak ada sepeser pun cahaya.

Chandra membuka matanya. Ia kehilangan kesadaran rupanya, dan malah masuk ke alam bawah sadarnya. Semuanya terlihat aneh. Terutama kesunyian dan kegelapan ini.

"Surya!" Biasanya selalu ada orang yang tertidur ketika yang satunya terbangun, tetapi kali ini tak ada siapa pun di dalam alam bawah sadar Chandra. Hingga ia sadari, bahwa yang ditarik keluar oleh Rizwana dari tubuhnya, adalah eksistensi Surya.

***

Orang bilang, jika salah satu dari anak kembar sakit, maka yang satunya pun akan merasakan hal yang sama. Orang bilang, anak kembar itu saling terhubung. Orang bilang, kehilangan yang paling menyakitkan adalah ketika seorang kembar ditinggal mati oleh kembarannya. Namun, bagaimana jika kembar itu merupakan kembar satu tubuh? Yang saling berbagi raga dan mengesampingkan ego masing-masing? Tak ada rahasia. Semua suka dan duka dilewati bersama. Bagaimana jika salah satu eksistensinya menghilang begitu saja?

Sudah dua hari berlalu sejak menghilangnya Surya. Chandra tak pernah lagi melihat matahari. Semestanya hanya bercerita perihal kegelapan dan badai yang tiada berhenti.

Hingga suara genangan air itu membuat Chandra menoleh. Ayahnya, Kei duduk bermandikan hujan dalam alam bawah sadar Chandra.

"Rizwana yang membunuh Septa dan merebut tombak Karara Reksa," ucap Kei pada putranya. "Kau tahu? Septa itu anggota terkuat Dharma saat ini, tetapi begitu saja mati. Tak ada yang menyangka, bahwa seorang anak yang terlihat biasa-biasa saja melakukan penyerangan terhadap orang tuanya. Bahkan Septa pun pasti tak menduga hal itu terjadi. Seorang anak bisa menjadi kelemahan seorang pria terkuat sekali pun. Jika bukan karena Tama yang hadir di tempat perkara kejadian, mungkin misteri ini belum terpecahkan--bahkan Rizwana mampu merebut Surya? Dan memisahkan kesadaran kalian?"

"Kenapa aku masih hidup?" tanya Chandra dengan tatapan yang kosong. "Kenapa bukan aku yang tidak berguna ini yang dilenyapkan?"

"Aku memerintahkan Agha, untuk mengawasimu. Kalian itu saling mengawasi. Tentu saja Rizwana tak akan menduga bahwa ada orang yang memiliki mata suratma. Dia bersama dengan Kirana kabur entah ke mana." Kei menepuk pundak Chandra. "Nak, Ayah punya permintaan untukmu."

Chandra hanya mampu menatap mata Kei. "Jangan terlalu berharap padaku, Ayah. Aku bukan matahari yang mampu menerangi harapan-harapan, Ayah. Aku hanya--bulan yang redup."

"Ini bukan permintaan petinggi Dharma kepada bawahannya, bukan juga permintaan Yudistira lama pada Yudistira baru, tetapi permintaan seorang Ayah pada anaknya." Kei tak kuasa menahan air matanya mengalir. Ia sadar, bahwa kini ia hanyalah seorang mantan Yudistira yang tak memiliki kemampuan apa-apa. "Selamatkan Kakakmu."

"Rizwana bahkan tahu cara menghentikan mata biru ini. Aku bukan Surya yang mampu menguasai ajna. Bahkan hak sepuluh keluarga agung sudah direbut oleh Rizwana. Aku pun bukan lagi seorang Yudistira," balas Chandra. "Surya. Dia kuat seperti Kuncoro, dia juga mampu memanipulasi atma menjadi listrik seperti Lohia, mematikan seperti Wijayakusuma, pintar seperti Kusnendar, bahkan pengendalian atmanya laksana Gardamewa. Dia bisa menguasai teknik-teknik atma sepuluh keluarga, dan sekarang itu semua direbut oleh Rizwana."

"Belum semua," balas Kei. "Ada dua keluarga yang tidak memiliki teknik atma, karena bergantung pada pusaka mereka. Sebenarnya itu kelemahan, tetapi di sisi lain juga kelebihan. Apa kau pernah melihat Surya menggunakan topeng? dan tombak?"

Chandra hanya menggeleng sebagai jawabannya.

"Begini-begini Ayah menyimpan pusaka pemberian Martawangsa dan Maheswara. Ayah pernah bertemu seorang pelukis buta. Orang itu menyarankan untuk tidak memberikan 100% kekuatan secara langsung kepada Yudistira baru. Orang itu melihat bencana."

"Pelukis buta?" Chandra memicingkan matanya.

"Dia memang buta dan tidak bisa melihat dengan kedua matanya, tetapi dia mampu melihat masa depan melalui pikirannya. Orang itu selalu melukis sesuatu yang ada di masa depan. Pada hari itu, dia melukis matahari yang menghilang dari dunia. Dia menyarankan Ayah, untuk menyimpan tombak dan topeng yang Ayah miliki. Sekarang terbukti, ketika Rizwana merebut Surya dan hak sepuluh keluarga agung darimu, ia tidak benar-benar merebut itu sepenuhnya. Kau masih bisa bertarung, Nak. Aku akan memberikan sisanya padamu. Bicara arti kehidupan, berarti bicara keseimbangan. Semesta tidak selamanya malam. Sejatinya, ia juga butuh siang. Maaf memberikanmu beban seberat ini, tetapi itu adalah sesuatu yang harus dipikul seorang Yudistira."

Chandra terbangun dari tidurnya. Ia menatap teman-temannya  yang sedang berkumpul di sampingnya. "Sebelum Tantra dibubarkan. Aku punya misi terakhir untuk kalian." Ia duduk sambil menatap seluruh anggota secara bergantian. "Selamatkan Kirana dan Surya. Ini adalah misi pembebasan."

.

.

.

TBC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top